"Ada apa?" Dialog pertama kalinya, dengan tatapan sayu bercampur gelisah dapat terasakan.
"Maaf," terjeda sebentar untuk memikirkan alasan yang bagus, "tadi saya nyalain senter buat cari barang saya yang hilang." Tentu saja, mulut ini berstrategi bohong.
"Sendirian?" tanyanya datar, dan kujawab dengan anggukan canggung.
"Mau temenin saya?" Ia kembali bertanya. Anehnya, kali ini aku hanya mampu menjawab secara non-verbal, dan ikut duduk bersamanya.
Tak lama, ia mengambil sebatang rokok dari bungkus saku celana. "Mau?"
"Hah? Saya bukan perokok, kak."
Aku panik, seperti akan dicekokin."Iya ya, nanti batuk," katanya. Tapi tak lama, ia membakar ujungnya sedikit dengan korek api.
Bibir gelap serta kering kak Jevan, menjadi bukti bisu telah banyak sesapan rokok dinikmati. Terlepas dari rumor bahwa ia kasar, kini di hadapanku ia hanya sosok yang terlihat rapuh.
"Saya kira kamu cukup tahu, bahwa presensi bulan adalah pengingat waktu untuk pulang," ucap kak Jevan tiba-tiba, sontak aku beralih menatap langit.
"Kakak sendiri ngga pulang?"
Ia menggeleng. Napasnya terhembus bersamaan gumpalan asap abu-abu. "Suntuk di rumah. Ngomong-ngomong, kamu jurusan apa?" tanya kak Jevan.
"Jurusan Psikologi, kak," jawabku.
Lagi-lagi ia menghembuskan napas. "Gimana ya, rasanya memilih jalan sendiri? Saya merasa hidup saya selalu diatur oleh keputusan orangtua, tanpa menoleransi pilihan saya sendiri." Tak berbeda dari yang Elen katakan saat di perpustakaan. Ia bercerita seperti ini seolah sudah mengenalku.
"Ah, saya terlalu serius, ya? Entah kenapa, tiba-tiba ngomong begini."
"Kak," panggilku hingga ia menoleh. "Hidup cuman sekali. Semua tentang diri sendiri, perasaan orang lain ngga perlu dipikirin."
Sang lawan bicara malah terkekeh. "Biar bagaimanapun, mereka orangtua saya, lagi pula bisa saja orang lain berspekulasi saya anak durhaka kan, kalau menentang keputusan orangtua."
"Jangan mau kalah sama lidah yang bahkan ngga bertulang, selagi kita punya prinsip sendiri," kataku berusaha lagi meyakinkan.
"Percuma," ia mendelik.
"Bahkan orangtua saya ngga pernah menerima segala bentuk penghargaan lomba yang saya raih dalam bidang musik sebagai bukti. Saya capek. Hidup saya melulu diatur, sedangkan adik saya bisa mengambil jalannya sendiri." Kak Jevan kembali menghisap batang rokoknya.
"Kakak punya adik?"
Ia mengangguk. "Iya, dia jurusan animasi. Namanya Elen Natalia."
Tentu saja aku sukses dikejutkan. "Elen? Dia temen saya. Tapi saya ngga pernah denger kalian saudara kandung?"
"Ah, mungkin dia malu mengakuinya," opininya sambil menggurat senyum manis. Tidak, miris.
"Kakak tau alasan mereka menyuruh kakak masuk ilmu politik?" Pertanyaanku dijawab gelengan. "Kakak jangan ragu tanya, pasti keinginan orangtua untuk anaknya bukanlah hal buruk."
Setelah puas berucap, aku bangkit dari bangku. "Saya ngga punya maksud ikut campur, maaf kalau kakak risih. Saya permisi kak," izinku berpamitan.
"Oh iya." Aku berhenti sejenak. "Kak Jevan bakal makin ganteng kalau ngga ngerokok."
――-――-
Jevan pergi ke kediamannya.
Dalam hati, ingin sekali punya tempat berpulang selain rumah.
Namun, semua hal ganjal bisa diselesaikan. Sekaranglah Jevan membulatkan tekad untuk berbicara baik-baik dengan orangtua di rumah.
Pria pirang itu membuka pintu. "Jevan pulang," ucapnya lemas.
Tak jauh dari ambang pintu, Jevan dapat melihat wanita paruh baya di dapur sedang meminum obat. "Je? Kok, baru pulang?" tanya wanita itu yang adalah ibu Jevan.
Jevan melepas sepatunya lalu beranjak duduk di sofa. Ia melipat jari-jemarinya, tak berhenti memainkan kaki sampai tak sadar menggigit bawah bibirnya sebab rasa risau. Tekad yang baru saja kukuh, seolah runtuh sekejap saat masuk rumah.
Tanpa adanya permintaan, kini sang ibu sudah menyiapkan makan malam sederhana di meja depan Jevan. "Astaga, lihat badan kamu! Kurus sekali, kamu pasti belum makan seharian ini." Ibu Jevan meraba bahu sampai lengan sang putera yang kurus. Seperti hanya tulang dibalut kulit tanpa daging.
"Kamu minum dulu, pasti capek, 'kan? Mama udah masakkin makanan kesukaan kamu," ujar ibunya sembari memberi piring yang berisi sayur, lauk-pauk dan nasi dengan porsi banyak. Rupanya, kerisauan sang ibu lebih besar dibanding kerisauan Jevan saat ini.
Namun, Jevan tidak berkutik. Ia menatap lekat wanita di hadapannya. Terlihat bulir keringat pada kening, poninya sedikit berantakan, serta kerutan-kerutan halus di wajahnya tak lantas meluruhkan cantiknya.
"Ayo, makan! Kenapa diam aja? Gimana bisa calon pejabat negara ini kurus kering begini?" kekeh ibu Jevan.
"Mam." Suara serak pria itu memanggil ibunya. "Bahkan meskipun Jevan sering bolos kuliah, kenapa mama selalu mengharapkan hal lebih? Sukses seperti apa yang mama mau?"
Sang ibu merekahkan senyuman. "Sebenarnya ... mama mau minta maaf sama kamu. Maaf, mama terkesan memaksa kamu ambil jurusan ilmu politik. Mama selama ini tidak peka sama cita-citamu jadi musisi. Tapi, kamu tahu, kan, kenapa papa mu masuk penjara?"
Anak itu, merundukkan kepala. Bungkam seribu bahasa.
"Orang yang ngga bersalah difitnah melakukan korupsi oleh rekannya, bahkan hukum pidananya masih berlanjut sampai sekarang. Kalau bukan kamu, terus siapa lagi yang bisa mama andalkan untuk mengungkap permainan kotor para pejabat itu?"
"Itu udah masa lalu, ma. Mama cuman mau balas dendam, 'kan? Kita juga sebenarnya udah tahu kalau papa memang salah, kenapa mama masih bela? Itu bukan tuduhan, tapi kenyataan, ma," timpa Jevan berdasar objektif.
Diam-diam air mata ibu Jevan menetes. Diam-diam pula Elen-sang adik-mengintip dari belakang pintu kamar.
"Lupain masa lalu ya, mam? Aku ngga bisa jadi pelampiasan dendam mama. Kalau aja mama percaya sama aku untuk pilih jalan yang aku mau, aku bisa jamin ngga akan mengecewakan mama." Nada Jevan sedikit memelas.
Seketika itu juga ibunya mendekap Jevan. Tangis sang ibu kian pecah. Rasa sesal serta emosi lainnya membuncah. "Maaf.... Maafkan mama, Je."
"Kamu pasti kesulitan karena dikekang mama. Sekarang, kamu boleh pilih jalanmu sendiri. Raihlah mimpi kamu, Je," imbuh sang ibu masih dengan isak tangis.
Lantas kian eratlah dekapan di antara mereka. "Makasih banyak, ma."
Tak mau ketinggalan momen kemesraan keluarga, Elen memutuskan keluar dari kamar dan ikut berpelukan bersama.
Seketika terlintas sebuah nama dalam benak rasa syukur Jevan.
'Diana.'
――-――-
KAMU SEDANG MEMBACA
𝘂𝗻𝘁𝗶𝘁𝗹𝗲𝗱, 𝟐𝟎𝟐𝟎 ✔
Fanfiction❝𝒌𝒂𝒌 𝑱𝒆𝒗𝒂𝒏, 𝒄𝒊𝒈𝒂𝒓𝒆𝒕𝒕𝒆𝒔, 𝒂𝒏𝒅 𝒖𝒔.❞ ― for my only one, Jaehyung. ― 06092020, kuinach.