Bagi Jingga, dua jam membersihkan diri adalah rekor tercepat selama hidupnya. Dari kasus-kasus sebelumnya yang bahkan membutuhkan waktu lebih dari setengah hari untuk menghilangkan bau pada rambut, belum juga bau badan, Jingga benar-benar heran. Terima kasih pada Langit yang membantu, tentu saja ini pertama kalinya ia diizinkan masuk ke kamar mandi ketika Jingga membersihkan diri—kali ini setelah dilempari telur busuk.
Langit menyisir rambut Jingga dengan perlahan, penuh sayang. Sejak tadi ia melarang Jingga bergerak, biar Langit yang mengeringkan rambut gadisnya, biar Langit yang mengeluarkan tenaga, Jingga duduk diam saja.
Keheningan di antara mereka pecah diisi suara hair dryer, menyadarkan Jingga jika sang lelaki tampak menyatukan alis dari pantulan kaca, raut mukanya tak bahagia.
Menunduk satu-satunya hal yang bisa dilakukan, Jingga menatap jari-jarinya yang mengeriput karena terlalu lama berkutat dengan air.
Tak ada suara lagi yang terdengar setelah Langit meletakkan hair dryer, merengkuh tubuh rapuh gadis di depannya. Ia membenamkan kepala di ceruk leher Jingga yang masih terasa hangat, menahan segala emosi yang kian memuncak. “Nggak bau, udah wangi.”
Jingga mengernyit, tak percaya, “Bohong, hidung kamu udah mampet karena sering deket-deket aku. Saraf penciuman kamu perlu diperiksa ke THT.”
Mengeratkan pelukan, Langit mati-matian mencegah cairan bening lolos dari mata, dadanya bagai dijatuhi batu sebesar gunung, menghancurkannya berkeping-keping. Tak bisa melakukan apapun untuk gadisnya yang sejatinya butuh tameng adalah bagian penuh penyesalan selama hidup. Langit benci, melihat Jingga menangis tanpa mau beri tahu penyebabnya. Langit benci, memeluk badan bergetar Jingga yang pura-pura kokoh di luar sana. Langit benci, ia tak punya cukup kekuatan untuk membuat dunia tunduk padanya.
Dan yang paling Langit benci, fakta bahwa ia dan Jingga hanya remaja berusia tujuh belas tahun yang belum punya kepercayaan diri untuk melawan dunia.
Dunia kejam, ya?
Bajingan.
Langit yang merasakan tepukan di punggung tangannya mulai memasang senyum lagi, mengusir segala isi kepala, menatap bayangan Jingga di cermin, kemudian memasangkan pita merah setelah berhasil menguncir separuh rambut gadisnya.
“Ayo, udah jam segini,” beranjak dari sudut kasur, Langit menunjuk jam bulat yang terpasang di tembok, mengajak lawan bicara ikut bersiap.
Jingga, dengan raut berpikir menyeletuk, “Apa gak usah ketemuan aja?”
“Kalau Mama kamu udah nungguin, gimana?”
“Kemaren enggak datang.”
Menyamakan tinggi dengan Jingga, Langit menjadikan lutut sebagai tumpuannya. Merapikan anak-anak rambut yang mencuat tak beraturan di pipi. Langit sedih tiap membelainya karena dulu pipi tirus itu berisi. Gembul. Lucu. Siapa yang merenggut bola-bola ubinya yang melekat di pipi Jingga?
KAMU SEDANG MEMBACA
Keep You Safe
Fiksi Penggemar"Dunia jahat lagi sama kamu? Gapapa, nanti aku lawan! Kamu cukup berlindung dibelakang, mau peluk juga dipersilakan." Langit dan Jingga hanya anak usia tujuh belas tahun yang bermimpi punya rumah nyaman untuk berdua, tak apa kecil yang penting bisa...