chap 2

2 0 0
                                    

Jeongyeon tahu bahwa sakitnya mencintai akan begitu hebat dan tiada obat. Namun ia tak mau menyerah begitu saja. Lagipula posisinya sekarang jauh lebih menguntungkannya. Menjadi tunangan seseorang yang selama ini ia kagumi dan cintai dalam diamnya.

Bertahan sedikit lebih lama, meski dengan luka yang perih namun pada akhirnya ia akan mendapat apa yang diingikannya, bukankah itu akan sangat memuaskan? Sama ketika ia harus melawan ketakutannya akan ketinggian dengan memilih menjadi seorang pramugari dan menjadi profesional.

"Kapten Namjoon tadi minta kopi, kamu aja yang buatin yah. Saya mau antar kopi ke penumpang," kata Hyojung.

"Iya Kak," balas Jeongyeon.

Hyojung pergi mengantarkan makanan untuk penumpang pesawat. Tak diketahui rupanya kapten Namjoon sudah masuk ke dapur. Mencari-cari ke rak dapur entah untuk apa.

"Kapten butuh apa? Mau saya bantu?" tawar Jeongyeon.

"Cangkir, saya mau buat kopi," jawab Namjoon.

"Saya buatkan. Maaf tadi semuanya sibuk nyiapin makanan penumpang. Jadi kopi buat Kapten kejeda dulu."

"Kalo gitu makasih yah."

Namjoon masih menunggu kopinya. Suasana terasa canggung dengan hanya ada mereka berdua. Hanya ada pertanyaan dari Jeongyeon soal takaran kopi dan gula yang Namjoon mau. Sesudahnya? Tak ada obrolan. Memang begitu yang sebenarnya di antara mereka.

Selesai dengan kopi buatannya, Jeongyeon memberikan kopi buatannya pada Namjoon. Saat Namjoon mencicip kopinya, Jeongyeon terus memperhatikannya. Agak was-was takut kalau kopinya tak sesuai selera Namjoon meski dibuat dengan takaran permintaan Namjoon.

Usai Namjoon mencoba kopinya, Jeongyeon tersenyum lega kala ia mendapati senyuman Namjoon. Angannya membawa pikirannya jika ia sudah menikah dengan sang pilot dan setiap pagi akan membuatkan kopi hangat. Seusai itu saat Namjoon merasa kopi buatannya enak, ia akan memberi hadiah kecupan kecil untuknya. Romantis sekali bukan jika scenario pernikahan dalam pikiran Jeongyeon?

"Oh iya Kapten, mamah nitip salam buat Kapten," kata Jeongyeon.

"Iya makasih yah. Salamin balik buat mamah kamu," balas Namjoon. Jeongyeon mengangguk. "Ngomong-ngomong, mau sampai kapan kamu manggil saya 'Kapten' terus?"

Jeongyeon spontan menoleh dan kebingungan. "Eum ... nggak boleh yah? Terus saya harus manggil apa?"

"Bukannya nggak boleh, kamu ini lucu yah, ahahaha. Kamu nggak pengen manggil saya pake panggilan lain? Kita kan udah mau nikah, nggak ada salahnya kan kalo kamu manggil saya pake panggilan yang informal?"

Jeongyeon menggeleng, "Cukup kok saya manggil Kapten pakai panggilan 'Kapten', saya nggak akan bersikap kelewatan."

"Jadi kamu nggak mau?" Jeongyeon mengangguk kecil.

Harga diri Jeongyeon tetap harus diutamakan saat di hadapan Namjoon meskipun ada keinginannya juga untuk memanggil Namjoon dengan panggilan lain. Gampangnya, jaga gengsi sebelum sampai ke pernikahan.

"Saya balik ke kokpit yah, makasih kopinya," kata Namjoon.

"Iya, selamat bertugas Kapten Namjoon," ucap Jeongyeon. Namjoon mengangguk.



●●●●●●●●●●●●●🐨
Namun hari ini pikiran Jeongyeon berubah. Sebelumnya ia lebih mementingkan harga dirinya untuk tak memanggil Namjoon dengan panggilan lain tetapi kali ini ia tak akan akan lagi mempertahankannya. Akan ia kesampingkan harga diri yang hanya akan membuat benteng kokoh di antara lemahnya ikatan Jeongyeon dan Namjoon.

"Miyeon makasih yah, kamu bawa buat siapa lagi itu apelnya?" tanya Mina. Di tangannya sudah ada sekotak apel pemberian Miyeon.

"Buat kak Namjoon, Min. Kamu liat dia enggak?" tanya Miyeon.

CAPTAIN NAMJOONTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang