Orion

103 26 4
                                    

TW!!! mentions of death, major character deaths, mentions of war
---

"Aku cium ya?"

Angin Januari menusuk, dingin sampai ke tulang. Minhyung mengantuk, tapi tawaran dari kekasihnya seakan terlalu sayang untuk ditolak, lalu mengangguk meskipun mata beratnya menolak untuk terbuka. Lagipula tidak apa, kelopak matanya adalah salah satu bagian yang paling sering dibubuhkan cium. Entah kenapa, Minhyung sudah pernah mencoba bertanya, tapi tidak pernah diberikan jawaban.

Ada tekanan di kelopak, lalu sentuhan bibir pada pipi. Ciuman selanjutnya jatuh pada leher, yang terakhir tepat di atas selangka. Selalu sama, setiap malam ketika mereka ada di pelukan masing-masing, Yukhei tidak pernah lupa untuk mengecupnya sebelum tidur.

Minhyung nyaman di dalam pelukan hangat, helaan nafasnya terdengar kencang di sunyi malam, aneh mengingat siang hari mereka ribut bukan main karena suara tembakan yang mengudara. Yukhei juga menghela, membubuhkan lagi ciuman pada dahi, meluruskan kerut yang muncul karena khawatir yang terbawa hingga waktu istirahat.

"Besok aku harus terbang lagi." Ujar Minhyung perlahan, membalas pelukan pada pinggangnya yang mengerat karena takut yang bertambah, "Aku—"

"Bakal baik-baik ajaa." Yukhei memotong. Pria itu tahu apa yang akan keluar dari mulut kekasihnya. Toh selalu hal yang sama, 'kalau aku enggak balik, kalau aku jatuh, kalau aku harus ninggalin kamu', selalu sama. Yukhei tidak suka memikirkan perpisahan mereka yang bisa terjadi kapan saja, ia lebih suka berbaring bersama.

Disini, di gubuk kecil 200 meter dari barak prajurit lain demi bisa tidur disamping orang paling berharga, diatas jerami kering dilapis kain tipis karena itu satu-satunya hal yang bisa menghalangi kulit mereka dari gatal. Disini, bersama Minhyung, berpura-pura hidup mereka akan baik-baik saja setelah perang berakhir dan keluar sebagai pemenang — di rumah pada pusat kota yang mungkin akan dihadiahkan oleh negara kepada pilot terbaik dan prajurit paling tangguh, aman sentosa hingga mereka tua bersama.

Disini, di gubuk, bersama.

"Misi apa sekarang?" Yukhei bertanya ketika nafas Minhyung makin cepat, ia gelisah, "Cerita. Kalau udah ngantuk langsung tidur, aku pasti masih disini pas kamu bangun besok."

"Stake out, terbang diatas kepala mereka," Minhyung menjawab, ia mengambil nafas dalam, "Aku sama beberapa pilot yang lain, kurang lebih 4 pesawat untuk besok."

Yukhei menggumam, berdoa dan berharap Minhyung tidak dapat merasakan detak jantungnya yang cepat dibalik dada. ia khawatir, tapi Minhyung tidak perlu menggendong lebih banyak lagi gelisah. Minhyung ia rengkuh, diselimuti sebisanya dengan kain tipis yang ujungnya penuh benang lepas, ditutupi agar tidak terkena angin dingin malam yang masuk semilir dari sela-sela dinding kayu.

Mereka meringkuk ke pelukan satu sama lain, "Aku cerita ya? Setidaknya sampai kamu tidur," Yukhei berkata pelan, dan tidak menunggu sampai Minhyung menjawab untuk ia mulai bercerita, "Kamu pernah nanya, kenapa aku selalu nyium kamu di titik yang sama tiap malem," Yukhei memandang wajah Minhyung, pandangan meniti dari kelopak mata yang tertutup hingga kebawah, "Aku mau cerita kenapa."

Minhyung tersenyum dengan mata terpejam —  sayang, padahal sinar dari mata Minhyung yang tumpah setiap ia tersenyum adalah salah satu hal favorit Yukhei. "Akhirnya kamu mau cerita. Aku gak siap mati penasaran," kekeh Minhyung yang kemudian memekik setelah mendapat cubitan dari Yukhei. Tertawa kecil, karena di tengah perang sekalipun, pacarnya benci sekali omongan kematian.

"Kamu kebiasaan..." Yukhei merutuk. Minhyung masih tertawa, meskipun terdengar lemah karena terlalu letih, ia mengembalikan sejumlah ciuman agar kekasihnya berhenti mengomel.

OrionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang