Bab Dua

69 1 1
                                    

Pagi menyambutku, seseorang dengan rambut berantakkan namun tetap percaya diri. Yah, tak masalah jika luarku berantakkan selama aku masih merasa sanggup menata yang di tersimpan di dalam jiwa.

Dengan berdandan seadanya, cukup dengan cuci muka, dan merapihkan rambutku dengan jari. Aku melangkah turun menuju ruang makan sebelum semuanya habis dan menyisakan penyesalan saat melihat hanya piring-piring kotor yang tersisa.

Sebenarnya pagi tadi aku sudah bangun untuk melihat matahari terbit. Tapi sayangnya jendela kamarku tidak menghadap ke timur. Karena kesal aku rebahkan tubuhku lagi dan karena itu jadi kesiangan.

Sesampainya di sana, benar saja. Aku menemukannya. Bukan piring kotor, tapi sosok pria tanpa nama yang membantuku kemarin. Di antara ramainya perut lapar, aku melihat dia yang tengah duduk dekat kaca dan menghadap ke pantai. Sambil menikmati beberapa roti dan secangkir minuman yang ku tebak adalah kopi atau teh, sebab hanya itu yang hotel ini sediakan.

"Boleh duduk di sini?" Ucapku setelah merampok nasi goreng, sosis dan ayam.

Pria itu terlihat seperti sedikit kaget karena kehadiranku. Dari wajahnya terlihat tanda tanya yang begitu besar. Entah apa yang dia bingungkan. Apakah itu karena karena kedatanganku, atau seberapa banyak porsi makanku.

"Kamu ngapain di sini?" tanyanya pelan

"Aku nginep di sini juga," kemudian aku beranikan untuk duduk di hadapannya. "Ohh iya, aku Alisa," kataku sebelum makan.

"Aku Gilang," jawabnya singkat padat dan membuat keheningan di antara kami menjadi canggung kembali.

"Oh iya mas, makasih lagi untuk semalem. Uangnya aku ganti ya," kataku sambil mengambil uang di saku celanaku

"Ngga usah, ngga masalah kok," balasnya lebih padat lagi

"Ada urusan apa ke Bali?" kataku mencoba ramah. Meskipun hal ini bukan aku banget, tapi ku rasa tak masalah seperti itu untuk orang yang sudah menolongku.

"Ada kerjaan, tapi sekalian dibuat liburan," katanya datar. "Kamu?" dan akhirnya percakapan dua arah terjadi.

"Liburan aja. Sebelum nikah," ucapku apa adanya. Setidaknya agar dia tahu posisiku meskipun kurasa hal itu tidak perlu.

"Oh, semoga lancar ya," katanya sambil berusaha tersenyum. Lengkung yang terasa kosong di bibirnya. Seperti sedang memaksakan atau sebagainya.

"Iya makasih. Hari ini mau kemana? Aku ke GWK,"

"Aku juga ke sana," balasnya sambil menegak kopinya.

Biasanya yang akan terjadi adalah sebuah ajakkan untuk pergi bersama. Tapi kali itu tidak. Kami tidak ingin memulai kebersamaan apa pun. Kita berdua cuma turis domestik yang tak sengaja saling bersinggungan dan kebetulan dirinya yang menjadi sosok seseorang yang menyelamatkanku.

"Aku duluan ya," katanya setelah hanya menyisakan setengah cangkir kopi di meja.

"Iya," balasku singkat

Melihat punggungnya menjauh, aku jadi penasaran dengan pria itu. Seseorang yang sangat dingin seperti itu termasuk langka untukku. Sebab jaman sekarang pria juga banyak yang centil. Berkali-kali dalam sehari posting foto merokok dengan korek zippo. Senang tebar pesona meski cuma lagi tiduran di kamar kos-kosannya. Seperti ia merasa ganteng lahir batin.

Sama sekali aku tidak mengerti bagaimana mereka bisa berpikir kalau hal-hal itu adalah cara yang paling keren untuk menarik perhatian wanita. Masih mending hewan tasmania yang mencoba berprilaku baik saat menarik hati betinanya. Meski pun saat sudah dapat tasmania akan kembali bersikap liar lagi. Sesuatu yang sering kita jumpai di kota-kota besar.

Sebatas CeritaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang