Jarak dari kota menuju pantai Indah di kabupaten Bone Bolango jauh. Namun perjalanan yang lama itu tidak terasa dikarenakan disisi kanan jalan lautan terhampar luas. Warna biru yang mendamaikan hati. Suara ombaknya pun terdengar jelas.
Ran menyandarkan bahunya ke bahu bagian kanan Erwin, lalu memeluk lelaki itu dengan erat dari belakang. Ran merasa sangat nyaman dan tenang berada di dekat kekasihnya itu. Erwin juga yang selalu ada untuk menenangkan Ran saat gangguan cemasnya kambuh.
Cemas berbeda dengan gangguan cemas itu sendiri. Gangguan cemas yaitu munculnya rasa cemas atau khawatir yang berlebihan dan tidak terkendali terhadap berbagai hal dan kondisi. Kondisi ini akan mengganggu aktivitas sehari-hari penderitanya.
Ran di diagnosa mengidap anxiety disorder sebulan sebelum ia masuk kuliah. Selama sebulan ia rutin bolak-balik ke psikiater tanpa sepengetahuan orang tuanya. Namun semenjak kuliah aktif rutinitasnya itu tidak terjalankan lagi. Anxiety disordernya semakin parah, bahkan ia sempat beberapa kali masuk rumah sakit. Ran juga seringkali melakukan selfharm dengan menjambak rambutnya ataupun memukul anggota badannya dengan sangat keras. Minggu depan ia berniat untuk kembali konsultasi pada psikiaternya.
***
Kini, mereka sudah sampai di pantai Indah, Ran segera melepas helm dan sepatu beserta kaus kakinya ia biarkan terletak begitu saja di bagian tempat duduk berbahan kayu di bawah pohon beringin sisi pantai. Begitupun dengan Erwin, setelah memarkirkan motor dan menguncinya, ia segera menyusul Ran.
Ran sibuk mengambil beberapa potret foto pantai hingga ia juga sempat mengambil foto sepatu dan sendal milik kekasihnya. Sebaliknya dengan Erwin lelaki itu mulai mencoba hobi barunya yaitu fotografi. Ia mencoba mengambil video lautan dengan cara membalikkan handphonenya dan menaruhnya dekat dengan laut.
Kedua pasangan itu juga sempat mencetak telapak kaki mereka di tepi pantai lalu memotretnya.
"Foto, yuk." Ajak Ran saat Erwin tengah melihat hasil video yang di rekamnya tadi.
"Ayo."
"Eh, Ran, itu kenapa yah ada tenda besar sekali di sana?" Erwin menunjuk ke arah tenda dan juga sebuah panggung besar yang berdiri kokoh di tepi pantai.
Ran mengendurkan bahunya, "Mungkin aja bakalan ada acara malam ini."
Erwin lalu mendekat ke arah Ran, berdiri di belakang gadis itu dan menggenggam erat pinggang Ran. Mereka berdua lalu tersenyum. Sekilas wajah dua kekasih itu terlihat mirip.
Ran dan Erwin jarang sekali memiliki foto berdua di ponsel. Mereka pun jarang mengupload foto selfie ataupun foto berdua di media sosial. Bahkan hanya keluarga mereka dan beberepa teman mereka yang tahu bahwa Erwin dan Ran menjalin hubungan. Bagi mereka itu lebih dari cukup. Meskipun terkadang Ran memiliki hasrat untuk memamerkan hubungan mereka ke khalayak umum. Namun mengingat kejadian-kejadian yang sudah lalu, Ran selalu mengurungkan niatnya tersebut.
Erwin memeluk Ran sesaat setelah mereka berswafoto. Ia mencium dahi gadis kesayangannya itu. Erwin melakukan hal itu untuk membuat gadis kesayangannya nyaman. Ran pun sangat nyaman berada di pelukan kekasihnya itu.
Tiba-tiba langit yang sedari tadi sudah mendung mulai menurunkan rintik demi rintik hujan. Karena tidak tahu harus berlindung dimana, mereka berdua berlindung di balik jas hujan yang membuat kedua badan mereka berdekatan sekali hampir tidak ada sekat di antaranya. Napas Erwin pun bisa Ran rasakan. Ran lalu tersenyum.
Hampir selama sejam mereka duduk dengan posisi yang sama. Menikmati suara ombak dengan keheningan.
"Abang bosan yah?"
"Iya. Kaki aku udah kram nih." Erwin terkekeh.
Beruntungnya sesaat kemudian awan hitam menghilang dengan perlahan. Rinai hujan yang membasahi bumi pun hilang dengan seketika. Meski masih ada beberapa titik yang turun.
"Ran, di sana bukannya ada yah rumah yang udah enggak kepake lagi?"
"Ohiya, aku lupa." Ran tersenyum kecil.
"Dasar." Erwin menoyor dahi Ran.
Keduanya lalu tertawa. Mereka kemudian memakai jas hujan masing-masing lalu menuju ke arah rumah di belakang pantai. Rumah itu terlihat sudah lama tak terurus. Sepertinya pemiliknya sudah tidak pernah balik lagi untuk mengunjungi rumah itu atau bahkan tidak berniat lagi untuk memperbaikinya.
Erwin dan Ran lalu duduk di sisi rumah tersebut menunggu hingga hujan reda dengan betul.
"Main ke batu, yuk?" Erwin mengajak gadis itu ke arah bebatuan dekat pantai.
"Enggak ah. Nanti aja, Abang." Ran menolak sebab melihat kondisi sekitar yang masih berangin.
"Makasih yah."
"Untuk?"
"Enggak untuk apa-apa?"
"Terus maksudnya Ran bilang kayak tadi itu apa?"
"Apa yah, kita harus ngehargain ngeapreasiasi hal sekecil apapun yang dilakuin oleh pasangan kita, gitu."
"Hm."
"Kok hm doang?"
"Ohiya makasih juga."
"Enggak gitu, Abang." Ran memanyunkan bibirnya di depan Erwin.
"Terus apa?"
"Enggak tahu." Ran terkekeh.
"Nah, loh, kayak semua apa yang dibilang, apa yang dilakuin sama semua lelaki itu salah loh."
"Bukan salah, sayang. Tapi tidak sesuai dengan kemauan kekasihnya itu sendiri. Namun kekasihnya pun tak tahu apa yang dia mau...," Ran berhenti sejenak, ia menatap dalam lelaki yang berada di depannya sekarang ini. "Mungkin yang mereka mau cuman satu, terkhusus aku yaitu kamu tetap ada disini sampai kita nikah nanti sampai semua yang kita impikan tercapai satu-persatu.
Erwin lalu tersenyum dan mencium dahi kekasihnya kembali, "Pulang, yuk. Udah mau sore juga nih."
"Jas hujannya gimana?"
Erwin meletakkan tangannya sebentar seakan meraba jika rintik hujan masih ada ataupun sudah hilang.
"Enggak usah, sayang. Hujannya juga tinggal dikit." Ucap Erwin seraya memasangkan helm di kepala Ran.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hope In The Hopeless
Teen FictionRandyra Azzura, mahasiswi semester tiga yang tengah menjalani pendidikannya di Fakultas Sastra dan Budaya. Randyra berbeda dengan yang lain. Jika cemas adalah hal yang wajar bagi seseorang, baginya itu adalah hal yang sangat menakutkan. Sampai ketak...