Ospek

19 2 0
                                    

"Pah,  aku berangkat dulu, ya."

Aku, Indah Arjanti.  Mahasiswa baru jurusan komunikasi disalah satu universitas swasta  di Jakarta. Aku tinggal berdua dengan ayahku. Ibuku meninggal dunia 10 tahun yang lalu, karena sakit jantung. Dan aku adalah anak satu-satunya.

Aku tidak tahu,  apakah harus bersyukur atau sedih, yang pasti ayah tidak berniat untuk menikah lagi. Yang kadang, aku memang butuh sosok ibu di sampingku. "Ayah mau fokus untuk  membesarkan anak ayah ini sendiri"katanya di hari  ulang tahunku yang 17. Aku tahu bahwa ayah sangat menyayangiku, pun sebaliknya.  Aku sangat menyayang ayah.

Aku sangat suka menulis  dan juga melukis. Tak jarang aku mengikuti beberapa lomba menulis dan melukis. Untungnya, aku memiliki Ayah yang selalu mendukung semua hal  yang aku suka. Seperti pada ulang tahunku yang ke 18 bulan lalu, aku dibelikan alat lukis lengkap dan buku yang selama ini aku impikan, Murakami.

"Ndah, hari ini Ayah yang antar kamu yah?"

"Lho,  ayah nggak masuk kerja?"

"Ayah masuk siang hari ini. Nah,  kan hari ini hari pertama princess ayah masuk kuliah, jadi ayah mau anterin kamu. Boleh ya?"

"Ayah... Kenapa harus pake tanya segala sih? Udah pasti boleh. Indah malah seneng banget kalau ayah yang nganter,"jawabku dengan penuh semangat.

"Oke.  Ayo!"

Pagi yang sempurna. Aku sangat senang bisa di antar ayah ke kampus, di hari pertamaku ospek. Jujur saja, sejak ibu tiada,  ayah memang sangat sibuk. Tapi, di tengah kesibukannya ia tetap meluangkan waktu untuk ngobrol denganku. 

"Ndah, nanti di kampus harus cari teman yang banyak, ya? Kan seru kalau kamu bawa teman kamu ke rumah. Terus nginap di rumah."

Aku kaget dengan kalimat Ayah, dan tidak menjawabnya. "Ndah, kamu  harus mulai untuk mencari teman baru lagi."

Aku sudah tidak tahan, aku menjawabnya dengan nada yang sedikit tinggi. "Ayah! Indah mau mood Indah hari ini tetap baik-baik saja. Jangan bahas ini lagi ya, Yah?"

Aku memang sedikit sensitif jika membahas tentang teman, sahabat atau semacamnya.

"Tapi, Ndah.  Ayah tidak  mau melihat kamu terlalu larut dalam kesedihan. Kamu berharga untuk Ayah. Dan ayah mau kamu bahagia."

"Indah sudah terlanjur nyaman dengan buku dan kanvas Indah, Yah. Indah juga sudah tidak mau terlalu bersemangat mencari teman baru, yang ujung-ujungnya akan menyakitiku  juga. Indah cuma mau bersama ayah. Bersama buku dan juga kanvas, itu sudah cukup untukku, Yah ."

"Ndah, ayah tidak bisa selalu bersamamu. Akan tiba saatnya untuk ayah pergi. Ayah tidak bisa selamanya bersamamu."

"Kenapa bicara seperti itu ayah? Ayah mau meninggalkanku?" Ayah tidak menjawab. Ia  kembali fokus pada jalanan-yang  ku tebak ia menjawab pertanyaanku dalam hatinya.

Aku ingin menangis, tapi tidak bisa  ku lakukan di depan ayah. Entah kenapa pagi yang ku pikir akan terus cerah, tiba-tiba saja mendung. Gelap. Aku tahu maksud ayah itu baik. Tapi apakah harus dia bilang padaku akan pergi dari hidupku juga? Kenapa?

Akhirnya kami sampai di depan kampus. Aku menyalimi tangan ayah dan pergi.

"Hati-hati ya, sayang.  Maaf ayah membuat moodmu hancur pagi  ini.  Tapi ayah berharap,  kamu tetap ikut apa  yang ayah bilang."

Aku hanya tersenyum pahit, dan pergi. 

Sebenarnya aku tidak sepenuhnya marah.  Aku hanya tidak suka membuka luka lama, yang membuatnya kembali berdarah. Pikiranku  sudah terlalu  lelah untuk  memikirkan  tentang sosok teman dalam hidupku. Buku dan kanvas sudah cukup bagiku.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: May 01, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

MataTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang