Preambule

19 1 0
                                    

***

beep beep

beep beep

Alarm penjara mulai meraung-raung.

Dengan sigap aku melompat, bersembunyi, menghindari cahaya dan kamera.

Nee naa nee naa nee naa

Suara alarm semakin menjadi-jadi ketika aku tak sengaja menyentuh sensor narapidana.

Cepatlah! Dasar aku! Tinggal sedikit penghalang lagi!

Astaga! Aku tak sadar!

Tepat di depanku, kamera cctv berlaser menangkap pergerakan ku.

Laser nya mengikutiku cepat sekali!

Aku berguling menghindar.

Aku ambil penutup tempat sampah alumunium dan kujadikan tamengku.

Betapa bodohnya aku. Aku kira alumunium itu tahan terhadap laser.

"ARGH!" Teriakku parau.

Payah! Tanganku lecet terkena sinar laser cctv sialan itu.

Semua mata narapidana lain mengarah padaku dengan tatapan yang seolah berbicara. 'percaya diri sekali kau akan lolos! dasar bodoh!'

Beberapa dari mereka justru menawarkan bantuan untukku. Ada yang memberiku Palu untuk memukul penjaga, ada juga yang memberiku jarum kecil untuk membobol gembok, bahkan ada yang memberiku rantai untuk merantai penjaga berbahaya.

Tapi tak ada yang lebih berani dari aku.

Brak!

Ku dobrak pintu alumunium itu. Para penjaga terkaget-kaget melihatku.

Astaga! Mungkin mereka semua tuli! Tidak ada yang mendengar suara alarm berbunyi sedari tadi.

Mereka merogoh celana untuk mencari pistol.

Dengan sigap ku tendang satu penjaga.

Dua.

Tiga.

Empat.

"Hosh! Hosh!" Hm, cukup ngos-ngosan.

Sisa dua penjaga yang belum aku tendang hingga jatuh.

Ku ambil dua pistol dari dua penjaga yang tengah terbaring setengah pingsan.

Tanpa ragu aku tembakkan peluru ke arah kaki mereka secara bersamaan.

Dor! Dor!

Mereka terduduk lemah memegangi kaki mereka yang berlumur darah. Sengaja yang kutembak kaki, supaya tidak berakibat fatal. Harusnya mereka berterimakasih padaku karena tidak aku bunuh!

Aku kembali berlari.

Cipratan-cipratan darah membasahi celana orange yang ku kenakan.

Tuk tuk tuk tuk

Derap langkah penjaga mulai terdengar. Aku tengah bermain dengan jarum kecil dan gembok berantai di depanku. Gerbang kecil ini adalah gerbang terakhir sebelum pintu keluar.

Astaga, kenapa susah sekali?

Sudah cukup lama aku belajar membobol gembok, tak pernah sesulit ini. Biasanya langsung kutemukan inti gembok yang jika ku sentuh menggunakan jarum akan langsung terbuka. Tapi ini?

Berbeda.

Seandainya ujung atas gerbang ini bukan kawat listrik pasti sudah aku panjat sedari tadi.

Para penjaga hampir tiba. Mereka melangkah cepat kearahku.

Dor! Dor! Dor!

Ku tembakkan peluru asal kearah atas. Tidak, tidak akan mengenai orang. Di atas sana kosong seperti disini.

Para penjaga mulai mundur.

"ARGH!" aku teriak sendiri.

Sulit sekali!

Cepatlah kebuka!

Ceklek!

Akhirnya aku berhasil membukanya.

Begitu aku hendak berlari,

Sebuah tangan kekar memegang pergelangan tanganku. Tubuhnya tinggi besar. Kepalanya tak berambut. Ia angkat tangan kananku dengan kasar. Semua lampu sorot pun menyorot kami di tengah kegelapan penjara. Pergerakan kami dikunci.

Sayangnya tak dapat ku ketahui siapa pria ini. Terlalu silau cahaya lampu menyorot kami sehingga wajahnya tak nampak di mataku.

"Sialan kau!" Umpatku.

Ia menyerahkan ku pada penjaga.

***

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Feb 15, 2023 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

PenitentiaryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang