Jimin mengesap secangkir teh hangat yang baru saja ia tuangkan dari teko kaca. Ditatapnya sendu keluar jendela besar kafe tempat ia berdiam diri saat ini. Sebuah kafe tidak jauh dari kantornya.
Jimin menghela napasnya panjang dan kembali fokus ke layar laptop tempat dimana ia seharusnya mengetikkan sederet paragraf tak begitu bermakna namun mampu membuat setiap jiwa merasa hidup. Baiklah ini terlalu mendrama, maksudnya Novel. Iya, Jimin harus segera menyelesaikan narasi novel selanjutnya agar bisa di cetak akhir musim ini.
Merpati Tak Tentu Arah
Itu judul karya yang ingin ia terbitkan selanjutnya. Sebuah karya sederhana yang menceritakan seorang gadis perempuan yang berjuang melawan kerasnya dunia sendirian. Berjuang melawan jiwanya sendiri. Seorang perempuan yang selalu dituduh berhubungan dengan alam gaib, padahal tidak. Cerita ini menggambarkan bagaimana mental seseorang diperlakukan tidak adil orang khalayak. Bagaimana mereka yang berjuang melawan jiwa mereka sendiri malah berakhir diperlakukan tidak adil. Dukun, orang pintar. Bahkan mereka tidak kerasukan setan. Menangis setiap malam adalah bagaimana mereka menggambarkan letihnya akan dunia. Melukai diri sendiri adalah bagaimana cara mereka melampiaskan rasa sakit yang tak tertahan, walau berakhir menyakiti diri sendiri.
Mirisnya, dunia hanya tahu bahwa jika kita memiliki masalah berhubungan mental. Itu artinya kita harus dibawa ke orang pintar. Kita kerasukan dan sebagainya. Padahal mereka butuh obat dan dokter yang paham kondisi emosional dan psikis mereka. Tidak ada setan, iblis dan sebagainya yang menganggu mereka. Bahkan mereka melawan diri mereka sendiri.
Dan tidak banyak orang mengerti bagaimana memahami kondisi mental seseorang.
Jimin menulis ini seperti ia menggambarkan dirinya sendiri. Bagaimana ia berjuang keras untuk tetap hidup, dikala setiap detiknya ia merasa selalu ingin menyerah. Berlari tanpa tujuan, mencari sedikit kenyamaan dari setiap hembusan angin malam, memabukkan dirinya dan berharap paginya akan ada kabar bahagia.
Bahkan ia tak mengerti kenapa seperti ini. Menceritakan segalanya kepada orang lain pun tak becus. Hanya dapat menimbulkan kesalahpahaman masing-masing individu kepadanya. Yang Jimin lakukan sampai kini adalah membiarkan mereka menilai Jimin sesuai keinginan mereka. Yang menyukainya akan menilai ia baik, namun yang tidak menyukainya akan menilai ia iblis.
Manusia selalu benar dengan segala pemikirannya.
“Misi, numpang duduk ya, Mas.” suara bariton itu sukses menghancurkan fokus Jimin.
Seorang pria dengan hodie hitam itu menarik kursi di depan Jimin yang kosong. Menyibak-nyibak rambutnya yang basah lantaran terkena hujan-sepertinya. Napasnya terengah-engah seperti baru dikejar-kejar sesuatu. Wajahnya manis, terlampau manis untuk ukuran pria dengan tatto yang hampir menutupi sebagian besar tangan kanannya, ya Jimin jelas melihat tatto itu karena si pria berhoodie ini menggulung lengan hodienya.
Jimin memutuskan pandangannya dan kembali fokus ke layar laptopnya. Mengabaikan pria yang ada di depannya. Jujur ia tidak suka diganggu seorang seperti ini. Apalagi saat ia tengah sibuk berkutat dengan imajinasinya. Tapi rasa tidak perdulinya jauh lebih besar daripada rasa keinginan ngomel-ngomel.
Pun pria ini aneh sekali, masih banyak bangku kosong di kafe ini tapi malah memilih duduk di depan Jimin.
Ckckck.
“Aish.. Hujan mulu perasaan, kemarin baru hujan,” tutur pria berhodie itu.
Jimin menatap sang pria enggan dan kembali fokus kepada layar laptopnya, malas berkomunikasi.
KAMU SEDANG MEMBACA
(Jikook / Kookmin ) The Sweetest Problem
Fanfiction⚠️ BoyxBoy Story (homo story) Jikook / Kookmin story --- Hidup Jimin sudah sulit, berjuang untuk melawan mentalnya setiap hari saja ia nyaris menyerah. Bagaimana ia berjuang untuk mencintai dirinya sendiri dan berdamai dengan rasa sakit jelas memb...