Kereta

28 5 1
                                    

Tepat ketika matahari tegak lurus dengan kepala, kita sudah tiba di stasiun. Siang itu ia mengajakku berpergian menggunakan kereta. Hanya kereta antar kota. Ketika aku tanya mau kemana, ia tidak pernah benar-benar menjawab pertanyaanku. Seharusnya ia tahu, aku lebih suka tidur siang daripada jalan-jalan.

"Duduk lah." Aku mempersilakannya duduk ketika tempat duduk hanya tersisa satu.

"Baik." ia menjawab singkat sembari tersenyum.

"Mau kemana kita?" Tanyaku sekali lagi dengan nada agak tegas.

"Hanya berjalan-jalan menggunakan kereta." Jawabnya.

Aku rasa ada yang tidak beres dari isi kepala perempuan ini. Entah mungkin kemarin ia makan terlalu banyak tinta cumi atau mungkin keracunan keong sawah yang membuat otaknya tidak bekerja dengan baik. Aku harus mengorbankan waktu tidur siang hanya untuk diam di gerbong kereta. Aku masih berdiri di sampingnya. Tepatnya, dekat pintu keluar masuk kereta. Empat stasiun sudah terlewati. Kita berdua tidak berbicara, ia memejamkan matanya dengan earphone di telinga. Aku hanya menatap keluar jendela kereta, sesekali memperhatikan seisi gerbong. Sudah sepuluh menit kami saling diam.

"Aku suka kereta." Ia berbicara entah pada siapa. Aku tidak merespon.

"Kau tahu? Kereta selalu punya cerita untuk setiap orang." Ia melanjutkan kalimatnya. Dan aku masih belum tahu ia berbicara pada siapa.

"Mengapa kau tidak merespon!" Ia memukul perutku, lumayan keras. Aku terkejut dan kesakitan. Ia cemberut tetapi semakin manis wajahnya.

"Awww." Aku mengeluh.

"Apakah kau tidak pegal terus berdiri?"

"Pegal."

"Duduk lah."

"Kau saja."

"Sok kuat!"

"Sok peduli!"

Ia kesal mendengar responku lalu kembali memukul perutku dengan tenaga dua kali lipat lebih kuat. Wajahnya masih terlihat manis, tapi sifatnya terlalu bengis. Perutku seperti terkena bola bowling. Sudah hampir stasiun terakhir, perempuan itu mulai bersiap-siap turun. "Akhirnya," dalam hatiku. Perempuan itu menarik tanganku dan segera keluar kereta setelah masinis mempersilakan penumpamg untuk turun. Ia membawaku masuk ke kereta selanjutnya. Sial! Ini adalah kereta dengan tujuan ketika kita berangkat tadi. Perempuan ini sudah benar-benar perlu diperbaiki isi kepalanya.

"Jika kau punya masalah, cobalah naik kereta. Barangkali, masalah itu tertinggal di stasiun dan kau bisa terbebas darinya."

Itu kata-kata terakhirnya sejak dua tahun lalu ketika aku dan dirinya naik kereta bersama. Meskipun aku lebih suka tidur siang daripada jalan-jalan, namun jika bersamanya aku rela mengorbankan jam tidur siangku. Dia berbohong. Setelah ia pergi selama-lamanya, kata-kata itu selalu menjadi masalah bagiku. Setiap minggu aku datang ke stasiun dan naik kereta hingga pemberhentian stasiun terakhir lalu kembali lagi ke stasiun awal aku berangkat. Tapi sayangnya, masalah itu tidak pernah hilang.

"Kau berbohong." Aku memejamkan mata sembari menikmati perjalanan di kereta. 

Cerita Yang MatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang