"Di area dadanya terdapat lebam, bisa saja karena pukulan atau terkena benda yang lumayan keras dan berat, seperti bola basket. Tapi ini masih bisa dibilang baik-baik saja, tapi tidak jika terjadi hal seperti ini lagi. Ingat Kei, paru-parumu sudah bermasalah. Jadi tolong di jaga."
Tepat,
Tepat sekali prediksi dokter Yuda. Kei menundukan kepala tak berani menatap sang kakak yang berdiri di depannya dengan emosi yang bisa kapan saja meledak.
"Kenapa gak bilang?" tanya Xavier. Kei menggelengkan kepalanya. "Punya mulut kan? Jawab." ucap Xavier dingin.
Kei meremas jemarinya. "M-maaf." lirihan yang terdengar seperti bisikan namun Xavier masih bisa mendengar.
"Gue gak mau denger maaf lo. Kenapa gak bilang kalo dada lo kena bola basket kemarin?" Kei menggigit bibir bawahnya, melihat Xavier yang seperti ini sungguh membuatnya takut.
"Jawab Kei Pradipta. Punya mulut kan?!" geram Xavier.
"M-maaf, kak Vier." jawab Kei.
Xavier mengeraskan rahang, bukan hal baik membiarkan Kei seperti ini, tapi anak itu sudah tidak mau terbuka. Dan bukan hal baik membiarkan dadanya terkena bola basket begitu saja tapi Kei malah menganggap sepele penyakitnya.
"Liat gue!" perintah Xavier. Kei tetap diam menunduk enggan menatap sang kakak. "LIAT GUE KEI!"
Kei memejamkan mata ketika Xavier membentaknya, air matanya berlomba-lomba turun, jantungnya bergemuruh tak karuan. Ia takut, sungguh. Bayangan perlakuan kasar Xavier padanya dulu tergambar jelas di memorinya.
Tubuhnya bergetar samar. Kei perlahan mengangkat kepala dengan air mata yang sudah membasahi pipi. Ia menatap Xavier sayu, manik kelam milik Xavier balik menatap tajam netra hazel berair milik sang adik.
"Kenapa lo gak bilang?" tanya Xavier dengan nada datar. Rasa bersalah seketika menyeruak ketika melihat wajah Kei yang menatap takut padanya.
"Hiks k-kak Vier ma-maaf.." lirihnya dengan isakan.
.
Xavier menghembuskan nafas kasar, ia beralih memanggil bi Asih dan tak menunggu lama bi Asih langsung datang."Iya, mas?"
"Tolong siapin obat Kei, ada tambahan obat dari dokter Yuda. Resepnya ada di kamar saya, ambil aja."
Bi Asih mengangguk. Ia lalu menatap sendu Kei yang masih menangis, bi Asih percaya. Xavier tidak akan pernah berubah seperti dulu lagi. Setelah mengambil obat, bi Asih membantu tuan mudanya untuk meminum.
Anak itu masih sesegukan menangis. Sedangkan Xavier hanya menatap datar. Sepeninggalan bi Asih, Xavier masih menatap datar Kei yang masih menangis. Ia mengalinkan pandangan nya lalu menghela nafas.
Berjalan mendekati sang adik, lalu duduk disamping Kei dan membawa tubuh bergetar itu ke dalam pelukannya guna memberikan rasa nyaman. Kei langsung meremas kemeja belakang yang di pakai sang kakak.
"Maaf.." gumamnya.
Xavier mengusap punggung Kei, tak bisa di bohongi, ia juga masih emosi. Tapi bukan kepada Kei ia harus menumpahkan emosinya.
"Udah-udah..." ucapnya lembut. Ia lalu menaruh tangannya di dada Kei, jantung anak itu berdetak tak karuan. "Maaf.." bisik Xavier sambil mencium pelipis sang adik.
Xavier tau adiknya pasti takut. Karena sudah lama ia tak pernah menunjukan amarahnya lagi. Xavier menunggu Kei tenang, setelah lumayan lama dan Kei akhirnya berhenti menangis.