Part 1

13 1 1
                                    


Rintik hujan menemani warga dalam langkah pulang terawih, aku di balik kaca kopi comel khusyuk memperhatikan langkah mereka berteman dengan suara podcast 'kehilangan diri sendiri'. Aku kira tujuan yang sudah dipikirkan matang-matang itu sudah suatu hal pasti dan tidak menggoyahkan. Fase ini quarter life crisis muncul kembali meresahkan hingga bertanya-tanya apakah benar ini tujuan hidupku? Apa sanggup aku mengambil resiko dari pilihan ini? Apakah aku mampu dengan segala konsekuensi yang harus aku pertanggungung jawabkan atas langkah yang aku ambil? Hingga kembali lagi ke pertanyaan kelas dua belas, apakah aku mencintai apa yang aku lakukan? Sebenarnya apa sih passion ku?

Berawal pada tahun 2019 usia ku 20 tahun saat itu, hobi yang aku jalani selama tiga tahun, setelah melewati berbagai peperangan dalam pikiran, sepertinya keputusan terbaik adalah melepaskan. Lima tahun berkarya tiga tahun aku turut bergabung, ini adalah pencapaian terbesar yang diraih grup teater-ku selama berproses, mendapatkan penghargaan grup terbaik pada Festival Teater Jakarta adalah kebanggaan bagi setiap kelompok teater dalam merintis karya-karya mereka.

Bapak sutradara menaiki panggung untuk mengambil penghargaan serta bersua foto. Kami dibawah sambil berteriak gembira tidak mau kehilangan momen berharga ini segera mengambil smartphone ikut mengabadikan dari bawah. Tidak lama dari itu, kami menghampiri bapak sutradara, menaiki panggung yang dipenuhi suasana bangga dari berbagai kelompok teater lain yang juga mendapat penghargaan. Saling bersalaman mengucapkan selamat atas pencapaian masing-masing. Bukan hanya bapak sutradara yang ingin memiliki momen, kami juga. Kami sekelompok bergabung dengan bapak sutradara berfoto bersama dengan papan penghargaan dan piala yang kami dapat.

Melepas kegembiraan, seperti biasanya grup teater-ku selalu merayakan dengan sederhana berkumpul sesaat mampir di tempat makan terdekat, kebetulan saat itu sudah malam, yang paling dekat hanya MCD 24 jam yang dapat kami hampiri. Berbeda dengan yang lain, selain kegembiraan ada perasaan lain dalam benakku, ketakutan untuk berbicara mengakhiri pertemuan ini. Pikiran ku saat itu: aku bahagia bisa kenal dan berproses bersama manusia-manusia hebat dengan kelebihan mereka yang saling melengkapi. Ada bapak sutradara yang paling sabar diantara sutradara teater kelompok lain tapi idenya out of the box menyaingi pemikiran-pemikiran sutradara lain. Ada si jenius yang punya pemikiran luar biasa tentang permainan sandiwara. Ada om bijaksana dengan kedewasaannya bisa menguasai peran yang dilakoni. Ada wanita sederhana yang memiliki hati yang sangat lembut membuat permainan dapat hidup olehnya. Ada si hitam manis manusia bali punya kesabaran level tinggi mampu melengkapi kekurangan-kekurangan kami berproses. Terakhir ada si multi tasking yang bisa segala sesuatu pada setiap detil dalam teater. Mereka adalah penghuni terakhir kelompok teater-ku sebelum aku pergi mengalihkan tujuan hidup.

Pada lain sisi, aku memikirkan hidup ku. Pertimbangan saat itu, melihat realita siapa aku dan hal lain yang aku suka, aku memutuskan untuk tidak melanjutkan proses di teater. Aku seorang mahasiswi psikologi, gemar bermain bersama anak-anak dan memiliki keinginan untuk melanjutkan S2 profesi mejadi psikolog anak adalah impianku. Tujuanku ternyata tidak selaras dengan proses ku, apakah aku salah? Menurutku tidak, semenjak SMA aku bergabung teater memang aku suka, tapi aku tidak memiliki tujuan di teater. Ketika proses life crisis datang aku memikirkan investasi terbaik untuk mencapai tujuan jangka panjang, teater menjadi proses yang aku kesampingkan saat itu. Tapi selama ini melalui teater aku bisa tumbuh menjadi pribadi yang cukup percaya diri dan membentuk mental bahwa menikmati proses hingga mengakhiri serta bertanggung jawab hingga akhir adalah kunci ketika kita sudah memutuskan untuk mengambil langkah apapun yang akan dilakukan.

Tepat saat itu hampirdi akhir pergantian hari, setelah makan dibarengi diskusi singkat perkiraan apayang akan dilakukan teater-ku, aku membuka pembicaraan untuk saying goodbye. Aku ceritakan segalaketakutan, kecemasan, kekhawatiran tentang 'aku tidak mampu berproses teaterbersamaan dengan proses hidup ku'. Ternyata tidak hanya perasaan bahagia,takut, tetapi perasaan sedih juga turut serta. Sedih rasanya meninggalkanteman-teman ku yang luar biasa, sedih membayangkan kalau nanti aku tidak bisakembali menikmati proses yang aku suka, sedih sampai perasaan itu menyentuhmata hingga tidak dapat disembunyikan dan semua orang yang melihat tahu bahwaaku sedih. Beserta mata yang berlinang aku bercerita, berterima kasih telahmenerima dan membantu aku yang tidak bisa apa-apa untuk berproses bersama diteater. Sedikit bercerita menyinggung kekecewaan ku pada akhir-akhir proses yangmerasa cemburu dengan teman-teman yang dapat hadir di teater lain tapi akumanusia yang selalu merasa kurang, melihat mereka seperti kurang hadir diteater-ku. Aku ceritakan rancangan masa depan yang tidak bisa aku sangkutpautkan dengan proses teater. Aku yang takut, sedih akhirnya bahagia kembali hinggamerasa lega namun balik lagi dibuat sedih terharu bagaikan menemukan keluarga,tapi harus berpisah disini. Kata-kata yang tidak dapat aku lupakan saat itu"maaf kalau merasa kecewa, tapi jangan mengambil keputusan ketika sedang emosi"ucap si jenius. Bapak sutradara tentu juga setiap katanya tidak mungkin akulupa, beliau bilang "kami tidak membatasi siapapun mau berproses dimanapun,kalau ingin kembali pintu selalu terbuka lebar" seketika air kembali menggenangdi mata bahkan ketika aku kembali mengingat cuplikan memori saat itu. 

Dua Puluhan : Quarter Life Crisis is StillTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang