Teman Lama

40 3 0
                                    

Leonardo memarkirkan kendaraannya dengan tergesa-gesa. Ia berlari setelah selesai menemukan tempat parkir di sebuah restoran cepat saji. Sore hari yang cerah membuat udara terasa begitu panas. Leonardo hanya berlari sejauh tiga puluh meter, namun nafasnya sudah tidak beraturan. Ia memang memiliki janji sebelumnya dengan seorang wanita. Lexa namanya. Ia adalah teman lama Leonardo, Lexa mengajak Leonardo bertemu pukul empat lewat tiga puluh, namun sialnya Leonarda tiba dua puluh menit lebih lama. Leo membuka pintu  restoran dan disambut oleh pegawai restoran, namun dibalas oleh raut wajah yang kelelahan darinya. Ia melihat-lihat sebentar, di mana Lexa duduk. Kiri-kanan, matanya menyelidik. Di sebelah pojok kiri, tepat di bawah AC yang menyala terlihat seorang wanita yang berambut tidak terlalu panjang, diikat rapih dengan kacamata yang terpasang di wajahnya dan  setelan cardigan berwarna coklat muda. Tidak lain itu adalah Lexa. 

"Maaf membuatmu menunggu." Kata Leo.

"Pekerjaanmu sudah selesai?" Sambut Lexa dengan pertanyaan.

"Sudah." Leo menjawab singkat lalu duduk di depan Lexa. "Kau mau es krim? Aku yang teraktir." Leo bertanya pada Lexa. Hitung-hitung biaya permintaan maaf, pikirnya. Lexa mengangguk dan  tersenyum tipis. Ia fokus kembali dengan buku yang dibacanya sejak tadi. Buku novel fiksi romansa. Leo mengernyitkan dahinya sembari berjalan memesan dua es krim , sejak kapan Lexa menyukai genre roman picisan?  pikirnya. Lexa yang Leo kenal adalah tipikal perempuan yang ambisius, mandiri, keras kepala, dan tidak menyukai buku-buku romansa. 

"Kau terlihat lebih cantik dan dewasa, Lex." Leo kembali setelah mendapatkan es krimnya. Sebenarnya es krim itu dibeli dengan uang makan malamnya. Malam ini ia harus rela kelaparan karena jatah makan malamnya dipakai untuk menebus permintaan maaf.

"Kau belajar menggoda wanita di mana, Leo?" 

"Itu pujian, Lexa!"

"Alasan."

Mereka berbincang di restoran cepat saji. Lexa memakan menu makanan yang ia pesan. Leo hanya menonton Lexa memakan makanannya sembari memakan es krim miliknya. Leo beralasan sudah kenyang ketika ditanya oleh Lexa mengapa tidak memesan makanan. Kebohongan yang sangat menyiksa untuk Leo. Tidak ada agenda penting sebetulnya dari pertemuan mereka. Hanya agenda pertemuan teman lama. Mereka membahas banyak hal. Lebih tepatnya, Lexa yang lebih banyak bicara dan Leo hanya mendengarkan dan sesekali merespon. Entah mengapa, mata Lexa seperti memancarkan binar kebahagiaan dan ketenangan. Leo memperhatikan mata Lexa, tanpa berkedip. Ia melihat Lexa berbicara dengan antusias dan penuh semangat. Seperti air yang keluar setelah pintu bendungan di buka. Mengalir, deras, tanpa jeda, dan penuh semangat. Ia berbicara tentang pencapaian di kantor barunya, prestasi pekerjaan dan banyak hal. Leo masih mendengarkan dan tidak memotong cerita dari Lexa, sembari menjilati sendok es krim yang sudah habis isi es krimnya.

***

"Aku sepertinya tidak butuh laki-laki di hidupku." Lexa membawa topik perbincangan baru.

"Apa pun yang terbaik untukmu, Lex. Aku dukung!" Leo merespon sekenanya. Lexa hanya tertawa karena baru kali ini, ceritanya didengarkan dan tidak dipotong oleh lawan bicaranya.

"Aku heran mengapa perempuan selalu diceritakan lebih lemah ketika dalam cerita." Lexa menunjuk buku novelnya yang tadi ia baca. "Perempuan selalu digambarkan dengan sosok yang perlu diselamatkan, perlu dikasihani oleh laki-laki. Padahal perempuan tidak selemah itu." Lexa melanjutkan kalimatnya.

Leo hanya mengangguk tanda setuju.

Lexa adalah wanita yang mandiri dan ambisius, sifatnya memang sedikit keras kepala, dan Leo sudah tahu itu. Leo tahu beberapa cerita Lexa ketika ia berkencan pertama kali dengan mantan pacarnya. Lexa pernah bercerita pada Leo bahwa, ia langsung memutuskan hubungannya ketika kencan pertama, karena mantan pacarnya tidak pernah bisa mendengarkan dirinya. Mantan pacar Lexa, selalu menimpali ceritanya yang lebih hebat dan seolah-olah cerita Lexa tidak ada apa-apanya, ia tidak mau kalah dari Lexa. 

Hari ini, Lexa sudah menumpahkan semuanya pada Leo. Terlihat raut yang bebas dan lebih ceria dari wajahnya. Dan untuk Leonardo, ia harus puasa malam ini karena jatah biaya makan malamnya dibelikan es krim untuk mereka berdua. Mereka mulai bersiap-siap untuk meninggalkan restoran cepat saji setelah dua jam tiga puluh menit berbincang.

"Ayo aku antar!" 

"Tidak perlu."

"Ini bukan tawaran, Lexa, ini perintah. Hanya aku yang berani memerintahmu." Leonardo tertawa dengan nada bercanda.

Lexa tersenyum tipis dan setuju.

Leo dan Lexa berjalan menuju tempat parkir seperti sepasang kekasih. Rupanya Lexa mulai sadar, pikirannya yang selama ini berkata ia tidak membutuhkan laki-laki, ternyata salah. Ia hanya butuh laki-laki seperti Leonardo. Laki-laki yang mampu mendengarkannya tanpa cela dan menimbulkan kedamaian. 

"Leonardo." 

"Ya?"

"Sepertinya, aku mencintaimu."

Lexa menatap mata Leo, dan Leo membalas tatapannya. Ada hening yang cukup lama di antara mereka berdua. Kemudian, Lexa memeluk Leo, erat sekali.

"Hey?" 

"Ya?"

"Jika ini caramu agar aku meneraktirmu es krim sekali lagi, sungguh, uangku sudah habis, Lex."

"Jangan merusak suasana, Leonardo!" Lexa mengeluh lalu mencubit lengan Leo dengan keras hingga berbekas.

Leonardo menjerit kesakitan.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: May 29, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Cerita Yang MatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang