Namaku Diana.
Seorang mahasiswa jurusan psikologi, yang sekarang tengah menikmati seribu satu materi dari Profesor dan menunggu kepergiannya. Ia selalu sukses membuat kepalaku terasa berdenyut.
"Kelas saya ini akan memakai skala penilaian absolut. Namun, tidak ada ujian apa pun, termasuk kuis. Daftar kehadiran kalian juga tidak penting."
Sontak perkataan yang terlontar dari Profesor, menarik atensi seluruh penghuni kelas. Tak bisa dipungkiri, aku pun tertarik pada kelonggaran yang jarang-jarang Profesor berikan.
Suara desas-desus mulai terdengar, beberapa dari mereka merasa terkejut, memuji, sampai merasa bersyukur.
"Nilai akhir kalian akan ditentukan oleh essay pendek di akhir semester ini. Temanya adalah 'Jati Diri'. Di mana seseorang masih bingung akan jati dirinya sendiri. Dengan pendekatan dan pengamatan secara sudut pandang ilmu psikologi, kalian bisa menemukan alasan mereka yang takut menjadi diri sendiri. Bahkan, jati dirinya bisa mati," lanjut Profesor tampan itu.
Aura semangatku membara, rasa kantuk langsung hilang. Bagiku, ini akan menjadi essay dengan tema yang menarik. Terlebih, aku sangat suka mengamati secara langsung kepribadian manusia. Namun, siapa yang akan aku jadikan objek pengamatan?
Sampai jam kelas berakhir, hanya pertanyaan itu yang menjajah pikiranku. Teriakan lapar dari perutku menjadi bungkam. Aku pula tak sadar sudah ditinggal seorang diri di kelas. Tak lama kemudian, lamunanku buyar tatkala mendengar suara tawa menggema di sepanjang koridor kampus. Tampaknya hanya kumpulan mahasiswa asisten dosen yang asik bersenda gurau.
Sementara itu, di tengah riuh rendah suara gaduh, indera pendengaranku menangkap alunan musik dari ruang latihan mahasiswa jurusan musik.
"Eh? Suara ini ... suara gitar! Jam segini masih ada kelas, ya?" tanyaku pada diri sendiri.
Dia seperti hantu yang merayap diantara desau ruang dan merasuki telingaku. Aku tersedot keluar dari pusaranku, dan tertarik masuk kedalam medan gravitasinya.
"Dari sini suaranya."
Aku dapat melihat dari jendela pintu, tampak seorang pemuda berwajah oriental. Di saat orang lain sedang membuat kegaduhan, seseorang mengisolasikan dirinya di ruangan yang terletak di ujung lorong sepi ini.
Tubuhnya ikut bergerak sesuai irama, jarinya lentur dan lembut memetik tiap senar gitar, sehingga suara yang dihasilkan dari gitar juga berjalan seiring vokal emas miliknya.
Lagu ini, hampir seperti tangisan walau tetap terdengar indah. Lamat-lamat aku merasakannya mengalir perlahan, masuk hingga jauh kedalam hatiku, begitu tenang, begitu sedih, namun begitu indah; hampir seperti fantasi.
Aku memang tidak paham apa pun perihal musik, tapi aku yakin, pemuda pirang itu adalah gitaris dan penyanyi yang hebat.
Dia.
Adalah Jevan Nataniel.
Cukup populer di kampus ini berkat paras tampannya dan juga sifat kasarnya. Setidaknya aku tahu dari rumor kalangan mahasiswi. Mereka juga mengatakan bahwa pria itu sering absen.
"Diana!!" panggil seorang perempuan dari belakangku.
"Elen? Kok tau gua ada di sini?" tanyaku heran saat menyadari presensinya.
"Bau lu kecium!" serunya menggelak tawa, lalu dia menarik tanganku. "Udah, yuk! Katanya mau ke perpus?"
Aku menepuk keningku. "Hampir lupa. Yuk, deh! Sekalian mau kerjain essay, nih."
Kami pun mengambil langkah beriringan menuju perpustakaan kampus. Sesuai janji semalam, aku akan menemani Elen mengerjakan presentasinya di perpustakaan dan kebetulan juga aku memerlukan beberapa buku untuk menyelesaikan tugas essay tadi.
Ketika kami sudah mengambil tempat di perpustakaan, aku malah bingung harus mulai dari mana untuk mengerjakan essay ini.
Benar-benar harus ada objek pengamatan atau pengalaman tertentu. Hanya saja aku merasa buntu.
Berbeda dengan Elen yang tampak serius mengerjakan presentasinya menggunakan tablet, dikelilingi beberapa buku novel sebagai referensi.
Elen ini seangkatan denganku, tetapi jurusan kami berbeda. Dia masuk jurusan animasi, tidak bisa dipungkiri bakat gambar Elen sangatlah bagus. Kali ini dia akan membuat presentasi dalam bentuk animasi film pendek.
Sesekali aku mengintip hasil gambarnya yang belum jadi sempurna. "Gila, Elen! Gambar lo keren parah! Emang cerita animasinya tentang apa?"
"Ah... bingung juga gue. Mau genre romantis, tapi pengalaman cinta nol persen," jawabnya sambil menghela napas.
"Makanya buruan cari pacar, biar ngga jadi perawan tua," gurauku tertawa. Lantas, Elen menyikut perutku, aku meringis.
Tiba-tiba sesosok kak Jevan kembali teringat. "Oh iya, El! Lo kenal kak Jevan Nataniel?"
Awalnya dia mengernyit. Diam. Kemudian bertanya, "Kenapa emangnya?"
"Tadi gua liat dia di ruang musik lagi main gitar elektrik sambil nyanyi. Suaranya serek-serek gitu, tapi enak didenger," seruku antusias seraya mengacungkan kedua jempol.
"Tumben? Padahal dia selalu absen. Pasti lu ngiranya kak Jevan jurusan musik," ucap Elen yang tepat sasaran.
"Loh? Emang betul, 'kan?" tanyaku memastikan.
Elen menghembuskan napas sebentar, lalu menghadap menatapku dengan datar. "Banyak orang beranggapan kayak gitu, karena kak Jevan pernah tampil di Academy Hwang Music Korea untuk main gitar sambil nyanyi, di Symphony Orchestra China jadi solois gitar elektrik, dan ngisi acara seni di kampus, tapi itu salah. Faktanya, dia ambil Ilmu Politik."
"Hah? Jauh amat dari musik ke politik. Gua kira beneran anak musik. Padahal bisa aja dia seriusin bakatnya jadi musisi hebat," ucapku terheran kaget.
Elen menutup tablet-nya dan merapikan barang-barangnya. "Udah jam 7, gue harus pulang, takut nyokap telat minum obat."
Kertas essay-ku masih kosong, hanya terisi kolom identitas. Syukurlah, aku masih punya banyak waktu mengerjakan ini sebelum deadline.
Kami berpisah setelah Elen naik taksi. Sementara aku mengharapkan kedatangan angkutan umum yang tak kunjung ada. Langit pun semakin gulita, bahkan terlihat beberapa bintang di sana. Maklum aja, para sopir angkot pasti sudah berpulang tatkala malam berganti.
Tak jauh dari tempatku berdiri, terdengar lantunan musik dengan akustik gitar yang seseorang mainkan.
Kuriositasku memuncak tatkala menyadari suara khas pria tak asing. Tepat di taman depan Fakultas Seni, terdapat seorang pria bersenandung ria, memetik senar dengan fingerstyle. Yang tentunya memanjakan telinga.
Entah dorongan dari mana, aku nekat mengabadikan foto kak Jevan dari tempatku berdiri.
Mungkin karena ketampanan yang hina untuk diabaikan.
Namun sial, kamera ponselku memancarkan flash yang tak sengaja menyala!
Maka manik matanya menangkap basah diriku yang diam-diam memotret dirinya seperti seorang penguntit.
Dalam keadaan canggung, buru-buru kumasukkan ponsel ke dalam tas dengan harap tiada salah paham.
Namun menit selanjutnya, kak Jevan menghampiriku.
"Mau temenin saya?"
――-――-
KAMU SEDANG MEMBACA
𝘂𝗻𝘁𝗶𝘁𝗹𝗲𝗱, 𝟐𝟎𝟐𝟎 ✔
Fanfiction❝𝒌𝒂𝒌 𝑱𝒆𝒗𝒂𝒏, 𝒄𝒊𝒈𝒂𝒓𝒆𝒕𝒕𝒆𝒔, 𝒂𝒏𝒅 𝒖𝒔.❞ ― for my only one, Jaehyung. ― 06092020, kuinach.