Prolog

176 5 0
                                    

Prolog

Warna jingga kemudian jatuh pada lembaran-lembaran kertas yang berisikan sebuah perjalanan dengan kisah cinta pertama di dalamnya. Sejak pagi tadi aku terus terpikat dengan hal itu sampai lupa dengan kesibukkanku sendiri.

Nanti dulu. Isinya akan ku ceritakan setelah semua urusanku hari ini beres. Seperti makan, mandi, dan kordinasi catering agar besok datangnya tepat waktu. Biasalah, ngaret yang sudah jadi budaya harus dengan segala upaya untuk dicegah.

Kalau sekarang, aku masih sibuk membereskan pakaianku untuk besok. Ya, besok adalah waktu yang paling dinanti-nanti oleh banyak wanita di Indonesia. Padahal hari itu adalah saat dimana kau akan melepaskan kebebasanmu seutuhnya dan secara sukarela.

Kutatap senja dari jendela kamarku di lantai dua. Sinar yang menyusup itu juga jatuh di tubuhku hingga seluruhnya terasa hangat. Warna keemasan yang sebentar lagi lenyap digantikan gelap. Warna langit dan hangat yang ujungnya malah mengingatkanku pada sebuah pertemuan, sekaligus perpisahan. Sebuah waktu yang hadir sebagai transisi, memberi arti, kemudian harus dipaksa pergi.

Terdengar suara notifikasi berbunyi. Dari suaranya itu sudah pasti pemberitahuan kalau ada orang yang jauh mencoba video call. Aku mengambil handphoneku dan melihat siapa gerangan yang sedang menghubungiku itu. Dari layar terpampang wajahnya yang tak asing.

"Hallo!" Katanya sumeringah

"Hai, ada apa?"

"Ada sesuatu yang mau kutunjukkan,"

"Apa?" Orang itu mengganti kamera depan handphonenya ke kamera belakang dan kemudian terpampang wajah langit yang merah merona. Seperti angkasa yang baru habis dandan sedangkan aku adalah orang yang terpesona karenanya.

"Waaahh, keren bangeeett," aku merasa nyaman dengan apa yang langit sore itu berikan. Mulai dari kapas-kapas putih yang mulai berubah warna menjadi jingga, gradasi warna yang sempurna, dan mungkin juga kenangan yang kubawa hingga ke tempat ini sekarang.

"Ngeliat langit kayak gini aku selalu inget kamu. Aku ngga sabar nungguin besok!" Katanya antusias. "Persiapan yang dari kamu udah aman kan?" Tambahnya.

"Aman terkendali bos!"

"Besok pasti bakal seru," katanya lembut.

"Pasti dong."

Kemudian setelah percakapan kami selesai, aku tersenyum. Orang ini benar-benar di luar dugaanku. Setelah pagi tadi kudapatkan sebuah paket yang berisikan naskah komik darinya, kini dia memberikanku senja dari tempat ia berada.

Setelah menutup handphoneku, aku kembali menatap tumpukan kertas di atas meja. Kover depan naskah komik itu adalah aku, di sebuah pantai di Bali sedang memegang sebuah buku catatan. Di gambar dengan sangat cantik sampai mengalahkan sosok aslinya.

Tanpa terasa semua warna hilang. Memasuki dunia kegelapan yang penuh dengan hawa dingin. Aku menghela napasku sekali lagi. Kali ini cukup panjang. Napas yang membawaku lagi pada sebuah transisi waktu, di mana hati tanpa sengaja menemukan seseorang yang ia cari.

Seperti semesta dengan sengaja membuat takdir seseorang bersinggungan dengan takdir lainnya. Membuat jalan hidup antara dua orang berada dalam satu garis yang sama.

Ku baca ulang naskah komik itu. Dan cerita itu dimulai dari sesuatu pelarian. Aku selalu suka bagian awal  cerita ini..

Sebatas CeritaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang