ipar

117 0 0
                                    

SAUDARA IPAR YANG MEMBEBANI

Suamiku, Bang Reyhan bungsu dari sepuluh bersaudara, saat usianya 5 tahun ibunya meninggal, saat itulah tugas mengasuh Bang Reyhan jadi tanggung jawab saudara -saudara perempuannya.  Apalagi kemudian ayahnya menikah lagi dan dikarunia satu orang anak laki-laki.

Bang Reyhan punya 6 saudara perempuan kandung, dan 4 laki-laki. Dari sepuluh bersaudara, ada 4 saudara perempuan yang tidak menikah. Dan merekalah yang mengasuh Bang Reyhan setelahnya.

Pada saat ingin menikah pun, Bang Reyhan tadinya tak ingin melangkahi kakak-kakak perempuannya itu. Tapi aku sebagai anak sulung dan sudah dilangkahi menikah dua orang adikku, merasa keberatan dan sempat kepikiran mundur jika Bang Reyhan tetap ingin menunggu saudara perempuannya menikah dulu.

Tapi akhirnya kami menikah juga, meski menurut Bang Reyhan awalnya kakak-kakaknya sedikit merasa keberatan.

Saat menikah aku dan Bang Reyhan adalah rekan satu kantor. Karena aturan perusahaan tidak membolehkan suami istri bekerja dalam satu kantor, akhirnya Bang Reyhan mengalah dan mencari pekerjaan lain. 

Alhamdulillah sebulan sebelum hari H pernikahan, Bang Reyhan mendapat panggilan kerja di sebuah perusahaan farmasi.

Pernikahan kami berjalan lancar. Setelah menikah kami tinggal dirumah Bang Reyhan. Aku merasa cukup nyaman, meski baru satu kali bertemu keluarganya saat perkenalan dulu. Mereka menerima aku dengan baik, dan aku pun berusaha memantaskan diri sebagai mantu yang baik. 

Sebelum ke kantor aku bangun paling pagi, mencuci pakaianku dan Bang Reyhan, dan membuat sarapan seluruh keluarga adalah tugas rutinku, meski di dalam rumah itu masih ada kakak ipar yang ikut tinggal bersama istri dan satu orang anak balita.

Pulang kantor aku pun tetap berusaha membantu pekerjaan rumah hingga terkadang saat malam aku sering merasa capek sendiri. Sementara Bang Reyhan jam kerjanya sampai malam dan kadang keluar kota.

Yang berat pada saat aku hamil anak pertama. Aku yang mudah lelah harus turun naik tangga karena rumah mertuaku dua tingkat. Lantai atas cuma untuk kamar tidur dan jemuran, sementara ruang tamu, ruang makan, dapur dan kamar mandi semua dilantai bawah.

Pada saat itu kami mulai berani mengambil kredit rumah, tapi lokasinya jauh dari kantorku dan perumahannya masih sepi. Jadi hanya sabtu minggu saja kami tempati.

Begitulah kehidupan kami, sampai kami punya anak dua.

Aku bukan istri yang menuntut atas semua gaji suami. Aku juga percaya saja dengan semua penghasilan suami, karena aku merasa punya penghasilan sendiri dan masih mampu mencukupi kebutuhanku dan anak-anak. Aku tidak pernah membebani suamiku dengan uang. Semampuku aku yang mencukupi kebutuhan kami.

Rupanya hal itulah yang membuat suamiku tidak jujur. Diam-dam suamiku sering memberikan uang gajinya kepada saudara-saudara perempuannya, malah lebih besar dibanding jumlah yang ia berikan untukku dan anak-anak.

Semuanya ketahuan saat suamiku di PHK dari kantornya, karena ada pengurangan karyawan. 

Bang Reyhan sangat stress, sering melamun, muda emosi. Tidak punya pekerjaan membuatnya semakin kurus. Otomatis sekarang semua aku yang menanggung, dari cicilan rumah, motor, transport, pulsa, biaya hidup.

Aku tidak mengeluh dan berusaha memberikan dia semangat untuk terus mencari kerja. Aku pun tidak tega menanyakan jumlah pesangon yang dia dapatkan. Biar saja itu menjadi pegangannya selama dia nganggur.

Hingga suatu hari aku tak sengaja menemukan nota pembelian emas 15 gram dari saku celananya, tertanggal seminggu setelah dia di PHK. 

Dan itu sudah hampir dua bulan yang lalu. Aku kaget. Karena berarti Bang Reyhan punya uang. Lalu kenapa dia tidak cerita padaku soal emas itu.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Oct 29, 2023 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

CERITA TENTANG AKUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang