PART 17

5.7K 505 59
                                    


Dirga merapikan seluruh berkas dimejanya, lalu diliriknya ruangan Gio sebentar. Masi tak ada tanda-tanda ia akan keluar ruangan. Dirga menggeser kursinya hingga kesebelah Cecilia. Setengah berbisik, ia bertanya apa saja rencana bosnya hari ini. 

"Bukanya kamu lebih tahu? Kamu kan aspri nya." 

Dirga hanya menggeleng. "Hari ini dia nggak ngomong apa-apa mbak." 

"Kok aneh ya, seharian ini harusnya ada banyak agenda yang harus ia penuhi." Cecilia bertopang dagu, lalu ia menghembuskan napas panjang. "Beberapa minggu ini pasti berat buat dia." 

"Gara-gara rencana yang mau dibeberkan di RUPS bulan depan mbak?" 

Cecilia mengangguk, lalu ia menyenderkan punggung. "Mungkin ada baiknya kamu bikinin kopi atau semacamnya. Dia kan suka kopi bikinan kamu." 

Dirga berputar di kursinya sebentar, lalu mengangguk sembari mengangkat pantatnya, hendak menuju pantry. Tepat saat ia melintasi pintu lift, pintu itu berdenting. Dirga menoleh secara reflek, tak sengaja mengamati pintu lift terbuka. Di dalam lift seseorang berdiri dengan kepala terpaku pada berkas ditanganya, lalu melangkah keluar sembari mendongakkan kepala. Tanpa bisa mengelak, pandanganya bersilangan dengan Dirga. Mereka mematung sesaat. 

"Oh, hai." Ujar Anton kikuk. Dirga tak membalas, ia hanya cepat-cepat mengangguk lalu bergegas ke pantry. Setelah ia sampai di pantry, ia tutup segera pintunya, namun ia buka sedikit untuk sela mengintip. Anton nampak menyapa Cecilia sebentar. Mungkin bertanya apa ia bisa menemui Gio sekarang. Setelah itu ia nampak menghilang di balik pintu ruangan Gio.

Dirga menutup pintu pantry, bertanya-tanya apa ia sebaiknya bersembunyi di ruangan itu hingga Anton kembali ke ruanganya sendiri. Menghela napas panjang, ia mulai mengeluarkan gelas dari kabinet, meracik kopi untuk bosnya. Sembari mencampur kopi dan gula, tak ayal memorinya kembali berputar. Ingatan kejadian semalam membayanginya kembali. 

"Lu ngaco." Dirga ingat, itulah balasan yang ia lontarkan pada pengakuan Anton malam itu. "Jangan ngada-ada." 

"Gue nggak ngaco dan nggak ngada-ada, Dir, gue cuma mengutarakan perasaan gue yang sebenernya." 

Dirga saat itu hanya terperangah. Dusta kalau ia tidak memperkirakan pengakuan Anton. Atau malah sedikit mengharapkanya. Tapi ia tak menyangka ia benar-benar mengatakanya secepat itu. Seorang straight beristri menyatakan perasaan padanya. Dan pria straight itu Anton. Mantan curutnya. Curut nomer 1 di kampusnya kala itu. Senior mantan kepala himpunan yang entah mengapa tiba-tiba takluk padanya. Selalu protes saat Dirga menginginkan sesuatu. Tapi apapun yang ia mau, Anton selalu berusaha memenuhi.

"Gue tahu ini aneh, tapi gue nggak bisa lagi nahan. Gue pengen elu tahu yang gue rasakan."

"Seriusan lu naksir gue?" 

Anton mengangguk. 

"Suka doang kaya biasa atau suka sampai pengen nyipok? Pengen ngewe?" 

Anton menganga. "Um. Tadi kan sudah gue bilang…" 

"Cium aja ato sampe ngewe?" 

Potong Dirga membuat mereka berdua mematung. 

Lalu Anton menunduk. Dirga bisa melihat sipu merah di telinganya. Tapi kurang lebih Dirga bisa menebak apa yang Anton rasakan saat itu. Dia bimbang dan bingung. Mungkin ini karena efek berjauhan dengan istrinya terlalu lama. Atau karena memang Dirga terlalu ganteng. Yang jelas ia tak yakin definisi 'suka' Anton itu sama dengan makna 'suka' mahluk homo. Pasti suka nya Anton sama seperti rasa suka Watson ke Sherlock Holmes. Atau Will Graham ke Hannibal Lecter. Atau Sanosuke Sagara ke Himura Kenshin. Atau Levi Ackerman ke Erwin Smith.

The Sweet RevengeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang