enam

606 35 7
                                    

Gue mindahin posisi tidur Revan pake bantal sofa, biar lebih nyaman tidurnya. Setelah itu gue berniat ke dapur untuk ambil air minum. Kebetulan karena tadi udah makan, gue tinggal minum obat, dan mumpung Revan juga lagi tidur.

Tadi pun, selesai baca pesan dari Laura, gue ngerasa pusing dan gapaham sama situasi sekarang. Semua akan sama khawatirnya kalo pacarnya sendiri seintim itu sama sahabatnya. Maksud gue, selama memegang komitmen sama orang, bukannya harus menghargai perasaan masing-masing? Karena kalo ngga, cuman akan nimbulin rasa curiga dan renggang di dalam hubungan. Ah ya, tadi gue sempet tidur sebentar, bener-bener cuman sebentar.

Gue membuka pintu kamar, meletakan gelas di meja belajar. "Duh,  obat gue taro mana ya, lupa lagi." Kebiasaan gue, suka lupa naro obat, perasaan tadi pagi ada dalam nakas.

Barang-barang sekarang udah ngga sesuai sama tempatnya, btw tempat obatnya kecil. Disitu ada tempat beberapa space untuk naro obat yang beda-beda jenisnya.

Mata gue menyipit, sialan daritadi ada dibawah nakas, kenapa ngga daritadi gue periksa sih bodoh.

Setelahnya, gue langsung minum obat. Tapi ngga lama, pintu kamar kebuka, gue langsung buru-buru nelan obat dan sembunyiin kotak obat di tumpukan buku-buku.

"K-kamu udah bangun?"

"Lo ngapain dikamar? Gue malah ditinggalin." Revan mengusap mukanya, keliatan kalo nyawanya belum kekumpul.

Dengan senyuman gue jawab bohong, "Minum, terus sekalian charger hp."

Revan menyipitkan matanya, melihat keadaan kamar gue yang berantakan. Tapi ngga dia ambil pusing.

Gelas yang ada di meja hampir di ambil Revan, "Ngapain?"

"Mau minumlah, aus bangun tidur."

Gue mendorong Revan agar segera keluar dari kamar, "Udah ayo kebawah, minumnya dibawah kamu laper lagi ngga? Mau aku masakin telor atau mie?" Gelas tadi bekas gue minum obat, jelas gabakal gue izinin minum pake gelas itu. Dan, jangan tanya kenapa gue nawarin cuman mie atau telor, karena itu doang yang bisa gue masak.

"Ck, aus sil, gue masih kenyang. Nanti aja dirumah makan lagi."

Gue menyerahkan air putih, ketara Revan langsung ambil dan minum secepat kilat sampai habis. Aus banget ternyata.

Revan melihat jam tangannya, "Udah jam empat sil, gua mau balik nih kayaknya. Btw, bunda lama bener?"

Gue ikut menoleh ke arah jam dinding, bener juga, bunda belum pulang jam segini. "Ngga tau, tumben."

"Kamar tadi berantakan, lo cewe gimana sih?" Revan mendekat, merapikan anak-anak rambut gue. "Y-ya nanti dibersihin."

"Cantik, pacar gue kenapa secantik ini ya?"

Ada ribuan kupu-kupu yang menjalar di hati. Pipi gue merah sekarang, mungkin udah kaya kepiting rebus. Melihat gue yang salting, Revan ketawa tipis. "Liat pipi lo, udah kayak pipi badut." Gue memanyunkan bibir, "Rese".

Revan mendekap tubuh gue tiba-tiba, ada hembusan nafas dia di leher gue. "Sil, gua minta maaf kalo sering bikin lo marah ya? Tolong maklumin gua, jangan ada niatan buat pergi apalagi ada kalimat putus. Ngga bakal."

Itu semua tergantung lo, Van.

"Ih, kenapa gitu sih ngomongnya. Nanti bunda dateng liat kita begini dimarahin". Gue melepas pelukan dari Revan.

Revan mengambil tas, bersiap untuk pulang kerumahnya. Sampai didepan gerbang, kelihatan bunda yang baru pulang bawa banyak kantong belanjaan.

"Assalamualaikum anak-anak bunda, mau kemana?" tanya bunda menyapa kita berdua.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jun 06, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

[1] toxic Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang