Riuh

3 0 0
                                    

High heels merah yang ia kenakan menimbulkan bunyi khas di lantai marmer yang di pijakinya. Dress putih yang memerlihatkan pinggang rampingnya, melekat sempurna di tubuh gadis itu.

Acara keluarga, menyambung silaturahmi atau mempererat tali persaudaraan. Embel-embel manis yang sebenarnya sangat ia benci, mau tidak mau harus ia hadiri karena permintaan dari sang mama.

Greezel Moreenia, sikapnya sering tak sinkron dengan hati dan pikiran. Matanya yang indah tak jarang melihat sesuatu yang tidak nyata bagi kebanyakan orang.

Ia berjalan angkuh tanpa mempedulikan pandangan para saudaranya yang tak sedikit memandang heran dan meremehkan, maupun mamanya yang sudah mengode agar ia menyapa yang lain.

Tujuannya sampai pada kursi yang lumayan jauh dari kerumunan orang, mendudukan diri dengan anggun dan menyilangkan kakinya. Sepertinya ini bukan acara keluarga, karena tak hanya kalangan saudara saja yang hadir. Namun, beberapa orang asing yang tidak ia kenali turut memenuhi tempat outdoor di rumah bergaya klasik modern itu.

Tak berselang lama lelaki seumurannya duduk tepat di hadapan Greezel. Sesaat ia terpaku pada iris abu-abu dan luka di pelipis lelaki jangkung ini. tangannya ingin sekali tergerak untuk mem-belai luka lelaki didepannya. Dia sangat mirip dengan orang yang sering berkunjung ke mimpinya, menemani saat pikirannya terpaku pada sosok itu, yang merealisasikan wujud itu seolah berada dihadapannya. Hingga dianggap gila oleh papahnya karena sering berbicara sendiri.

‘Benar-benar nyata, atau ini hanya halusinasiku seperti yang papa bilang? Ahhh, tidak-tidak, ini … .” Pikirannya riuh dengan asumsinya sendiri.

Tanpa sadar tangannya tergerak untuk menyentuh orang di depannya. Namun, pergerakannya terhenti kala seloroh dari orang itu terdengar.

“Jordan Adelio, lama tak bertemu denganmu Greezel, bagaimana kabarmu?” lontarnya dengan mengulurkan tangan dan tersenyum.

Setelah tersadar dari lamunannya, ia membuang muka dan bercakap, “Tidak usah sok dekat, saya gila. Jadi, menjauhlah.”

Jordan hanya merespon dengan anggukan singkat dan kembali tersenyum. ‘Dia, masih gadis can-tik yang kehilangan kehidupan nyatanya,’  batin Jordan.

Greezel terus menatap kerumunan orang di samping kolam renang yang besar itu, semakin ramai saja, keinginannya untuk pulang semakin menjadi-jadi, ia sudah bosan padahal baru beberapa menit ia datang. Ia memerhatikan perempuan dengan pakaian tak kalah modisnya dengan yang lain,  menghampirinya.

Wajahnya yang terlihat marah tadi, perlahan memudar saat melihat Jordan.

“Jordan? Kapan pulangnya? Kok tante Jessi nggak bilang-bilang,” celetuk gadis itu.
“Iya, baru kemarin. Kamu yang namanya Amara itu?” gadis yang ditanyai mengangguk sebagai balasan. Dan Greezel menatap tak  minat pada interaksi kedua manusia itu.

“BTW,kamu ngapain sama dia?” tanya gadis itu sambil menunjuk Greezel.

“Jangan tertipu sama wajah cantiknya, dia wanita gila.” Lagi-lagi Jordan hanya tersenyum, tidak tahu saja bahwa ia sudah mengenal Greezel jauh sebelum mengenal Amara, gadis yang dikenal-kan mamanya.

“Huh, sampai lupa. Lo … ikut gue,” lanjutnya.

Merasa tak ditanggapi, Amara berbalik dan menarik tangan Greezel agar mengikutinya. Tepat di samping kolam, Greezel melepas genggaman di tangannya dengan kasar.
Amara menggeram pelan. “Lo mau gue hukum di depan banyak orang, huh?”

“kamu kira saya takut sama ancamanmu?”

“Lo yang nyuruh orang buat rem mobil gue blong, kan? Lo mau bunuh gue?” jerit Amara yang mengundang atensi banyak orang.  Jika saja gadis itu tak mengusiknya, maka Greezel pun tak akan menyentuh Amara. Pasalnya, ia sangat kesal saat gadis beralis tebal itu memberikan infor-masi yang buruk dan tidak benar ke keluarganya. Membuat tubuh Greezel penuh dengan lebam yang tercipta dari tangan papahnya sendiri.

AmorTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang