Pagi ini adalah hari pertama Sadiya kuliah di Indonesia, setelah selama 3 tahun ia menempuh pendidikan SMA-nya di Kairo.
Sadiya mengenakan tunik peach di padukan dengan rok plisket dan jilbab yang senada, di lengkapi sneakers putih favorit-nya.
Ia menggendong tas berukuran sedang berwarna putih tulang.
"Woah ... Neng Diya cantik sekali. Udah di tunggu Mas Dion, tuh di depan," goda Atika.
"Hah? Mas Dion?" beo Sadiya.
"Heeh, Mas Dion Adhyaksa. Pangeran santrinya Darrul Qur'an," jelas Atika.
Nama belakang itu membuat Sadiya mengingat sesuatu, ia mengerjapkan matanya.
"Diya, kamu kenapa?" tanya Atika sedikit panik.
"Aku nggak papa, kok. Kinanti mana? Kok nggak kelihatan?" tanya Sadiya yang tak mendapati kehadiran sahabat satunya.
"Dia udah berangkat. Ada kelas pagi katanya," jawab Atika.
"Oh ...."
"Ya udah sana udah di tunggu. Cepaaat!" titan Atika dengan sedikit memdorong tubuh sahabatnya.
"Kamu sama siapa?"
"Aku mah gampang, nebeng Mang Asep juga bisa kok."
"Tap—"
"Udah sana."
***
Benar saja, Dion sudah berdiri di depan pintu kamar Sadiya.
"Selamat pagi, Ida," sapa Dion.
Sadiya hanya diam. Ia bingung, panggilan 'Ida' seperti pernah mendengarnya.
"Heii ... Ida, kok diam aja? Di sapa balik, dong," pinta Dion.
"Pa-pagi," balas Sadiya dengan ragu.
"Yuk berangkat, keburu telat," ajak Dion.
Sadiya mengangguk ragu.
Baru saja satu langkah, Sadiya membuka suaranya.
"Kita berangkat pakai apa?" tanya Sadiya.
Dion memutar tubuhnya.
"Pakai motor," bisik Dion.
Dengan segera Sadiya menjauhkan tubuhnya dan bergidik cepat.
Dion terkekeh, ternyata Diya di hadapannya ini masih tetap sama.
"Kamu kok ketawa, sih," kesal Sadiya.
"Bercanda, Ida. Ternyata Ida nggak berubah, ya," ujar Dion.
"Jadi, kita berangkat pakai apa, Adi!" refleks Sadiya.
Di dalam hatinya Dion bersorak bahagia, karena Diya masih ingat dengan panggilan masa kecilnya. Meskipun Ia yakin Diya tak sengaja menyebut nama itu.
"Kita berangkat pakai sepeda."
***
Universitas Pelita Nusa, ya di sini lah Sadiya berada, ini hari pertamanya menjadi mahasiswi Indonesia.
"Permisi, Mbak. Ruang BEM di mana, ya?" tanya Sadiya pada bagian resepsionis di loby kampus.
"Ada di lantai dua, Mbak," jawab petugas resepsionis.
"Terima kasih, Mbak."
"Sama-sama, Mbak."
***
Sampai di lantai dua, Sadiya mengedarkan pandangannya.
"Kinanti," panggil Sadiya kala melihat sahabatnya menuju ke arahnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
DILEMA
Teen FictionHidup dan tumbuh di lingkungan pesantren membuat Sadiya mengalami banyak fase di kehidupannya, ttermasuk cinta. Dion, seorang pemuda yang selalu menemaninya sejak kecil bahkan ia menganggap Dion adalah cinta masa kecilnya. Kepulangannya dari Kairo m...