Shira menatap asap tipis dari secangkir teh lemon panas yang tersimpan cantik di atas meja. Bibir Shira menipis lalu berdecak sesaat kemudian. Kenapa banyak sekali masalah yang berlomba-lomba memasuki otaknya. Sehingga Shira merasa begitu sesak. Dadanya pun bergemuruh, penuh dengan angan dan harapan yang kini sedang ia coba hapus satu-persatu. Matanya terpejam sesaat kemudian. Ia hempaskan tubuh pada punggung bangku panjang yang kini ia tempati. Terlalu pagi untuk Shira berada di taman belakang rumahnya. Embun-embun masih bersemayam di atas rumput yang menutupi tanah dengan indah.
Sejak semalam Shira tak bisa mengistirahatkan diri. Ia bahkan terus terjaga hingga di waktu sepertiga, yang pada akhirnya, Shira gunakan untuk bermunajat dan meminta petunjuk kepada Sang Maha Kuasa.
Shira ingat dengan apa yang Imam Syafi'i pernah ucapkan bahwasannya tangan yang menengadah kepada Allah di malam hari tak akan kembali dengan keadaan hampa. Dan Shira memanfaatkan hal tersebut. Ia ingin terlepas dari belenggu dunia ini, dari belenggu fitrah rasa yang membuat ia sakit. Dan pagi ini, Shira memutuskannya. Ia ingin melupakan Nashif dengan cara menerima pinangan laki-laki yang Ibra rekomendasikan. Shira tahu bahwa, mungkin, ini akan sulit. Tapi ia yakin, meski lambat, ia pasti akan bisa mencintai dia yang akan menjadi imannya nanti.
Bukannya cinta datang karena terbiasa?
Ya, mungkin saja kan, karena dulu Nashif selalu ada di sisinya, berjuang demi mendapatkan Shira. Shira jadi jatuh cinta karenanya. Karena terbiasa oleh kehadirannya, terbiasa dengan gombalan dan tingkah lakunya. Yah, Shira yakin karena begitu.
Dan suaminya kelak pun, pasti akan membuat ia jatuh cinta kan? Ibra tak akan mungkin memberikan Shira laki-laki yang tidak benar. Ibra pasti mencari yang terbaik untuk dirinya.
Perlahan mata Shira terbuka, menatap langit yang kini sudah bersemburat kuning. Pagi sudah muncul, hangat menyapa, embun mulai menguap secara perlahan. Dan harapan baru untuk memula hidup yang lebih baik dengan sebuah ibadah yang baik pun tertanam.
Jadi dengan mengucap bismillah, Shira pun bangkit menuju ke kamar Ibra, dan mengabarkan kesetujuannya untuk dikenalkan dengan laki-laki pilihan sang adik.
***
"Kakak ikhlas kan? Aku dari awal ini enggak maksa Kakak loh, cuma menyarankan aja. Kalau Kakak enggak ikhlas enggak perlu dipaksakan," katanya, sembari tersenyum dan mengelus kepala Shira yang dibalut oleh kerudung segi empat cokelat.
Shira mengembuskan napas, lalu mengangguk dan memeluk bantal lebih erat. Kini ia sudah duduk di tepi pembaringan bersama Ibra. Membicarakan keputusan yang akan ia ambil. "Aku beneran ikhlas kok. Soalnya ya, aku juga mau ibadah. Aku mau menyempurnakan agamaku. Udah lama gini-gini aja. Lagian Abi sama Bunda juga pasti sebenernya udah pengen aku buat cepet-cepet nikah. Ya, aku kan ini punya niat baik, calonnya insya Allah ada. Jadi perlu apa lagi? Mungkin ini juga petunjuk dari Sang Maha Kuasa kan?"
Ibra mengambil tangan Shira, ia genggam hangat. "Aku yakin Kakak bakalan suka sama temenku. Dan ya, in syaa Allah ini emang petunjuk dari Yang Maha Kuasa. Lihat deh, jalannya aja dipermudah. Abi udah kasih restu sama cowok ini, begitu pula dengan Bunda. Jadi bismillah ya, Kak. Nanti aku bakalan kabarin dan minta temenku ini buat datang ke rumah. Khitbah Kakak secara langsung."
"Makasih ya." Shira membalas tatapan Ibra, senyum tipis muncul di wajahnya. "Doain aku."
"Aku selalu doain Kakak. Aku sayang sama Kakak."
"Sayang juga sama kamu." Shira mengelus rambut Ibra. "Semoga kamu dapet jodoh yang baik ya. Yang mau ngertiin kamu, yang nurut sama kamu. Pokoknya yang terbaik."
KAMU SEDANG MEMBACA
Jalan Halal [REVISI]
SpiritualShira tak menyangka, di umurnya yang masuk ke 25 tahun ini, ia akan kembali bertemu dengan Nashif. Sosok laki-laki yang dulu sangat mencintainya. Yang dulu sangat tergila-gila padanya. Yang dulu ... ia tolak setengah mati. Namun diam-diam ia kagumi...