Part 2

2 0 0
                                    


Dentum, bising, sesak menemani perjalanan asak

Kondisi semakin galak, terus berproses menuju masak

Kata orang ini akan baik-baik saja, kita lihat saja akhirnya

Apa memang tidak ada akhir yang sia, atau berakhir sia-sia


Masih menunggu dan melihat hasil. Disibukkan dengan rutinitas yang membuat bosan hingga jenuh bahkan terkadang burn out ­pun turut serta. Bukan tidak bersyukur, tapi apakah salah untuk mengeluh? Setelah memberanikan diri keluar dari aktivitas berteater, aku pikir kegiatanku tidak jauh dari mencari komunitas psikologi mengasah potensi lain yang mungkin bisa aku gunakan pada pekerjaanku nanti. Tapi ternyata aku mendapatkan amanat lain, bertemu anak-anak tiga kali seminggu setiap pagi mendengarkan ocehan mereka, mengajarkan hingga mendikte agar tercipta kemampuan baca tulis hitung dalam diri mereka. Sorenya, aku pergi pada balok besar untuk menyediakan es kopi hingga larut malam kemudian pulang kembali beristirahat. Berulang terus setiap minggu, setiap bulan hingga aku menemukan titik jenuh.

Menulis ini adalah cara aku menuangkan kejenuhan, kebosanan, dan pikiran burn out yang saat ini sedang bergentayangan dalam pikiran. Aku kembali berpikir, apakah benar aku menyukai anak-anak? Semakin hari bertemu anak-anak semakin kami saling mengenal. Mereka mengenal aku, tahu emosiku, dan tahu tindakku terhadap tindak mereka. Mereka yang sedang di fase banyak bereksplorasi diri, mencari tahu dan mencoba tindakan yang belum mereka rasakan membuatku kewalahan menghadapi beberapa anak dalam tiga hari itu. Aku kembali berpikir, apakah tujuanku sudah tepat? Apakah aku sanggup untuk menerima resiko yang mungkin saja hampir sama seperti ini atau bahkan lebih besar? Bukannya semakin berevaluasi malah berpikir tapi apa mungkin aku bisa mencapai titik tujuan itu?

Sebenarnya energiku cukup habis seusai pertemuan dengan anak-anak, tapi tuntutan untuk menjaga kopi setiap malam selalu aku lakoni karena pikiranku tertuju pada begitu berharapnya aku dulu untuk mendapatkan pekerjaan part-time yang bisa aku barengi dengan penghabisan semester akhir kuliahku. Sebelum ada disini, tentu aku tidak tinggal diam. Aku menemukan banyak kegagalan bahkan sempat mampir konseling bersama psikolog di puskesmas. Diagnosa yang ditegakkan adalah aku seorang survival social anxiety disorder, ternyata itulah permasalahan utama. Bukan aku tidak terima dengan kegagalan namun aku belum mengenal diriku dan belum bisa berdamai dengan keadaan aku.

Beberapa kali aku ikut sesi konseling, pikiranku berbenah untuk meluruskan setiap pikiran negatif yang padahal bukan itu realitanya. Berawal dari cerita beberapa kegagalanku pada psikolog hingga aku menganggap sepertinya aku terlahir menjadi orang gagal, aku beranggapan bahwa aku terlahir menjadi manusia yang tidak dapat berkomunikasi. Ketidakmampuan tersebut tertanam yang dikorelasikan dengan beberapa adegan 'aku adalah seorang yang gagal'. Kejadian pertama, gagal lomba pidato, bukan hanya kalah tapi aku berhenti berbicara lupa naskah yang seharusnya tidak aku hafal. Tiba-tiba isi kepala kosong hanya dapat melihat kerumunan di depan mata dengan tatapan tidak enak hati. Apalagi kepada mama yang sebelumnya begitu antusias menawarkanku berbicara depan kerumunan itu. Aku malu, aku gagal.

Keberanianku belum habis saat itu, aku tertarik mengikuti beberapa audisi pageant bukan untuk hadiah atau kejuaraan, aku hanya berpikir aku dapat berlatih komunikasi di tempat itu. Apakah berhasil? tentu saja gagal, aku kesulitan merangkai kata dalam ucapan pada setiap pertanyaan yang diajukan. Kembali aku merasakan kegagalan karena aku tidak dapat berbicara. Apakah hanya itu? tentu tidak, saat itu aku berpikir tentang uang, sepertinya jika aku ingin melanjutkan kuliah S2 aku harus sudah mulai menabung, tapi aku yang belum mendapatkan penghasilan sangat mustahil tabungan itu cukup untuk aku berkuliah. Aku memutar otak untuk menggunakan uang yang aku punya berputar serta menghasilkan. Disaat yang bersamaan aku memutuskan untuk menginvestasikan hampir keseluruhan uang yang aku punya untuk berbisnis bersama sahabat dan saudara. Bukan termasuk dalam satu usaha tapi masing-masing usaha.

Bisnis kecil bersama sahabat dengan konsep yang telah dipikirkan matang-matang dan perjanjian yang telah disepakati. Kami berdiskusi, berdebat, sampai akhirnya deal menentukan teknis produksi, pemasaran, distribusi dan pengaturan keuangan. Sudah kami luangkan waktu untuk survei dan belanja kebutuhan produksi, ternyata kehendak berkata lain, bisnis kami tidak dapat berlanjut bahkan berjalan saja tidak. Sama halnya bisnis bersama saudara dengan asas kekeluargaan yaitu tidak enakan. Aku si pemodal, saudaraku si penjual. Kami juga sudah sepakat atas pembagian keuntungan agar tidak merugi diantara kami. Namun, ternyata aku yang rugi, uang itu hilang entah sampai kapan aku harus menunggu pengembalian uang tersebut. Perjalanan itu mengantarkanku pada pikiran bahwa aku tidak dapat berbicara. Aku seorang yang gagal menyampaikan maksud bahwa aku merugi, aku membutuhkan uang, aku ingin setidaknya untuk modal yang aku keluarkan dapat kembali dengan utuh. Tapi bagaimana bisa? Atas asas tidak enakan akhirnya aku hanya bisa pasrah menerima konsekuensi dari aku yang tidak dapat berbicara. Itulah pikiran-pikiran yang membawaku kembali pada kursi konseling bersama psikolog.

Pada sesi pertama aku ceritakan segala kegagalanku kepada psikolog, aku menangis, aku membuat statement bahwa kegagalan datang karena aku tidak dapat berbicara. Tentu tidak hanya kegagalan-kegagalan tersebut, aku ceritakan seluruh hambatan yang menurutku tidak mampu untuk kutangani sendiri. Namun psikolog menyadarkanku "kamu bisa berbicara, buktinya ketika kamu bercerita saya mengerti". Tapi, aku kembali berasumsi aku tidak dapat berkomunikasi dengan baik. "Komunikasi tidak hanya berbicara, kamu dapat mendengarkan secara aktif terhadap lawan bicaramu yang kamu mampu lakukan itu juga termasuk dalam komunikasi". "Sebenarnya, kamu dapat berbicara tapi hanya karena kamu men-generalisir dengan beberapa kegagalan kamu, akhirnya menutup kemampuan kamu yang lain". "Sebenarnya itu juga bukan kamu yang tidak mampu, tapi pikiran kamu yang terbentuk karena kamu selalu berpikir tentang itu". Ucap seorang psikolog meyakinkan bahwa aku mampu berbicara. 

Dua Puluhan : Quarter Life Crisis is StillTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang