Suatu keajaiban Adara tak mengacau di kelas Herbologi tadi. Padahal seisi ruangan kelas itu sudah mewanti-wanti Adara akan mengamuk saat Profesor Sprout terus-terusan memuji Cho Chang. Patutnya mereka bersyukur. Siapa yang tahu gadis terkejam di Ravenclaw--bahkan mungkin Hogwarts--- itu bisa saja membakar habis mandrake dan membuat penutup telinga mereka terbakar tanpa tega yang artinya merugikan diri sendiri. Tapi tak bisa dipungkiri, setelah liburan panjang mereka merindukan aksi Adara yang membuat geram.
Tak berhenti membuat heran, hari ini gadis itu keluar ruangan dengan tertib. Sangat-sangat berbeda dari seorang Adara yang biasanya. Yang masih terlihat sangat Adara adalah bagaimana dia merapikan rambutnya, tak memakai jubahnya, juga mengecek dengan teliti apakah cat kukunya terkelupas. Banyak orang yang unik di Ravenclaw, tapi orang yang paling narsis hanya Adara. Tak sekali dua kali gadis itu bilang bahwa ia adalah seorang demigod, keturunan dewi yang sangat cantik, makanya dia juga cantik. Faktanya, murid-murid Hogwarts lebih menganggapnya keturunan iblis.
Mereka takkan percaya akan kebenaran atas kenarsisannya. Toh, mereka tak pernah melihat kedua orang tua anak itu, bahkan dia tak punya nama belakang. Beberapa murid Hogwarts pernah mengikutinya ke Ophidie Wall, tempat tinggalnya. Dan benar saja, gadis tak tinggal bersama orang tuanya yang tak jelas siapa. Well, jika Adara sampai tak diberi nama belakang begini, bagaimana orang-orang tak curiga tentang asal-usul anak ini. Belum lagi kelakuannya yang sering merusak di manapun mereka berada menambah keyakinan mereka bahwa Adara adalah seorang monster, utusan amatir Kau-Tahu-Siapa untuk memata-matai Hogwarts, Death Eater tanpa tanda ditangannya, atau yang lebih buruk dari itu.
Sementara Adara bersenandung ringan saat menaiki tangga menuju asrama Gryffindor. Sangat santai seakan tak ada banyak mata yang memandangnya aneh dan ngeri. Entah apa yang akan dilakukannya di asrama Gryffindor.
"Kelihatannya kau tersasar," ujar lukisan Fat Lady.
Adara memutar matanya malas, itu bukan sambutan yang tepat.
"Tidak ada izin, tidak tahu password, tidak ada kepentingan mendesak, dilarang masuk!" sambung lukisan Fat Lady.
Adara lantas melihat sekitar, berharap menemukan anak berdasi merah yang hendak masuk. Namun sepertinya semua sedang makan di Great Hall. Dia menghembus napas kasar. Dengan begitu saja akhirnya dia turun menuju Great Hall. Bukan Adara biasanya yang pemaksa.
Murid-murid lainnya sudah makan dengan khidmat. Adara buru-buru duduk di kursi Ravenclaw yang belum diduduki orang. Tindakan seenak hatinya itu membuat mata tajam prefek asramanya menatap tepat ke wajahnya. Adara menatapnya balik dan memberikan senyuman mengejek.
"Prefek tak pernah menjalankan tugasnya dengan baik ketika berkaitan denganku, kenapa?" sindir Adara, senyum sok cantik.
"Berhenti senyum sok cantik dan makan! Kau hanya tak patut menyusahkan orang, susahlah sendiri," balas laki-laki itu.
Gadis blasteran Asia itu memutar bola mata malas, banyak sekali orang merasa sok penting di sekelilingnya.
Adara meneguk segelas air sebelum tindakkan mencurigakannya kembali membuat heran. Ia memincingkan mata, menatap intens ke arah Harry Potter seakan dia adalah cadaver yang ditelisik anatomi tubuhnya. Detik selanjutnya wajahnya langsung masam, disilangkannya tangan di bawah dadanya. Mungkin benar, dia hidup di sini hanya untuk hancur.
~°•○◇¤◇○•°~
Sudah jadi rutinitas baginya untuk mengerjai orang. Adara mungkin dapat bersaing dengan Peeves. Seperti sekarang, ia berencana mengerjai kepala asramanya sendiri, Proffesor Flitwick. Proffesor kecil dan jenius itu menantang adrenalin Adara, maka dari itu akan sangat sempurna melakukannya sebagai masalah pertama di tahun kedua.
Jari lentik Adara yang dirawat setiap hari itu pemiliknya gunakan untuk membunyikan bel.
"Kau mencariku Miss..? Ah! Adara?"
Adara menghembus napasnya, lalu tersenyum licik. "Betul sekali, Proffesor"
Ini gagal, tapi Adara akan cari permainan lain.
Setelah diijinkan masuk, Adara duduk di hadapan kursi Proffesos Flitwick yang lebih tinggi.
"Jadi, masalah apa, Adara?" tanya Proffesor Flitwick sembari mengarahkan tongkatnya ke kaleng di hadapannya. Mengeluarkan beberapa kue mangkuk yang menggiurkan.
Adara mengerjap beberapa kali, keheranan.
"Uhhh, masalahku adalah.." Adara memalingkan matanya saat napasnya mulai tak teratur. Ia memejamkan matanya yang memerah, berharap kembali ke warna normal skleranya.
".. aku tidak suka pakai jubah, dan para prefek."
"Emm, rupanya kau hanya ingin melihat para kue mangkuk ini menari."
Pria kecil itu mengarahkan tongkatnya dan dalam sekedip mata, kue-kue itu menari. Salah satu diantaranya menjangkau telapak tangan Adara.
"Makanlah, yang itu tidak pakai gula karena kau Adara."
Adara tersenyum, kali ini betulan---mungkin bisa disebut tulus?
"Anda sangat perhatian professor," ucap Adara sebelum melahap kue-kue itu."Sebenarnya polanya tidak seperti itu, nak," ujar Profesor Flitwick tiba-tiba.
"Eh- pola?" Kening gadis 12 tahun itu menaut.
"Tak sesederhana yang kau simpulkan, tapi juga tak sekompleks yang kau pikirkan. Kau akan baik-baik saja di Hogwarts. Tak perlu merasa terkutuk."
"Aku melihat katak bagus punya anak tahun kesatu." Adara bahkan tak peduli setidakmulus apa ia membanting topik obrolannya.
"Bagus, Frog Choir akan segera membuka pendaftaran anggota baru. Kau sebaiknya masuk,"
"Katak-kataknya akan lari"
"Tidak, tentu saja tidak akan. Nyanyianmu bagus, dan itu lah mengapa kau tidak bersama Davies dan Chang."
Adara paham betul kalau Profesor Flitwick pasti tau dia iri pada Cho yang baru saja terpilih menjadi anggota Quidditch dan akan menjalani pelatihan sebagai seeker mulai besok lusa. Ia memerosotkan posisi duduknya dengan lemas seraya mengumpat pelan sekali.
Tapi ada sensasi yang bergerak bagai angin yang tenang di kepala Adara. Meskipun pesimisme tak begitu saja hilang. Buruk sangka masih menyesaki pikiran gadis itu pada pemilik bekas luka yang masih jadi perbincangan hangat di sekolah.
YOU ARE READING
Miss No-Surname | Harry Potter Fanfiction
FanfictionSelama apapun seseorang mengalami penderitaan, tentulah selalu ada harapan untuk kembali bertemu bahagia di sela-sela hari yang terus berulang dan selalu terkesan kosong. Setidaknya itulah yang dismpulkan Adara selama hidup 16 tahun hanya sebagai 'p...