Blood Stain on Your Jacket

332 59 21
                                    

Atap galvalum yang menaungi kios Gin bergemeletak. Matahari mulai mendaki, dan naungan itu memuai di bawah suhu yang meningkat. Bunyinya seperti seorang yang sedang menggeliat di atas ranjang, dipaksa bangun dari tidur panjang karena kelelahan. Mungkin Rion juga seperti itu.

Sepasang mata lelaki dua puluh tujuh tahun itu masih segaris. Makin rapat pula saat membuka rolling door kios dan membiarkan silau jam sembilan pagi menerpa wajahnya.

"Enak juga," batinnya.

Hawa hangat membuat lesung pipinya kian dalam, tersenyum menyambut pagi meski sedikit terlambat. Lalu seperti atap kios yang menggeliang, Rion ikut meregangkan tubuhnya.

"Hoaaahm ...."

"Gila, ni orang jam segini baru buka. Padahal di Google Map bukanya jam delapan. Rejeki lo keburu dipatok ayam, tau!"

Rion terlonjak kaget. Sekonyong-konyong melongok ke sisi kios tampat bangku kayu panjang berada. Sudah ada Fanta duduk di sana, menyandarkan sikunya di atas helm.

"Ngapain lo?"

"Konsultasi mau bikin tattoo, lah. Perasaan kemarenan gue sempet bilang?"

Rion lupa. Tidak ingin mengingat juga. Ia pikir mantan pacar kawannya ini sudah angkat kaki ke negeri tetangga, seperti pamitnya yang sempat ia curi dengar tempo hari.

"Serius lo mau bikin tattoo?"

Untuk seorang tattoo artist, pertanyaan Rion terdengar tidak seperti konfirmasi. Malah terdengar seperti terkejut. Itu sebabnya lelaki berambut ungu itu berdiri dengan gerakan nyaris melompat. Geregetan.

Sambil membalik tubuh Rion dan mendorong kedua bahu lelaki itu balik ke dalam kios, Fanta mengoceh. "Nggak yakin gue. Makanya mau tanya-tanya dulu sama lo."

Rion geleng-geleng kepala. Meski keduanya kini masuk ke dalam kios yang sempit dengan formasi seperti kereta, Rion tak lupa menampar saklar yang ada di dekat pintu. Padahal tadi ia sudah mematikannya. Tapi karena ia ada klien, sepertinya ia perlu pencahayaan lebih.

"Gin mana?" Fanta melongok-longok, mencari sosok Gin yang biasanya sudah duduk manis di belakang konter.

"Ke tempat abangnya."

"Ngapain?"

"Abangnya ulang tahun."

"Wah! Minum-minum dong kita malem ini?"

"Hush!" Rion langsung menepis tangan Fanta dan berbalik. "Sembarangan."

Sepertinya Fanta merasa tempat mereka ini tempat minum-minum, karena sejak awal ia datang bersama Fadel -kawan Rion dan Gin semasa SMA, mereka selalu bertemu untuk minum.

"Apa gue harus beli kue kalau mereka pulang? Ehehe. Cheesecake?"

Rion menyepak kaki Fanta, "Nggak bakal balik, abangnya udah mati!"

***

Mungkin sudah lewat satu jam Gin duduk di samping makam Win. Ia berangkat pukul tujuh pagi, naik motor membelah kota menuju TPU yang ada di atas bukit pinggir kota. Kecuali karena banyak nyamuk, Gin suka sekali tempat ini. Sunyi, tenang, bersih, dan hangat karena pagi baru muncul dari punggung bukit. Hanya ada suara serangga yang makin riuh di belakang sana, sahut menyahut di sela-sela pohon seolah mengabari kawanan mereka bahwa matahari sudah datang.

Tidak ada manusia lain kecuali pengurus TPU yang mulai menyapu di blok makam yang cukup jauh. Gin bisa duduk termenung lama sekali di sini, menopangkan dagu sambil mencolok-colokkan jarinya ke permukaan rumput makam yang empuk. Bukan berdoa, tapi memikirkan bahwa iuran tahunan yang ia bayarkan untuk pengurus makam ternyata berguna juga. Makam Win bersih dan rapi.

Blood Stain on Your Jacket - Ekskul Spin OffTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang