11 \ DIA DAN VALENSI

78 22 0
                                    

☂️ BAGIAN SEBELAS ☂️

"Sangkasa, mulai sekarang kita berteman yah. Saya mau punya teman ganteng kayak kamu."

"Sangkasa, saya cinta sama kamu."

"Sangkasa, kita gak boleh berpisah."

"Sangkasa, aku gak suka diatur-atur."

"Sangkasa, jangan ganggu aku."

"Sangkasa, aku sibuk."

"Sangkasa, kita berpisah saja."

Semuanya begitu jelas terputar di memori Sangkasa. Ia sudah melepaskan namun rasa ini telah menggorok sebagian hatinya. Tentang bagaimana Jinan yang pernah menjadi pasangan lalu berpisah seakan tak pernah ada apa-apa diantara berdua.

Sangkasa akui dia salah.

Mungkin pada usia 18 tahun itu dirinya masih dipenuhi mimpi-mimpi hebat bersama seorang perempuan cantik disamping, namun perubahan tentu akan terjadi.

Kecelakaan yang merenggut fungsi kedua kaki dan ketika itulah Sangkasa rasa valensinya tak berarti lagi.

Keluarga dan teman yang memilih mengucilkan dirinya, Jinan yang sukses itu pergi melupakan dia dan Sangkasa memaksa untuk bertahan sebatang kara dengan setia hidup di rumah sakit kepunyaan sang ayah.

Sangkasa benci merasakan ini.

Nyatanya dia masih begitu mengharapkan Jinan. Lalu ketika mereka dipertemukan di lorong rumah sakit, Jinan bertingkah tak mengenal meski mereka sempat beradu tatap.

Dan disinilah Sangkasa, mendaratkan kursi rodanya di dekat gundukan tanah tempat Jinan tinggal sementara.

"Ayo kita pulang."

Tidak, Sangkasa tak datang untuk Jinan meski sempat ia merasa pilu. Dirinya justru lebih bersedih melihat sosok Asa yang mematung disana dengan memegang payung hitam pekat.

"Asa."

"Iya?" Asa berbalik dan melihati pria bernama Sangkasa itu tengah menengadah padanya.

Dia tak bersusah payah menghapus air mata, toh Sangkasa sudah terlalu sering melihatnya bersedih.

"Ayo kita pulang," ajak Sangkasa pelan dengan senyum tipis.

"Saya kira kamu sudah pulang ke rumah sakit."

Sangkasa menggeleng pelan, kembali menatap Asa dengan begitu teduh. "Saya kembali. Kamu tidak ada disana soalnya. Saya tidak punya teman berdialog."

"Pulang yah? Bareng saya," tambah Sangkasa lembut.

Asa tampak menarik hingus dan mengelap beberapa bekas air mata yang tak terlihat jelas dari pandangan Sangkasa. Gadis berguratkan kesedihan itu berjalan terlebih dahulu meninggalkan lokasi penguburan, diikuti Sangkasa dari belakang.

"Maaf saya tidak bisa mengucapkan kalimat perpisahan, karena sejak lama kita telah saling berjarak."

Sangkasa bergumam kecil meski dia yakin Jinan tak akan pernah mendengar kalimatnya itu. Kalimat bukan perpisahan.

Like The Moon and The River ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang