Ini sudah jam setengah dua belas malam, tengah malam yang sudah menyapa hadir. Oh ayolah, Jannah tahu ini tidak cukup malam umurnya untuk malam, tapi kembali pada habitat aslinya, ini terlalu malam setelah dirinya pulang berkantor.
Ajakan buat main hingga malam terdengar asik jikalau besok pagi dirinya bisa bermanja ria dengan si kasur. Berlain hal dengan perkara ini, besok pagi terdapat jadwal meeting yang sungguh penting.
Ah —pokonya ini salah Haifa yang telah mengajaknya ke acara itu, acara yang isinya kegiatan tak penting habisi duit.
Langkah linglung lindas aspal, sebab pusing keterlaluan kebanyakan aktivitas. Jadinya tidak simteris dalam berjalan, berharap bisa jaga fokus untuk lihat temaram lampu jalan.
Ini sudah kesalahan keduanya kali ini, yang pertama atas ajakan itu, dan yang kedua perihal tentang ajakan pulang bersama Jin. Oh tentu, ketua divisi jurnalistik nya memang gemar dalam hal tersebut, tapi Jannah masih tidak bodoh untuk mengiyakan ajakan yang bermakna jamak. Bisa-bisa berakhir ketiduran di dalam mobil kan tidak asik.
Sudah bernasib seperti ini, mau bagaimana lagi. Mungkin akan ada hikmah, ah paling tidak kesialan hari ini tidak bertambah menjadi ganjil.
Layar penuh radiasi menyala, Jannah mencoba fokus kepada arah yang di tentukan oleh peta berjalan.
Ck, masih jauh.
Mencoba untuk memokuskan diri kepada jalan, akhirnya perempuan berumur 23 tahun itu berjalan menuju arah halte bus. Berharap kembali, agar masih ada satu bis tersisa ke arah rumahnya.
Semua orientasi mengarah pada jalan, mengambaikan adanya siluet pencahayaan dari sebelah jalan —jalan raya. Itu sebuah tanda besar adanya kendaraan lewat, kembali lagi, Jannah sama sekali tidak menghiraukannya seakan-akan tidak ada makhluk maupun kendaraan yang terpatri dengannya.
Mobil hitam legam yang terlihat mahal lewat, bukan sekedar lewat, beliau ikut mampir kearah Jannah. Jannah rasa ada hadir seseorang sekarang, tak ayal tengok ke samping, dan iris mata langsung menatap lurus ke arah jendela film.
Sengitan terpancar kuat, antisipasi menunggu turunnya kaca film tersebut. Dirasa lama menunggu, tidak ada kejadian penting lainnya.
Huh, perempuan pakai cardigan itu rasa ini hanya orang iseng yang mampir lewat. Tidak guna. Lebih baik ia lanjutkan perjalanan saja.
Sebuah alibi terpatahkan, “Hai?” gelombang suara jadi interupsi.
Tidak asing. Tengokkan kepalanya membuahkan hasil, sebuah bolaan mata yang terkaget, Taehyung?!
“Hai? Jannah?” Alih-alih ambil pergi, Jannah nikmati senyum simpul yang dibuat si pria. Astaga, mantannya memang sangat punya banyak minat hingga tak bisa dihalau.
Iya, mantan.
“Ku tawari tumpangan. Ayo naik.” lebih terdengar seperti nada perintah, otoriter sekali.
Tidak ada jawaban, bahkan sedari tadi lepas tahu itu Taehyung, Jannah hanya menunduk. Entah apa yang harus ia lakukan, ia kelabu.
“Jalanmu seperti orang yang habis mabuk-mabukan? Kau sudah lupa Tuhan?"
Mulutnya enggan berbicara memang, tapi telinganya sensitif mendengar itu, “Aku tidak.” sergah nya.
“Lalu?”
“Darah rendah, kebanyakan aktivitas."
Taehyung malah kembali tersenyum kecil, meremehkan tepatnya, “Sudah tahu punya sakit tetap bebal ya."
“Tawaran tumpangan masih berlaku atau kamu mau jalan hingga 1 KM kedepannya? Tidak masalah. Akan ku ikuti dari belakang.” Nyata Taehyung tanpa jeda yang baik. Sungguh sopan.
Menimang sejenak, Jannah tidak mau membuat keputusan yang salah dalam bilangan ganjil malam ini. Apa yang harus ia pilih?
“Jangan memilih. Naik.”
Otoriter masa lalu dan tentu tubuh Jannah tahu dia tidak bisa menolak. Tidak ada alasan, itu cukup menguntungkan.
Baiklah, ia kalah. Kali ini biarkan dia membuat kesalahan menjadi ganjil dengan diantar pulang mantan, atau seseorang yang masih di cintanya hingga saat ini?
“Berangkat.”
Entah sebab dirinya yang dulu terbiasa, atau memang logikanya menjadi uap, lantas Jannah lebih memilih duduk di samping jok kursi Taehyung. Taehyung hanya tersenyum singkat mengingat bisa lihat muka Jannah lepas tiga tahun tidak bertemu.
...
Cafe yang didesign sempurna ini pasti memiliki banyak arti. Tentang si pembuatnya dan pemiliknya. Bagaimanapun Jannah merasa nyaman dengan tema yang di ambil oleh sang pemilik. Tahu ada cafe begini dari dahulu, pasti ia akan sempatkan mampir tiap hari.
Ini sudah pagi sejak kejadian semalam. Otaknya memang sedikit error, tapi bukan berarti ia melupakan segala hal terjadi.
Duduk menikmati kopi dan oksigen segar. Sempurna, apalagi jika di tambah pemandangan indah untuk melengkapi tema asri yang dianut cafe ini, seperti pria tampan mungkin? Taehyung contohnya?
Apa, Taehyung? Wait—
“—Taehyung?!”
Kata populer, panjang umur si Taehyung itu, sungguh didepannya sekarang terdapat Taehyung! Kim Taehyung.
“Apa yang kamu lakukan disini?” tanya Jannah cepat, “Apalagi? Meeting.” Taehyung jawab mudah, tak ada beban yang dirasa.
“T—tapi,”
“Oh ya, selamat datang di cafe kami Nona Jannah. Saya pemilik cafe ini. Jadi, bisa kita mulai diskusikan? Sekalian izin saya untuk bicara hubungan kita yang sepertinya belum kelar dimakan waktu?"
Tolak dia beri, "Ngaco. Perlu bicara apa tentang hubungan? Mari buat ini jadi profesional."
Taehyung beri mata sambi, "Memang belum?
Jedanya sembari tertawa kecil, "Anggapanmu kita sudah putus ya? Belum manis, memang pernah aku ucap putus? Sudah disetujui? Ingat janjiku? Mau sampai kapanpun, mau kau punya pacar baru sekalipun, kau tetap punyaku. Dan aku punyamu."
Pada saat itu juga, Jannah ingin sekali menarik kata-kata sebelumya atas kalimat pujian yang telah ia berikan. Sweet drop pun menjadi awal paginya.
"Jadi, mari mulai dari mana?"
KAMU SEDANG MEMBACA
haluan
Short Storymeski tak bisa gapai dalam hidup, paling tidak imajinasi bisa sampai saat mata tertutup.