Shira menatap pantulan diri di depan cermin. Masih memakai baju handuk, sedang, rambut hitam sepinggang yang ia miliki tergelung tinggi dengan helai-helai yang mencuat, kebasahan. Dan hal itu membuat ia malas, rambut yang basah akan menyebabkan ia kesulitan menyisir.
Setelah mengembuskan napas keras, bibir wanita itu sedikit maju. Menunjukan sisi imut yang ia miliki. Kini, umur Shira sudah 25 tahun, masih jomlo dan ia sangat ... sangat benci memakai skincare. Ya! skincare adalah musuh terbesar bagi Shira. Entah sejak kapan, namun ia sangat malas dalam mengaplikasikan berbagai macam bahan-bahan cream dan cair itu di atas kulitnya.
Meski begitu, tangan mungil berwarna putih susu milik Shira tetap terulur. Mengambil sebuah kapas, lalu toner dan mengaplikasikannya dengan merata ke atas permukaan kulit wajah juga leher. Kalau tidak dipaksakan begini, sudah pasti jerawat akan muncul di sana-sini. Terlebih di pipi, bagian hidung atau dagu.
Setelah mengaplikasikan skincare-skincare lain hingga selesai. Shira pun memakaikan bedak dan liptint dengan tipis untuk membuat wajahnya lebih segar. Pun ia mengambil botol bodycream, memakaikan kulit lengan, kaki, hingga tengkuknya cream tersebut dengan telaten.
Senyum Shira mengembang sedikit. Ia berdiri, menuju ke arah lemari berwarna putih besar di salah satu sudut kamarnya yang memiliki dinding ungu juga bedcover ungu, ah, hiasan-hiasannya memang lebih banyak berwarna ungu. Shira sangat menyukai warna tersebut.
Kini, gadis itu tengah sibuk memilih gamis. Bola matanya bergerak ke sana ke sini, hingga berhenti di salah satu gamis. Ia sedikit berjengkit, mengambil gamisnya kemudian. Gamis berwarna ungu pastel itu membuat Shira tersenyum tipis, terpukau. Gamis yang kini ada di hadapannya memang tak pernah membuat ia bosan, padahal sudah sering kali Shira pakai, bukan sekali dua kali. Bahannya sangat nyaman, menyerap keringat, dingin dan lembut. Juga jaitannya terlihat rapi, di sertai model yang sederhana. Ada sebuah tali di masing-masing sisi pinggang, yang biasanya ia simpulkan ke arah depan. Membentuk sebuah pita cantik. Ujung tangannya berbahan karet, yang kadang akan ia singkap saat di tempat kerjanya nanti. Bawahannya pun tidak terlalu mengembang, namun tidak mencetak bentuk tubuhnya. Ditambah sebuah kerudung segi empat dengan warna senada.
Setelah gamis melekat di tubuhnya, segera Shira mengambil barang-barang yang sudah ia siapkan di dalam tas berwarna hitam. Pun ia bergegas memakai kaos kaki dan menjinjing flat shoes. Dan lalu turun ke arah dapur.
"Assalamualaikum," salamnya kepada sang Abi. Yang kini tengah berhadapan dengan sebuah tablet, segelas teh lemon yang masih mengepul, juga roti bakar dengan selai kacang di atasnya.
"Wa'alaikumussalam." Segera, laki-laki itu menyingkirkan barang elektronik yang ada pada genggamannya. Lalu tersenyum menatap sang putri. "Mau keluar hari ini?"
"Iya, nih. Udah lama enggak nengok toko Bi. Meski emang bisa kerja di rumah, tapi kan kali-kali harus masuk juga liatin kinerja para pegawai."
Arkana mengangkat jempolnya setuju. "Bagus kalau gitu. Memang wanita baiknya berdiam di rumah. Tapi kan zaman sekarang harus produktif juga."
"Bener Abi." Shira mengambil salah satu roti yang telah di bakar. Yang kini tersimpan di tengah-tengah meja makan. Lalu mengoleskannya dengan selai cokelat. "Bunda ke mana Bi?"
"Bunda ke depan dulu, nyiram tanaman."
"Emang nih, Bunda lagi suka banget nanam-nanam yang kayak gitu ya." Shira tertawa kecil kemudian. "Seneng banget juga pas kemarin Shira beliin bunga anggrek. Pasti sekarang lagi dirawat."
"Bunda juga sempet cerita semalem kalau kamu ngasih bunga." Arkana meminum tehnya. "Dia seneng banget, katanya."
"Alhamdulillah deh." Shira kembali berdiri. Mengambil gelas lalu mengisinya dengan teh yang sama, yang di minum oleh Arkana. Dari sebuah teko transparan cantik yang sangat Bundanya sayangi. "Enak nih, dingin-dingin gini minum teh."
"Ih, enggak ajak-ajak Bunda."
Malya datang, bibirnya cemberut. Dan sesaat, wajahnya begitu mirip dengan ekspresi Shira beberapa menit yang lalu.
"Kan Bunda lebih mentingin kebun bunga, dari pada aku." Shira terkekeh.
"Sayang kalau enggak disiram, nanti mati," elak Malya kemudian.
"Iya deh, Bunda." Shira berdiri, kembali memakai tasnya. "Shira berangkat dulu. Assalamualaikum." Setelahnya, Shira pun mengecup pipi juga punggung tangan Malya serta Arkana. Dan bergerak ke luar, menuju ke tempat di mana mobilnya tersimpan.
Satu lagi, sebenarnya ia tak suka membawa mobil. Biasanya, jika Ibra, sang adik ada di rumah. Laki-laki itu yang akan mengantarnya. Hanya saja, Ibra sudah terlalu mandiri, kini, sang adik bahkan sudah mempunyai usaha dan rumah sendiri. Dan tentu, hal itu membuat Shira harus ikut-ikutan mandiri. Yah, mau tak mau.
Shira memanaskan mobil. Lalu melajukan si roda empat itu menelusuri jalanan Bandung pagi ini. Menuju ke suatu tempat yang, ya, sudah ia bangun mati-matian. Yang kadang membuat pikirannya pusing tujuh keliling. Sebuah toko bakery, yang ia namai Bakery Shop ini adalah satu-satunya usaha yang Shira dirikan semenjak lulus kuliah.
Dulu, ia sempat bingung, sangat bingung sebenarnya. Ia tak ingin bekerja di bawah tekanan seorang bos. Tapi ... ia juga tak bisa berbisinis. Hingga akhirnya, Ibra, sang adik, membantunya untuk mengembangkan toko bakery ini. Sampai Bakery Shop kini sudah memiliki banyak pelanggan dan cukup terkenal di daerah Bandung.
***
"Assalamualaikum." Shira memasuki dapur dengan riang. Di sana, beberapa orang wanita yang tengah mengolah bahan-bahan pembuatan kue-kue khas toko bakery langsung mendongak, lalu tersenyum senang.
"Wa'alaikumssalam," jawab mereka serempak. Kebanyakan, yang bekerja di sini adalah anak-anak sekolah menengah atas atau kejuruan yang tak bisa meneruskan kuliah.
"Gimana hari ini, kalian semangat?" tanya Shira sembari mengambil apron, mengenakannya. Memakai topi khas koki, juga penutup mulut dengan bahan mika. Tak lupa, sarung tangan juga.
"Semangat dong, apalagi ditengok sama Kak Shira!" Salah seorang di antara mereka mengedipkan mata. "Siapa tahu mau ngasih bonus."
"Nanti dikasih." Shira mendekat. Lalu melirik adonan yang dibuat oleh wanita bernama Jingga itu dengan teliti. "Kalau kerja kalian bagus dan tokonya makin ramai."
Dan, inilah kehidupan Shira, di usia dua puluh lima tahunnya. Di saat statusnya masih jomblo, dan di saat hatinya masih mengharapkan seseorang yang mati-matian ia lupakan.
__________
Lanjut?
Dont copy my story, awas, ada Allah yang mengawasi.
📒Humor, Baper, dan bikin strees tingkat tinggi. Jadi tolong berhati-hati.
📒 Karya Asli dari Resa Anisa. Atau akun wattpad @resa_anisa_.
📒 Tolong sayangi, Nashif, Shira, dan saya, melalu vote, comment dan follow
📒 See you ...📚Kalau ada TYPO tolong bantu tandai.
📚Sebaik-baiknya bacaan adalah Al-Qur'an
📚Jangan lupa Dzikir dan Salawat
📚Jangan lupa salat tepat waktuSebagai penutup
Saya mengucapkan terimakasih
Assalamu'alaikum wr.wb
KAMU SEDANG MEMBACA
Jalan Halal [REVISI]
SpiritualShira tak menyangka, di umurnya yang masuk ke 25 tahun ini, ia akan kembali bertemu dengan Nashif. Sosok laki-laki yang dulu sangat mencintainya. Yang dulu sangat tergila-gila padanya. Yang dulu ... ia tolak setengah mati. Namun diam-diam ia kagumi...