Satu jam telah berlalu, hujan tak kunjung reda. Tubuhku menggigil kedinginan, terpaan air hujan membasahi baju yang kupakai. Atap pelataran toko, tempat kuberteduh tak mampu memberikan perlindungan yang cukup. Aku mulai lelah. Dimanakah aku bisa berlindung? Kemanakah aku harus berjalan?
Aku hanya bisa berpindah dari satu tempat ke tempat lain tanpa tujuan. Tak sepeser uang-pun kugenggam, hanya buntalan kain berisi baju-baju sederhana yang kubawa.
Perutku semakin membuncit, bayi yang kukandung semakin menua. Apa yang harus kulakukan, ketika bayi itu lahir. Apa yang harus kukatakan, ketika bayi yang kulahirkan menanyakan ayahnya. Ah...
*****
Tiga belas bulan yang lalu, kau datang dengan kesahajaan dan memperkenalkan diri dengan nama Muhammad Isa pada keluargaku di tanah Minahasa. Kau mampu menarik hati papahku, membuat papah memberikan segalanya kepadamu, termasuk aku. Pendekatan yang hebat untuk seorang pendatang yang mampu meluluhkan hati seorang kepala suku yang begitu keras.
Hingga akhirnya, kau membawaku ke Jakarta, tempat asalmu. Saat itu, aku tengah hamil dua bulan dari hasil pernikahan denganmu. Aku merasa bahagia tiap kali kau menjanjikan banyak hal padaku.
Minahasa yang terletak di pedalaman, jauh berbeda dengan Jakarta yang metropolitan. Aku terbius sejenak. Seakan tak percaya, saat pertama kali menginjakkan kaki di Jakarta, hati kecilku bertanya,” Dimana aku berada?” Namun, semua itu hanya menyisakan bayangan belaka yang menggores luka dengan sayatan yang tajam di hatiku.
Masih teringat jelas dalam benakku...
Kala itu, bayi di kandunganku berusia lima bulan dan pernikahan kita memasuki bulan ke sembilan, datang seorang perempuan dengan baju daster yang menutupi tubuhnya. Dia memaki-makiku dengan pedasnya dan menanyakan keberadaanmu yang saat itu tengah tidur siang dengan pulas. “Dasar pengganggu suami orang! Dia itu suamiku,” ucapnya kasar.
Hatiku benar-benar sakit mendengar perkataannya. Dia-pun memaksaku masuk, membangunkanmu. Aku hanya bisa menangis ketika kau pergi dengan perempuan itu tanpa membelaku sedikitpun.
Aku-pun harus beranjak pergi, ketika sang pemilik rumah menagih uang sewa. Aku tak memiliki uang sepeser-pun. Aku mulai hidup terlunta-lunta dan tak pernah lagi mendengar berita tentangmu. Kau benar-benar lenyap, seakan ditelan bumi.
Kini, aku hanya bisa meratapi nasib. Kembali ke tanah Minahasa adalah setitik harapan yang sangat kecil. “Ah....hidup ini terlalu pahit”, diriku membantin.
*****
Sejak tiga hari yang lalu, aku menempati tempat ini, bangunan paling ujung dari kompleks pertokoan. Tak jarang, aku melihat tatapan aneh dari orang-orang yang berlalu lalang dan sesekali aku mendengar mereka meneriakiku orang gila.
Genap sembilan bulan usia bayi yang kukandung, inilah hal yang paling kukhawatirkan. Keadaanku tak mendukung untuk melakukan proses persalinan. Ah....tiba-tiba perutku terasa sakit, ada cairan bening yang keluar menyertainya. Apa ini yang disebut melahirkan? Aku berteriak minta tolong dengan sisa suaraku yang serak, namun tak seorang-pun yang menghiraukan.
“Papah....mamah....tolong aku!”, diriku mendesis. Perutku semakin terasa sakit, aku tak kuasa menanggung. Hingga akhirnya, semua menjadi putih dan aku tak sadarkan diri.
Suara tangisan bayi yang menjerit membangunkanku, namun aku masih terlalu lemah untuk menggapainya. Letaknya terlalu jauh, tepat berada di ujung kaki. Sedikit, demi sedikit kumencoba untuk menggapainya. Aku tak kuasa menahan iba, mendengar tangis yang mengisyaratkan butuh pertolongan. Aku angkat tubuhnya, lalu kudekap erat diantara dada dan kedua tanganku.
Ada luka baru di hatiku. Bayi ini, anak kita. Memiliki kemiripan yang kontras denganmu, seakan mengajakku untuk mengingat kembali pada luka yang berusaha kututupi. Mata elangnya, mata elangmu. Hidung bangirnya, hidung bangirmu. Wajah ovalnya, wajah ovalmu. Aku hanya bisa menatap sendu, aku tak ingin menurunkan kebencian ini padanya. Aku menyayanginya. Aku mencintainya. Dia tak pernah salah atas penderitaan ini.
Andai bisa kulumat.Inginku menelan dan memasukkannya kembali pada perutku. Aku tak rela melahirkannya dengan keadaan yang sangat tak layak. Tak sedikitpun kebahagiaan yang bisa kuberikan. Andai kau bisa kulumat, anakku..
ISS, 14 April 2011
Saat kau dan aku masih bercumbu dengan makhluk bernamakan pena.
P.S Sebuah cerpen karya seorang teman yg enggan disebut namanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Andai Bisa Kulumat
Historia CortaSebuah cerita pendek tentang perjuangan seorang Ibu untuk anak yang baru dilahirkannya.