Opening

849 65 6
                                    

Hutan pandora yang sangat tenang, itulah pemandangan yang kini disaksikan oleh sepasang bola mata polosnya sembari sesekali tangan kasarnya merekatkan kedua sisi jaket lusuh yang dikenakan.

Ini tidak seperti yang selalu diceritakan oleh orang lain atau pun kakeknya mengenai hutan tersebut. Buktinya semalam dia bisa melihat langit di sekitaran hutan itu bercahayakan aurora dan ditaburi bintang. Seperti lembah Arenvilla yang konon katanya memiliki warna yang beragam dan cantik.

Kakeknya pernah bercerita, bahwa Pandora adalah hutan yang dikutuk dan tempat bersarangnya para iblis, sehingga tempat itu jadi pengecualian bagi penduduk sekitar untuk dipijaki.

Akan tetapi pemuda itu berpikir, semestinya, apabila hutan itu memang dikutuk, aurora tidak mungkin sampai ke sana, walau seringnya memang kabut hitam yang mengelilingi sekitaran Pandora. Beberapa pendeta juga mengatakan hal demikian.

Sekarang, pemuda itu berjalan sedikit mendekat ke arah perbatasan antara hutan dan jalanan menuju ke pemukiman tempat ia tinggal.

Pemukiman itu disebut kawasan Nerv, dimana para penduduk bantaran sungai Civillian yang besar, hidup dengan aman dan damai selama lebih dari 1 abad ini.

Sebelumnya Jevano tidak pernah berpikir bahwa dirinya akan sejauh ini akan melangkah, namun kakinya sudah keterlaluan. Dia sudah nyaris lebih dari 10 langkah masuk ke dalam perbatasan hutan.

Dengan hanya bermodalkan lampu terbuat dari minyak dan sumbu kain yang cahayanya minim, tombak yang ia alokasikan sebagai senjata dan penyingkir ranting pohon yang menghalanginya di sekitaran jalan— tanpa berniat kembali lagi, Jeno melanjutkan perjalanannya masuk ke dalam hutan.

Entah berapa banyak ceramah yang akan ia dapatkan dari kakeknya jika tahu dirinya sedang menjajaki hutan bernahaya tersebut untuk bertualang demi membayar rasa penasarannya selama ini.

Pemuda itu seolah tak memiliki rasa takut dan terus saja berjalan lebih jauh. Di telinganya seperti ada yang berbisik kalau dia harus melanjutkan perjalanan tersebut sampai dia menemukan sesuatu yang mungkin akan membuatnya puas, setidaknya saat keluar dari hutan nanti dia akan punya cerita seru untuk diberitahu kepada beberapa temannya di Nerv.
Karena Jeno malah yakin kalau hutan Pandora tidak sebahaya yang selama ini didongengkan.

Hingga di sebuah persimpangan jalan—bentuknya seperti labirin—Jeno melihat banyak ragam jenis bunga yang memenuhi sekitaran jalan. Terutama bunga anggrek putih dan mawar merah. Bunga-bunga itu tampak lebih besar ukurannya daripada bunga-bunga yang pernah ia lihat di Nerv.

Pikirnya, mungkin bunga di dalam Pandora bisa tumbuh lebih besar karena tumbuh tanpa campur tangan manusia, sehingga lebih subur dan cantik. Namun, pemikiran itu lekas lenyap ketika dengan jelas ia melihat sesosok bersurai sewarna karamel, postur tubuh yang tak lebih tinggi darinya, dan...bergaun hitam yang memiliki penutup di bagian kepalanya.

Dia wanita, tentu Jeno yakin dengan penglihatannya walau sosok itu masih berdiri membelakanginya. Pemuda itu seperti tidak mengenal rasa takut dan mengabaikan semua peringatan yang selama ini ditanamkan oleh penduduk Nerv tentang sosok penyihir dan peri hutan yang tinggal di dalam Pandora.

Jeno penasaran, jika memang wanita yang ia temui sekarang adalah penyihir, maka dia akan langsung berlari sekencang mungkin untuk melarikan diri, sebab ini baru sekitar 50 langkah dari perbatasan hutan sejak ia masuk dan menghitung langkahnya sendiri, yang berarti posisinya belum jauh dari perbatasan.

Namun, jika yang ada di hadapannya ini adalah sosok peri, Jeno akan langsung mengayunkan tombaknya untuk melukai sayap si peri agar tidak bisa terbang, dan setelah itu Jeno akan membawa si peri tersebut pulang, untuk diperlihatkan kepada penduduk Nerv, walaupun seringnya para lelaki mengatakan bahwa mereka lebih baik memperistri peri peri hutan tersebut.

UNLOCK THE KEY (GS) Slow UpTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang