BAGIAN 1

192 10 0
                                    

"Oh, Penguasa Agung...! Oh, penyelamat kami...! Terimalah persembahan kami!"
Beberapa kalimat yang diucapkan dengan irama teratur terdengar dari mulut seorang laki-laki berusia sekitar enam puluh lima tahun dengan pakaian seperti pendeta. Agaknya, dia adalah seorang pemuka suatu aliran kepercayaan yang tengah memimpin sebuah upacara di sebuah gua di Bukit Tengger ini.
Di belakang laki-laki tua itu berdiri seorang gadis cantik yang tak henti-hentinya menangis sesenggukan, seperti menyesali nasibnya. Di kiri-kanan gadis itu berdiri sambil memegangi, seorang laki-laki setengah baya dan seorang wanita juga berusia setengah baya. Sebentar-sebentar, wanita setengah baya ini ikut menangis, seraya memeluk gadis di sebelah kirinya. Sedangkan beberapa orang lain yang ikut mendampingi, hanya berdiri terpaku tak bisa berbuat apa-apa.
Sementara matahari makin merambat naik, menerangi mayapada. Namun sengatan sinarnya, seakan tak menghalangi jalannya upacara di depan gua. Dan setelah laki-laki tua pemimpin upacara selesai dengan mantera-manteranya, suasana jadi hening. Tidak ada sahutan apa-apa dari dalam gua. Dan suasana makin menggiriskan ketika angin bertiup semilir.
Kini laki-laki tua pemimpin upacara telah membalikkan tubuhnya. Di berinya isyarat pada gadis cantik itu untuk berjalan memasuki gua di depannya.
Gadis itu tidak langsung melangkah. Sebentar matanya memandang laki-laki setengah baya di samping kirinya. Ketika laki-laki itu mengangguk sambil menelan ludah, gadis itu beralih menatap pada ibunya. Sebentar kedua wanita itu berpelukan, lalu perlahan-lahan gadis itu melepas pelukannya dan berbalik. Sedangkan wanita setengah baya yang masih menangis, menghambur ke dalam pelukan laki-laki setengah baya yang di dekatnya.
"Tidak perlu disesali, Ki dan Nyi Pangestu. Seharusnya kalian beruntung bila Nuning Sari putri kalian, terpilih sebagai korban. Itu suatu kehormatan tiada tara bagi kalian," ujar laki-laki tua pemimpin upacara.
Laki-laki dan wanita setengah baya yang dipanggil Ki dan Nyi Pangestu ini tidak menyahut. Bahkan tidak menoleh. Apa pun yang akan dikatakan laki-laki tua pemimpin upacara, tidak akan bisa mengobati luka hati karena harus kehilangan gadis bernama Nuning Sari yang ternyata putri mereka satu-satunya.
"Ayah... Ibu...! Aku pergi...," pamit Nuning Sari, sambil melangkah menghampiri gua tanpa menunggu jawaban kedua orangtuanya. Dia berjalan perlahan-lahan diiringi laki-laki tua pemimpin upacara.
Nyi Pangestu terus menangis. Bahkan terasa semakin keras, membuat suaminya kewalahan.
"Anakku, Anakku...!" keluh wanita setengah baya ini berulang-ulang.
"Sudah, sudah! Semuanya sudah ditentukan. Jangan menangis lagi, Nyi. Kita harus tabah menerima semua ini," hibur Ki Pangestu.
"Anakku.... Oh, dia anak kita satu-satunya! Dia anak kita satu-satunya...!" isak wanita itu, tidak peduli bujukan suaminya.
Sementara Nuning Sari telah menghilang ke dalam gua. Dan saat itu juga tangis Nyi Pangestu semakin kuat terdengar. Suasana benar-benar mengharukan. Siapa yang tidak trenyuh melihat suami istri tengah melepas anaknya untuk dijadikan korban! Konon, korban itu ditujukan untuk Penguasa Bukit Tengger ini.

***

Udara pagi ini terasa dingin menggigilkan. Sementara kabut masih menyelimuti, bagaikan tirai yang amat tipis. Matahari belum muncul di ufuk timur, meski ayam jantan sudah sejak tadi memanggil-manggil.
Di pinggir jalan yang masih sunyi, seorang laki-laki berusia lima puluh tahun tengah mengeluh kesal. Sebelah roda pedati yang ditumpanginya patah, terperosok di bibir jurang yang penuh belukar. Jauh di bawah jurang sana terlihat kudanya meringkik-ringkik kesakitan dijemput ajal. Sementara dari dalam pedati sendiri, terlihat butiran-butiran gabah yang terus berjatuhan ke bawah jurang.
"Celaka! Apa yang bisa kukerjakan? Mestikah semua padi ini kubuang untuk menyelamatkan pedatiku?" keluh laki-laki tua ini lagi.
Orang tua ini berjalan mondar-mandir. Dahinya berkerut, berusaha memikirkan langkah terbaik untuk menyelamatkan harta bendanya. Pada saat tubuhnya berbalik....
"Aaa!" Orang tua itu menjerit kaget ketika tiba-tiba melihat satu sosok bayangan di balik kabut sekitar dua tombak di depannya. Seketika kakinya surut ke belakang dengan wajah pucat pasi. Keringat dingin mulai keluar satu persatu. Apalagi ketika sosok bayangan itu makin mendekatinya.
"Jangan takut, Ki. Aku bukan hantu...," ujar seorang pemuda berbaju rompi putih dengan pedang bergagang kepala burung sambil tersenyum. "Kau kelihatan murung? Ada yang bisa kubantu?"
Orang tua itu terpana. Hatinya sedikit lega, meski detak jantungnya belum kembali berdetak seperti biasa. "Siapa kau?" tegur laki-laki berbadan gemuk terbungkus pakaian dari sutera halus.
"Aku Rangga, seorang pengembara yang kebetulan lewat di sini...," jelas pemuda berbaju rompi putih ini.
"Kau..., betul-betul manusia?!" cecar laki-laki tua ini.
"Tentu saja. Lihat saja. Kakiku menginjak tanah, bukan?" sahut pemuda berbaju rompi putih ini.
Laki-laki tua itu langsung melihat sepasang kaki pemuda yang tak lain memang Rangga alias Pendekar Rajawali Sakti. Dan nyatanya, sepasang kaki itu memang menapak tanah.
"Oh, syukurlah...!" desah orang tua itu lega.
"Apa yang terjadi? Apakah pedati ini milikmu, Ki?" tanya Rangga ketika melihat pedati yang hampir terjerumus ke jurang.
Orang tua itu mengangguk. Mukanya kelihatan kusut.
"Kabut menghalangi, membuat kudaku terperosok ke jurang. Mungkin sebentar lagi mati. Masih untung pedatiku tertahan batu besar ini. Kalau tidak, entah apa jadinya. Tidak ada yang bisa kujual ke pasar," keluh orang bertubuh gemuk yang ternyata seorang pedagang.
"Biar kubantu!" Tanpa meminta persetujuan orang tua itu, Rangga langsung memegang bibir bak pedati dengan sebelah tangan. Saat itu juga, tangannya yang berotot kekar telah menegang. Sejenak ditariknya napas panjang. Lalu....
"Heup!"
"Hei?!" Pedagang tua itu terkesiap seperti tidak percaya dengan penglihatannya. Perlahan-lahan, pedatinya bergerak dan kembali ke jalan semula. Padahal, meski ditarik tiga orang, rasanya akan sulit. Apalagi pedati ini sarat dengan muatan.
"Nah, sekarang pedati ini telah kembali ke jalan semula. Tinggal memperbaiki rodanya yang patah," kata Rangga. "Kau bawa golok, Ki?"
"Eh, bawa! Ini...!" Dengan sedikit heran orang tua pedagang itu menyerahkan golok yang terselip di pinggang.
Begitu menerima golok, Rangga segera mencari kulit batang pohon untuk dijadikan tali. Tak begitu jauh tali itu didapat, karena di pinggir jurang banyak pohon-pohon yang memiliki akar-akar yang kenyal dan kuat. Sebentar saja di tangan pemuda itu telah terjulur beberapa utas akar-akar yang kuat.
Dengan cekatan Pendekar Rajawali Sakti mengikat roda pedati yang patah, serta mengganti beberapa bagian yang memang sudah tidak bisa diperbaiki. Meski darurat, namun akhirnya toh roda pedati itu bisa diperbaiki pula.
"Kau memang cerdik, Nak!" puji orang tua itu, ketika Rangga baru saja rampung dengan pekerjaannya.
"Tapi kini aku bingung, bagaimana membawa pedati ini...?"
"Ke mana tujuanmu, Ki?" tanya Rangga seraya menyerahkan golok yang tadi dipinjamnya.
"Desa Legowo."
"Jauhkah tempat itu?"
"Setelah melewati ujung jalan ini, lalu berbelok sedikit ke kiri. Maka akan terlihat sebuah tugu. Itulah batas Desa Legowo," papar orang tua itu.
"Baiklah. Biar kutarik pedatimu."
"Hei? Kau sungguh-sungguh?! Pedati ini berat, Nak!"
Rangga hanya tersenyum.
"Ah! Aku tidak tahu, harus bagaimana berterima kasih padamu! Kau telah banyak sekali menolongku...!" desah laki-laki pedagang ini.
"Tidak usah dipikirkan, Ki. Aku sudah senang bisa membantu," ujar Pendekar Rajawali Sakti.
"Ah! Kau terlalu murah hati, Nak. Eh! Aku sampai lupa memperkenalkan diri. Namaku... Sudira. Oh, ya. Ke mana tujuanmu?"
"Aku hanya seorang pengembara, Ki. Kemana kakiku melangkah, ke situlah tujuanku," sahut Rangga sekenanya.
"Kalau begitu, bagaimana kalau sekarang kau ikut ke rumahku? Dan aku paling benci kalau ditolak. Yah, sekadar makan singkong dan minum kopi...!" ajak laki-laki pedagang bernama Ki Sudira ini.
"Baiklah kalau begitu, Ki...."

***

Ki Sudira tertegun sebentar ketika melihat banyak orang berkumpul di rumah tetangganya. Tapi sebentar kemudian, dia buru-buru mengajak Rangga ke rumahnya.
"Apa yang terjadi di rumah sebelah, Ki? Apakah ada sanak keluarganya yang tertimpa musibah?" tanya Rangga heran, ketika Ki Sudira mengajaknya duduk di ruang tamu.
"Ya...," sahut Ki Sudira, lirih.
"Ada yang meninggal?" kejar Rangga.
"Anak Ki Jayeng harus dikorbankan nanti malam," sahut orang tua itu, masygul.
"Dikorbankan? Korban kepada siapa?" desak Rangga, penasaran. Keningnya langsung berkerut.
"Penghuni Bukit Tengger," sahut Ki Sudira, singkat.
"Hm, aneh! Siapa sebenarnya penghuni Bukit Tengger itu? Kenapa dia meminta korban manusia?"
"Tak seorang pun yang mengetahuinya, Nak. Dia datang bagai angin. Orang-orang menyebutnya sebagai Siluman Bukit Tengger."
"Tidak ada yang berusaha menyelidiki?"
"Siapa yang berani? Mereka yang melakukan hal itu akan mati. Dulu pernah ada yang coba-coba menyelidikinya. Namun tak lama kemudian orang itu mati. Mayatnya dicampakkan ke tengah-tengah desa. Digantung!"
"Kalau kalian tidak mengirimkan korban?" tanya Rangga, memancing.
"Maka keesokan harinya semua orang desa akan melihat tiga laki-laki penduduk desa akan digantung setiap hari," sahut Ki Sudira.
"Pernah terjadi?"
Ki Sudira mengangguk.
"Dua hari, enam penduduk menjadi korban. Tapi untung kejadian itu tidak menimpa desa ini."
"Siluman itu juga meresahkan penduduk desa lain?" kejar Rangga lagi. Orang tua itu mengangguk.
"Ada empat desa di sekitar wilayah Pegunungan Tengger. Maka dari setiap desa dimintai korban dua orang setiap minggu, secara bergiliran."
"Lalu, dari mana mereka tahu korbannya? Apakah hal itu diatur kepala desa?"
"Tidak! Pada hari yang ditentukan, maka di pintu rumah mereka akan terlihat tanda merah. Itu berarti, si pemilik rumah harus menyerahkan anak perawannya untuk dikorbankan."
"Anak perawan?"
"Ya! Siluman itu selalu minta perawan suci yang berusia belasan tahun."
"Edan!" rutuk Rangga, seraya menghantamkan kepalan tangan kanan ke telapak tangan kiri.
"Hus! Jangan keras-keras, Nak! Orang-orang percaya kalau siluman itu sakti. Dia bisa mendengar serta mengetahui siapa saja yang coba melawan dan membantah. Kita akan kualat!" ujar Ki Sudira memperingatkan.
"Siluman tidak butuh perawan! Yang butuh perawan hanya laki-laki hidung belang!" dengus Rangga gusar.
"Hus! Jangan keras-keras!" Ki Sudira kembali memperingatkan.
Paras muka laki-laki tua ini tampak ketakutan. Dan sesekali matanya melirik ke sekelilingnya. Dia takut kalau, saat itu juga ocehan pemuda di depannya terdengar sang siluman yang dipercaya sering gentayangan di empat pelosok desa.
"Kau takut, Ki?" tanya Rangga tersenyum.
"Siapa yang tidak takut kualat? Siapa pun orangnya yang coba melawan, akan binasa," sahut Ki Sudira meyakinkan.
"Dan selamanya penduduk desa ini akan terus begini?"
"Kami tidak punya pilihan lain. Ada beberapa orang yang coba mengungsi, tapi esok hari mayatnya tergeletak di tengah-tengah pemukiman penduduk."
"Kalau begitu, siluman itu harus dilawan. Kalau tidak, dia akan besar kepala dan berbuat sesuka hatinya!" tandas Rangga, mantap.
"Aduh, Nak! Kumohon, jangan keluarkan kata-kata itu! Siluman itu akan mendengar dan membunuhmu nantinya!" ujar Ki Sudira bernada meratap. Hatinya benar-benar khawatir kata-kata pemuda itu akan terdengar oleh Siluman Bukit Tengger.
Rangga kembali tersenyum. Orang tua ini kelihatannya percaya betul kalau Siluman Bukit Tengger akan mendengar siapa saja orang yang membicarakan dirinya. Sungguh hebat! Tapi..., apa mungkin siluman doyan perawan? Ini yang membuat Rangga tidak bisa mempercayai begitu saja. Tapi melihat kekhawatiran Ki Sudira, rasanya beralasan. Orang-orang di desa ini sudah telanjur dilanda ketakutan.
"Kapan persembahan itu akan dilakukan?" tanya Rangga mengalihkan pembicaraan.
"Sebentar lagi, bila persiapan telah selesai," sahut Ki Sudira.
"Kau ingin ikut mengantar, Ki?"
"Iya."
"Orang luar sepertiku boleh juga?"
"Tidak ada larangan. Karena semakin banyak yang mengantarkan si korban, maka akan semakin baik. Itu membuktikan kepatuhan terhadapnya," sahut laki-laki gemuk itu lagi.
Rangga mengangguk pelan.
"Tapi kuingatkan, Nak. Sebaiknya jangan macam-macam di tempat upacara pengorbanan itu!" ujar Ki Sudira, khawatir.
Pemuda itu tersenyum.
"Tidak. Aku tidak macam-macam. Tapi kalau sekadar ingin melihat tampang siluman itu, apakah termasuk pelanggaran?" tanya Rangga.
"Tiada seorang pun yang pernah melihatnya!"
"Berarti tidak dilarang?"
"Bukan begitu. Sebab tidak boleh seorang pun mendekati gua itu. Dan berarti pula, tidak diperbolehkan mengetahui sang siluman tersebut," jelas Ki Sudira.
"Gua? Jadi gadis-gadis itu dimasukkan ke dalam gua?" gumam Rangga, seperti berkata sendiri.
Ki Sudira mengangguk. Rangga menghela napas. Matanya memandang ke jurusan lain dengan tatapan kosong. Pikirannya mulai menduga-duga serta membuat rencana.

***

170. Pendekar Rajawali Sakti : Siluman Bukit TenggerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang