O3. we, us, our.

40 11 1
                                    

Hari ini, tidak kutemukan sosok yang kucari. Dari pagi sampai pulang kelas, di ruang musik juga di taman, pria itu mungkin absen kuliah. Konyol. Kenapa aku memikirkan orang asing itu?

Dalam keadaan yang serba tak menentu, aku menengadahkan kepala seolah mengutuk sang hujan agar berhenti turun. Sekarang di halte aku berdiri. Sekadar butuh tempat berteduh sebentar.

Namun, percikan tetes hujan telah berani membasahi sepatuku. Sudah terlalu lama menunggu, kuputuskan untuk melangkah menerka hujan. Persetan basah kuyup!

Baru langkah pertama, kakiku terhenti, tatkala sebuah payung berukuran cukup besar menghalangi pandanganku. Segera saja aku menengok ke belakang. "Kak Jevan?!"

"Yakin, mau terobos hujan?" tanyanya ramah sambil tersenyum. Ya, lelaki pirang berkacamata tersebut, sang empunya payung. Kemudian ia menawarkan agar jalan berdua di bawah payung yang sama.

Di sepanjang perjalanan, hanya kak Jevan yang mengisi konversasi. Ia bercerita perihal kejadian semalam begitu rinci.

Intinya, ia diperbolehkan memilih impiannya sendiri, sang ibu juga sudah mulai pulih dari depresi dan berhenti minum obat. Namun, bukan berarti kak Jevan mengganti jurusannya.

"Saya rasa, punya satu passion bukan berarti menolak belajar hal lain. Banyak hal bermanfaat juga yang bisa saya ambil dari jurusan saat ini, meskipun setelah lulus saya mau berkarier di bidang berbeda," terang kak Jevan. Sangat terlihat, kalau ia seorang bijaksana dan dewasa.

Wajahnya yang tampan, juga semakin segar dan bersinar.

"Kita udah sampai di rumah saya, kak."

"Eh? Ngga kerasa jalan kaki begini. Oh iya, kamu masih cari barang kamu yang hilang di taman?"

Oh, iya! Waktu itu, kan, aku berbohong! Gimana nih?

Lalu kak Jevan merogoh saku celananya, dan mengambil sebuah boneka kecil gantungan tas milikku. Segera aku mengecek tasku, dan benar aku kehilangannya, tapi perasaan aku tak pernah seceroboh itu?

"Ini yang kamu cari, 'kan?" Kak Jevan memberikan benda tersebut.

"I-iya, makasih ya, kak!" Ah, setidaknya kali ini aku tidak berbohong.

"Terus... kamu masih simpan foto saya malam itu di taman?"

"H-hah?! Fotoin kakak aja aku ngga pernah!" Dan, aku berbohong lagi.

Pertemuan singkat sewaktu di taman, rupanya bukan sekadar kebetulan seperti penguntit. Serta pertemuan di halte tadi, rupanya bukan sekadar tempat berteduh. Pertemuan kami yang saling membagi simpati, rupanya berpengaruh positif. Berkat kak Jevan, aku bisa menyelesaikan tugas essay-ku.

"Kasus Seorang Ibu (48). Mengalami depresi yang mengakibatkan delusi, karena tak terima suaminya masuk penjara. Selalu menganggap sang suami benar dan selalu menyimpan dendam pada orang lain. Karena itulah, beliau menuntut puteranya (22) berkarier di bidang politik demi membalaskan dendamnya."

"Pandangan orang sekitar terus mengkritik kita. Sekarang kata-kata manis bukan bukti afeksi, sumpah serapah mereka lebih mendominasi. Padahal daripada tajamnya pisau menembus kulit, lidah tak bertulang sudah bisa membunuh manusia."

"Kita seolah didikte untuk hidup seperti orang lain inginkan, hingga kita dapat melupakan jati diri sendiri. Seringkali orang terdekatlah yang paling memengaruhi ketidakpercayaan diri seseorang untuk melangkah. Mereka menyuruh kita mencapai sesuatu demi kepuasan mereka sendiri. Padahal meskipun kita berhasil mencapainya, yang dirasakan kosong. Seolah tidak ada artinya, karena bukan sesuai impian sendiri."

"Ada cara untuk mengatasinya, yaitu kita harus mengenal keinginan diri sendiri untuk membangun jati diri. Jangan biarkan prinsip hidup dan langkah kita lemah oleh kendali orang lain. Dengan itulah ego serta pribadi kita dapat berkembang dewasa."

"Menyesal itu boleh dan wajar, asal jangan terlalu hanyut dalam masa lalu. Bisakah kita tak hanya menerima masa lalu, tetapi juga mencintainya?"-Sebuah tulisan Essay oleh Diana, tentang Jati Diri.

――-――-

Seminggu kemudian...

"Akhir-akhir ini, saya ngga liat kak Jevan beli rokok."

Jevan senyum simpul. "Saya kan, udah berhenti."

"Serius?! Kok bisa?" kejutku.

"Bisalah. Soalnya gadis yang saya suka, ngga suka perokok."

"Bagus deh, kak."
Aku kembali bertanya, "Ternyata kakak punya gebetan, ya?"

"Iya. Gebetan saya juga bilang, saya bakal lebih ganteng kalau ngga ngerokok."

Aku seketika sadar maksudnya.
"Lah... Bukannya yang ngomong itu saya?"

Yah, begitu pertemuan kami.

Sejak saat itu, kak Jevan semakin semangat untuk cepat lulus, mendapat IPK yang nyaris sempurna, bahkan sekarang sudah berhasil debut sebagai gitaris dari band Enam Hari.

Sejak hari itu juga, tugas essay dan pertemuan yang sekadar basa-basi, membuat hubungan kami lebih dari teman.

"Diana," panggilnya.
"Aku masih bingung aja, kenapa sih kamu suka sama aku?"

Dan kak Jevan selalu mengulang pertanyaan itu.

"Astaga... Mubazir air liur aku ngejelasin mulu."

Jevan senyum selebar lapangan golf. "Hehe. Sayang Diana banyak-banyak."

"Itu harus."




















――-――-

hi, hello!
sebenernya cerita ini udah gue tulis setahun yang lalu, tepat tahun 2020 karena terinspirasi dari webtoon Dr. Frost. ♡

kemudian kebetulan bulan maret kemaren tugasnya buat cerpen, akhirnya gue pakai cerita ini. dan wah... respon buguru sangat membahagiakan hati, hehe.

jadi yah, aku publish di dunia oren.

Makasih juga,
untuk udah terlahir ke dunia. Jaehyung aka Jae aka eaJ aka chicken little aka yellowpostitman.

Jae itu...
punya makna lebih,
jauh dari sekedar.

♥♡♡――-――-kuinach, thx!

🎉 Kamu telah selesai membaca 𝘂𝗻𝘁𝗶𝘁𝗹𝗲𝗱, 𝟐𝟎𝟐𝟎 ✔ 🎉
𝘂𝗻𝘁𝗶𝘁𝗹𝗲𝗱, 𝟐𝟎𝟐𝟎 ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang