"Leyla! Ayah sudah memberitahumu, jauhi laki-laki tidak waras itu! Manusia aneh seperti dia akan selalu membuatmu ikut dalam kenekatannya yang berakibat membahayakamu Leyla!" Suara rendah yang terdengar seperti menahan marah dari seorang pria paruh baya.
Seorang wanita paruh baya yang sedang berada di dapur berjalan datang kearah pertengkaran Ayah-Anak diruang tengah sambil membawa nampan lalu dengan hati-hati menaruh segelas kopi dan teh diatas meja.
"Ayah mengapa tidak sedari dulu saja kau belajar menahan emosimu itu akan sangat menyenangkan sayang" Celetuk ibu dengan lembut lalu ikut bergabung dengan kami di sofa.
Ayah yang mendengar celetukan ibu hanya mendengus kesal dengan telinga yang sudah memerah spontan memalingkan wajahnya.
Diamlah bu aku tau kau hanya menggodaku untuk membantu anak bontot keras kepala di depanmu itu.
Lalu ayah kembali menatap ibu dengan matanya seperti menjelaskan perkataannya tanpa berbicara.
Huh apa suaminya ini tidak sadar bahwa putrinya berasal dari hasil akurat cetakan dalam dirinya sendiri.
Sedangkan ibu hanya menanggapi dengan memutar bola mata mengerti apa yang ayah sampaikan dan kembali diam sambil meminum teh santai menyimak pertengkaran ayah-anak yang sama-sama keras kapala dan gengsian tersebut.
"Ayah tapi namanya Vian bukan laki-laki tidak waras ataupun aneh! Vian tidak ada niat membahayakanku, dia hanya membantuku melihat dunia luar yang ayah tutupi dariku!" Kesalnya.
"Ayah tidak mau tau kau harus memjauhinya, Leyla. Jika ayah melihatnya bersamamu maka ayah akan membuatmu home schooling lagi" ujar ayahnya dengan suara yang lebih melunak.
"Ayah egois!! Aku hanya ingin bebas ayah!" bentak Leyla gadis remaja itu berlalu tergesa gesa menuju kamarnya membanting pintu.
Niatnya setelah pulang sekolah ingin meminta izin baik-baik keluar bersama pacarnya Vian tetapi ayahnya sudah terburu emosi mendapat kabar kemarin ia yang ikut berpatisipasi dalam lomba balapan.
Sebenarnya saat itu tidak semua salah Vian tapi ia yang mengajak atau lebih tepatnya membujuk Vian untuk sebentar pergi kesana menemaninya. Ia yang ingin tahu seperti apa suasana balapan karena teman-teman sekelasnya yang hanya membicarakan lomba itu saat jam pelajaran dibelakangnya sampai jam pembelajaran berakhir. Vian yang sudah terbiasa kesana pun tidak keberatan mengajaknya kesana dengan syarat hanya sebentar.
Ia yang harusnya sekarang sudah bersiap siap untuk pergi dengan Vian dan teman-temannya harus duduk diatas kasurnya dengan bingung. Apakah ia tidak jadi pergi dengan Vian? atau ia harus pergi diam-diam? Oh tentu jangan kaget dengan opsi kedua, sebab ia sudah pernah melakukan opsi kedua.
Jangan salahkan dirinya, ayahnya saja yang terlalu mengekangnya sampai ia berani berbuat nekat.Saat itu ia sudah mengirim pesan kepadanya pacarnya bahwa ia tidak diberikan izin untuk pergi dan meminta maaf sepertinya tidak jadi ikut tetapi tidak sampai setengah menit, pacarnya datang melalui jendela kamarnya yang berada dilantai dua jangan lupa dengan cengiran khasnya sambil berujar,
Nona apakah penyihir tua itu menyekapmu? Maka pangeran tampan ini akan membebaskanmu.
Ah! jika dulu ia hanya seorang gadis naif, penurut dan pemalu maka sekarang ia sedikit berani semua itu dimulai semenjak ia memasuki tingkat SMA dengan Vian yang mengajaknya berkenalan dan mengajaknya berkenalan dengan teman-temannya Abi, Ani, Jacob, dan Serra.
Mereka sungguh selalu bersemangat seperti kata menyerah tak ada dalam hidup mereka. Mereka membantunya menyelinap keluar malam disaat semua keluarganya sedang tidur lalu kami bersepeda dengan leluasa dijalan raya besar yang sepi atau berpantai di malam hari yang dimana sangat tenang tidak seperti pantai pada siang maupun sore hari yang ramai.
KAMU SEDANG MEMBACA
Happier
Fantasy"aku gak bisa maksa apapun keputusanmu, Liqsi. Tapi jika kamu memaksa aku berkata jujur untuk sekarang maka aku gak bisa membayangkan kamu pergi Liqsi it's scary" Lirih lelaki tersebut. Seberapa dirinya menahannya pun tetap bahunya terlihat bergetar...