Tuan Putri Yang Malang

10 2 10
                                    

"sakit,"lirih seorang gadis. Seragam SMA-nya sudah tidak pada tempatnya. Beberapa kancing terlepas bahkan bagian lengannya sobek. Rambutnya yang berwarna coklat sudah tidak beraturan, sebagian helaian rambut keluar dari ikatannya. Wajah dan tubuhnya kotor. Juga terdapat beberapa lebam dan luka gores di badan dan wajahnya. Seluruh badannya sakit, bahkan untuk berjalan pun dia harus bertumpu pada tembok.

"Menyedihkan,"katanya pada bayangan gadis yang menatapnya dari cermin. Dia sudah biasa melihat dirinya seperti ini. Sakit di sekujur tubuhnya bukan hal yang berarti,karna hatinya lebih terluka. Menghembuskan nafas lelah dia mulai merapikan seragam dan mengikat rambut coklat nya agar lebih rapi. Dia mengambil tas yang tadi dibuang oleh orang-orang yang mem-bully-nya. Saat keluar dari toilet hari sudah mulai gelap. Senja menyapa nya dengan warna jingganya yang teduh memberi sedikit kehangatan pada tubuh ringkih itu.

Tidak ada seorang pun di sekolah saat dia keluar melewati gerbang. Langit semakin gelap dia harus segera pulang tapi tidak ada kendaraan umum yang bisa dia tumpangi. Akhirnya dia memutuskan pulang ke rumah berjalan kaki.

________

Satu tamparan mendarat di pipinya. Cukup keras untuk membuatnya tersungkur di lantai. Dia menangis memegangi pipinya yang terasa panas. Tidak cukup dengan satu tamparan dia juga mendapat jambakan di rambut memaksanya mendongak. Iris coklatnya bertubrukan dengan iris hitam milik orang yang biasa dia panggil papa. Namun tidak pernah menjadi papa sesungguhnya.

"KAMU TAHU INI JAM BERAPA?! "hardik Hendra pada putri bungsunya. Dia bahkan tidak melonggarkan cengkraman pada rambut sang putri.

Viola menangis, menatap ayahnya ketakutan,"ta-ta-di a-ku puhlang ja-lan kahki,"dia menjawab sejujur mungkin.

"Alasan. Ga sekali ini kamu pulang telat. Paling kamu jalan kan sama laki-laki,"sinis Lana, ibu Viola. Mendengar itu Hendra makin tersulut emosi. Dia menghantam kepala Viola ke lantai. Darah mengalir dari pelipisnya.

"Papa ampuun, Vio gak bohong pa,"

"Baju kamu kayak orang habis diperkosa aja,"seloroh Lana membuat suaminya melakukan hal yang lebih kejam pada Vio.

Dia berdiri menendang perut Vio yang merintih kesakitan. "Pa cu-kup,"cicit Vio. Perutnya perih terlebih lagi dia tidak makan seharian ini.

"KAMU MULAI NAKAL SEKARANG!!! KAMU ANAK KOTOR YANG TIDAK TAHU DIRI!"Hendra memaki putri bungsunya. Sementara Lana duduk manis di sofa ruang tamu. Dia tersenyum menikmati tiap siksaan yang diterima Vio. Tidak sedikit pun rasa kasihan atau niat menolong. Dia hanya menonton dan sesekali berkomentar menyulut emosi sang suami.

Sudah puas menyiksa Viola, kedua orang dewasa itu pergi meninggalkan si bungsu yang tersungkur di lantai. Viola telentang menatap lampu mewah di ruang tamu rumahnya. Dia berharap lampu itu jatuh dan menimpanya agar dia bisa mengakhiri rasa sakit ini. Darah di pelipisnya mulai mengering namun dia tidak bisa menggerakkan badannya. Sekujur tubuhnya rasanya remuk redam. Dia berpikir bagaimana cara menuju kamarnya yang berada dilantai dua dengan kondisi tubuh seperti ini.

Suara pintu yang terbuka lalu menutup mengalihkan atensi Viola. Derap langkah seseorang terdengar mendekat. Sepatu futsal berharga puluhan juta itu berhenti beberapa langkah lalu berjalan lagi. Dia menuju Viola yang telentang di lantai. Meletakkan tangan pada tungkai dan punggung Viola. Dia menaiki tangga dengan Biola digendongnya.

"Makasih kak Egi,"Vio berkata tulus.

"Hm,"

Dia merebahkan Vio di atas ranjang. Sangat hati-hati seolah takut tubuh rapuh itu akan hancur. Egi keluar tanpa mengucapkan apa pun.

RA-HA-SIATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang