02. Kesan Pertama

175 39 13
                                    

“Lagi?”

Lengkungan bibir yang tampak menyebalkan itu menghiasi wajah gadis rambut hitam berhiaskan telur mentah di sekujur tubuh. Lima menit lalu ia memutar otak, ingin memasuki rumah tanpa mengotori lantai, namun sia-sia saja perjuangannya. Jingga meringis singkat melihat jejak kaki kotor yang tertinggal.

Langit bersandar pada kursi ruang tamu, wajahnya kusut, pun seragam sekolah yang tak lagi rapi, rambutnya berantakan dibasahi keringat, sepertinya habis bermain basket.

“Ngapain kesini?” tanya Jingga menaikkan alis keheranan. Sebenarnya tak ada niat memberitahu Langit tentang kejadian hari ini, awal mula kenapa dirinya pulang dalam keadaan menjijikkan, sudah begitu kakinya pegal luar biasa setelah berjalan dari sekolah ke rumah, mana mungkin Jingga berani naik kendaraan umum dalam keadaan begitu, tak mau membuat orang lain terganggu akan kehadirannya, terutama bau amis yang menempel pada tubuhnya. Eh, malah sekarang tertangkap basah. Sialan.

“Minta deterjen.”

Tidak, Langit tidak akan marah. Pemandangan yang hampir tiap hari menyapa indra penglihatan itu sudah seperti oleh-oleh sepulang sekolah. Jingga bahkan tak mengeluh, tak mengadu padanya, tak menangis, senyum tipisnya membuat Langit mengurungkan niat ingin mencerca sang gadis dengan berbagai pertanyaan.

Kemarin rendang, kemarinnya lagi kuah soto, kemarin kemarinnya lagi air comberan, hidung Langit jadi kebal bau. Jingga melengos, cepat-cepat mengambil satu renteng deterjen kemudian melemparkannya pada Langit. “Bawa semua aja.”

Karena minimarket maupun toko kelontong letaknya lumayan jauh dari rumah mereka, Langit suka tiba-tiba meminta kebutuhan rumah pada Jingga yang punya jadwal belanja di awal bulan.

“Kenapa?” tanya Jingga, alisnya mengkerut mendapati Langit tak segera pergi dari tempatnya.

“Berapa?”

Jingga mengangkat tangan, membuka lebar jemari kanannya, memberi jawaban tanpa suara.

“Lima? Serius?”

Lagi-lagi, Langit menghela napas kasar. “Nanti aku bantuin keramas.”

Sang gadis menggeleng sekali lagi, tak mau membebani tetangga tampannya, toh dia juga harus mencuci seragam miliknya sendiri. “Gak. Nanti kamu ikutan bau.”

Tatapan Langit menajam, seolah memaksa Jingga berterus terang, menjelaskan apa saja yang terjadi saat di sekolah, apa saja siksaan yang ia terima hari ini, apa saja hinaan yang masuk telinga, apa saja hal yang ia lakukan selain diam?

Langit juga punya perasaan, Langit memang sudah berusaha tak ikut campur, tapi hatinya hancur. Jingga salah apa hingga harus hidup seperti ini? Dosa apa yang dia lakukan di kehidupan sebelumnya sampai membuat Jingga menderita setiap hari?

“Buat yang tadi, alasannya apa?”

Karena tak ada pilihan lain, Jingga pergi ke kamar mandi dengan Langit yang mengekor. Membiarkan pintu toilet terbuka, sementara Jingga membilas rambutnya dengan air secara perlahan, Langit hanya berdiri memperhatikan. Dua dari lima telur yang dilemparkan pada Jingga adalah telur busuk. Tidak usah dibayangkan baunya, Jingga bahkan tak mau mendeskripsikan. Ia menoleh ke belakang, sekilas menatap Langit. “Negur karena bawa rokok.”

“Sinting. Gak sempet menghindar?”

“Dipegangin lima orang.”

“Bilang aja ke Papa, minta pindah ke sekolahku, gimana?”

“Jangan. Mahal.”

Selalu saja, mahal katanya. Sekolah Langit memang swasta, tapi tata tertib dan keamanannya terjamin, tidak ada ketimpangan siswa. Berbanding terbalik dengan sekolah Jingga, dikenal dengan sekolah negeri tapi hal-hal seperti bullying tak ditanggapi dengan serius. Meski sudah melaporkan pada guru, mereka bilang tak bisa memproses akibat tak ada bukti jelas. Langit sudah beberapa kali meminta gadisnya merekam tindakan buruk yang ditujukan padanya, Jingga yang tidak mau. “Kinara Mentari Jingga, kamu tuh susah banget dibilangin.”

“Gak papa, cuma dilempar telur, bukan batu bata ini.”

Orang dewasa di sana tidak tahu, sama sekali. Papa Jingga selalu bekerja sampai larut malam, orangtua Langit tak pernah menaruh perhatian pada anak tetangga yang kesulitan, mereka hanya sibuk menuntun Langit ke jalan yang sudah mereka tentukan, yang jelas saja ditolak mentah-mentah. Yah, belum ada pemberontakan berarti dari Langit sendiri, posisinya cukup aman dengan berdiam diri menurut seperti anjing peliharaan.

Langit masih ingat raut wajah yang Jingga pasang saat pindah ke samping rumahnya. Menangis sambil memegang es krim yang mencair memenuhi tangan kirinya. Hari itu Jingga bukan hanya kehilangan es krim kesukaannya, tapi kehilangan satu pilar yang selama itu membuatnya kokoh berdiri. Iya, dengan berpindahnya Jingga, menandakan bahwa ia kehilangan wanita yang melahirkannya pula, sang Mama.

Kinara Mentari Jingga, anak sepuluh tahun yang rambutnya dikepang dua, memakai topi warna hijau neon, ransel dan sepatu berwarna senada, dan es krim matcha yang dibenci Langit karena rasanya seperti rumput terinjak kuda. Kesan pertama Langit jelas saja tertawa terpingkal-pingkal karena pakaian yang norak untuk ukuran anak seumurannya. Dan lagi, dia pindah ke perumahan yang cukup elit, tidak sembarang orang bisa membeli rumah di sana. Kontras dengan penampilan anak pindahan yang cenderung kampungan.

Ah, ingatan yang menyenangkan. Dulu Jingga sering menangis karena hal-hal sepele, tapi sekarang satu tetes air mata pun tak pernah keluar dari pelupuk mata. Langit menghela napas panjang.

“Nanti jadi ketemu Mama kamu?”

“Iya.”

Semoga saja pertemuan kali ini berjalan lancar, Langit tak mau membuat binar di mata Jingga memudar. Hari ini saja.

 Hari ini saja

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

[haiiiiii]

Keep You SafeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang