Javaphile

1 0 0
                                    


Ada yang bilang bahwa kopi memiliki beribu-ribu filosofi. Makna yang tertimbun di setiap ampasnya yang terbuang, juga asap yang mengepul melayang-layang. Namun, bagi gadis berambut bob ini tak terlalu peduli dengan itu. Baginya hanya ‘kopi adalah sebenar-benarnya hidup’. Tak bisa dijelaskan dengan aksara, maupun raut muka.

Sandhya Arumi, harum senja, katanya. Gadis manis berambut cepak, juga kalung berliontin biji kopi yang selalu menjuntai indah di leher. Kulitnya memang tak sepucat kuning langsat. Namun, rona merah di pipinya bisa terlihat jelas saat ia menahan malu atau sekedar kepanasan.

Jika kebanyakan orang seusianya sibuk mengurus kuliah, bahkan ada yang sudah menempuh hidup baru, berbeda dengan dirinya, umur dewasanya ia habiskan dengan bekerja sebagai kasir di coofe shop yang cukup besar di kotanya. Bukannya tidak mau meneruskan pendidikan, bahkan sudah lima kali ia mendaftar perguruan tinggi, tetapi tidak lolos. Tak apa, mungkin tuhan memilihkan jalan lain untuknya. Seperti kali ini, ia tidak pernah menyesal bisa bekerja di café ini.

Hari-harinya biasa saja, masalahnya hanya seputar pelanggan yang komplain karena tidak puas dengan kopi yang dipesan atau pelanggan yang kebanyakan meminta ini itu. Tidak ada yang terlalu menyenangkan, menegangkan atau bahkan menyedihkan.

Namun, semua ketenangannya berakhir saat teman lama yang diam-diam ia sukai sejak SMP, menjadi pelanggan tetap belakangan ini, di café tempat ia bekerja. Ia tau kalau lelaki itu aneh, sering menanyainya tugas-tugas kuliah, yang Arum sendiri pun sama sekali tidak mengerti. Walaupun begitu, entah kenapa dia dulu bisa menyukai makhluk semacam ini.

“Arum, kesini sebentar, tolong bawakan ini ke meja lima. Gue mau ke toilet dulu, udah kebelet dari tadi.” Jeri, si barista, langsung melepas celemeknya dan terburu-buru pergi setelah memberikan nampan berisi secangkir cappuccino dan croissant ke tangan Arum.

Firasatnya benar, meja nomor lima adalah tempat favorit lelaki itu. Lumayan memojok dan langsung menghadap ke jalanan. Benar saja, ia sudah duduk manis berhadapan dengan laptop dan mengenakan jaket hijau army yang selalu dipakainya.

“Selamat menikmati, dan segeralah pergi,” bisiknya halus di kalimat terakhir.

Lelaki bergigi kelinci itu mendongak lalu tersenyum manis. “Bentar-bentar, delapan satu tiga bener nomor ponsel lo, kan? Ada pesan masuk nggak? Itu dari gue, hhehe.”

“Oiya, pasti lo lupa nama gue. Kenalin, Dimas Rajangga. Panggil aja Dimas, gimana? Keren kan? ” ujarnya sambil mengulurkan tangan.

Arum menatapnya datar,  ia menyibakkan rambutnya acuh dan berlalu tanpa menanggapi lelaki tadi, masa bodo jika dianggap sombong.

Dua hari yang lalu ia terus-terusan mendapat pesan dari nomor  tak dikenal, sangat mengganggu dan malas walau hanya sekedar memblokir nomornya. Tak apa, ia berpikir setidaknya notifikasi di ponsel bututnya itu berbunyi selain pemberitahuan dari aplikasi belanja online yang ia unduh.

“Pasti Rosa yang ngasih,” gumamnya pelan. Orang-orang di café ini tak ada yang menyimpan nomornya selain Jeri, Rosa—waitress, dan si pemilik café.

>_>

Arum baru saja mendudukkan pantatnya di kasur setelah membersihkan diri, setelah mendapat jam istirahat lebih awal.

Jendela kecil di kamar asrama cafe ia buka, menikmati semilir angin sore dan secangkir kopi yang sudah ia siapkan. Menyesapnya dengan pelan dan memejamkan mata . Titik ternikmat sebenarnya bagi gadis pecandu kopi ini. Dalam sekejap mata, fantasinya harus terbuyar kala ponselnya terus berdering nyaring.

Babi:
17.05: Sore anak camer gue, udah lo simpen belum nomornya? Pakai nama gue ya, sayang juga boleh, jangan nama hewan lho. Btw, dulu kayaknya gue pernah ketemu lo, jangan-jangan kita dipertemukan lagi atas dasar jodoh dan cinta? Ahhay.

AmorTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang