BAGIAN 1

216 11 2
                                    

"Heaaa...!"
Pagi masih buta. Suasana yang sunyi dengan kegelapan, mendadak pecah oleh beberapa teriakan keras dan derap langkah kuda yang berlari bagai dikejar setan. Burung-burung dan hewan kecil yang baru saja membuka mata, tersentak kaget dan buru-buru bersembunyi. Dedaunan bergoyang kencang seperti diterabas.
Malah sebagian rontok ketika seorang penunggang kuda menerobos pinggiran hutan kecil ini. Sementara pada jarak yang tidak terlampau jauh, sekitar lima penunggang kuda lain mengejar dari belakang.
"Heaaa...!"
"Jatmika! Kau kejar dari kanan! Jangan sampai dia lolos!" teriak salah seorang pengejar.
"Beres, Kang!" sahut seorang pemuda yang dipanggil Jatmika.
Dan dua orang dari mereka segera memutar haluan berbelok ke kanan. Sedangkan tiga orang tetap mengejar dari belakang. Yang dikejar adalah seorang pemuda berusia sekitar delapan belas tahun, tubuhnya yang sedang terbungkus pakaian merah. Dan dia juga memakai ikat kepala berwarna merah. Di punggungnya tersandang sebilah pedang bergagang warna emas.
Sebentar-sebentar pemuda berbaju merah itu menoleh ke belakang. Kemudian kembali kudanya digebah sekencang-kencangnya. Dan kini pada jarak sekitar sepuluh tombak di depannya, terdapat jalan menikung ke kanan. Tidak ada pilihan lain baginya. Bila nekat menerobos hutan, entah berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk ke luar dari hutan yang cukup lebat ini. Jalan satu-satunya memang menikung.
Saat itu juga pemuda berbaju merah ini berbelok ke kanan. Namun ternyata itu adalah kesalahan besar. Sebab ternyata dua dari pengejarnya yang tadi mencari jalan pintas, telah menghadang.
"Keparat...!" desis pemuda berbaju merah itu geram, menyadari keadaannya yang kini terjepit dari dua arah.
"Hahaha...! Kau tidak akan bisa lari lagi, Jaka Dewa!" teriak salah seorang penghadang sambil tertawa mengejek.
Sementara itu, pengejar yang tadi dibelakang telah tiba pula di tempat itu. Dan pelan-pelan mereka turun dari punggung kudanya.
Sedangkan pemuda yang dipanggil Jaka Dewa tetap berada di punggung kudanya. Dengan sorot tajam, matanya mengawasi mereka dengan seksama. Tidak ada harapan baginya untuk lolos.
"Turun!" bentak seorang laki-laki berusia setengah baya. Jenggotnya tipis, dengan wajah bengis. Agaknya dialah yang memimpin pengejaran ini.
"Aku tidak berurusan dengan kalian. Kenapa mesti bersusah-payah mengejarku?" kata Jaka Dewa, berusaha membela diri.
"Kata Prabu Puntalaksana, kau orang berbahaya! Maka orang sepertimu mesti disingkirkan," sahut laki-laki setengah baya itu sambil tersenyum enteng.
"Bedebah! Jadi kalian antek-anteknya Prabu Puntalaksana?!" desis Jaka Dewa geram.
"Hahaha...! Mestinya kau tidak boleh tahu. Tapi tidak mengapa. Ajalmu toh sebentar lagi. Dan tidak ada salahnya aku tidak membuatmu penasaran!"
"Huh! Aku tidak takut mati! Ayo, bunuhlah aku kalau kalian mampu!" dengus Jaka Dewa.
Sring!
Seketika pemuda berbaju merah ini mencabut pedang, siap menghadapi lawan-lawannya.
"Hm.... Boleh juga nyalimu! Akan kulihat, sampai di mana kemampuanmu!" ejek laki-laki setengah baya itu seraya memberi isyarat pada salah seorang anak buahnya yang bertubuh tinggi kurus.
"Baik, Ki Jumeneng! Biar kubereskan bocah ini!" sambut laki-laki tinggi kurus itu, langsung melompat dengan pedang terhunus.
"Hati-hati kau, Jarot!" ujar laki-laki setengah baya yang ternyata bernama Ki Jumeneng, mengejutkan.
"Jangan khawatir, Ki!" kata laki-laki tinggi kurus yang dipanggil Jarot, langsung membabat pedangnya.
Namun diluar dugaan, Jaka Dewa mendahului dengan sabetan pedangnya. Akibatnya benturan senjata tak dapat dihindari lagi.
Trang!
Begitu habis terjadi benturan, Jaka Dewa berusaha mencari celah dengan mencelat beberapa langkah ke belakang. Beberapa kali tubuhnya jungkir balik.
"Mau lari ke mana kau, he?!" dengus Jarot, langsung mengejar.
"Aku tidak lari ke mana-mana sebelum kalian mampus! Hih!" dengus Jaka Dewa begitu menjejakkan kakinya di tanah. Pedangnya secepat kilat dihunuskan ke lambung Jarot.
Sambil meluruk Jarot langsung menangkis.
Trang!
Kemudian laki-laki itu memutar tubuhnya seraya melepas tendangan kilat ke leher.
"Uts...!" Jaka Dewa cepat menunduk. Begitu tendangan lewat, dia melompat ke belakang. Namun Jarot seperti tidak memberi kesempatan. Baru saja Jaka Dewa mendarat, tubuhnya telah berkelebat sambil mengibas pedangnya.
Wuttt...!
"Uhhh...!"
Trang!
Jaka Dewa mulai kerepotan walaupun berhasil menangkis serangan Jarot yang bagai terpaan badai. Dan ketika Jarot terus mencecar, dia hanya bisa mundur atau berkelit.
Pada satu kesempatan, Jarot menyambarkan pedangnya ke leher dengan gerakan cepat bukan main. Sebisa mungkin, Jaka Dewa coba menunduk. Namun secepat itu pula Jarot berbalik. Langsung diayunkannya satu tendangan ke ulu hati.
Duk!
"Aaakh...!" Jaka Dewa menjerit kesakitan begitu tendangan laki-laki tinggi kurus itu berhasil mendarat di ulu hati. Tubuhnya terjungkal ke belakang lalu jatuh berdebuk keras di tanah. Dan belum juga dia bisa bangkit, Jarot terus mengejar lewat tendangan berikut. Dengan sisa kekuatannya, Jaka Dewa segera bergulingan menghindari serangan susulan ini.
Jder!
Tendangan Jarot hanya menghantam tanah kosong. Sementara di luar dugaan, Jaka Dewa kembali bergulingan ke arah lawannya sambil membabatkan pedang ke kaki. Untung saja laki-laki tinggi kurus itu cepat melenting ke atas. Kesempatan ini digunakan Jaka Dewa untuk bangkit berdiri. Namun sayang, dia salah perhitungan. Karena baru saja bangkit, justru pada saat yang sama Jarot kembali meluruk dengan sambaran pedangnya. Begitu tepat gerakannya, sehingga....
Bret!
"Aaakh...!" Jaka Dewa menjerit kesakitan, begitu dadanya tersambar pedang Jarot yang bergerak luar biasa tanpa berhasil ditangkis. Untung saja sambaran barusan hanya tipis sekali, sehingga hanya menimbulkan besetan yang tak terlalu dalam, walau cukup menimbulkan rasa perih. Tampak darah mulai merembes di dadanya. Sambil menekap lukanya, Jaka Dewa mundur beberapa langkah ke belakang. Sedangkan Jarot sudah mendarat kembali ke tanah.
"Mampus kau, Bangsat! Heaaa...!"
Belum juga Jaka Dewa bersiap, Jarot sudah kembali meluruk dengan tendangan terbangnya disertai teriakan menggelegar. Begitu cepat serangan ini, membuat Jaka Dewa hanya mampu terkesiap. Dan....
Begkh!
"Aaakh...!" Kembali pemuda berbaju merah itu menjerit tinggi begitu tendangan Jarot telak sekali mampir di dadanya. Tubuhnya langsung terpental beberapa langkah kebelakang disertai muntahan darah segar. Dan saat dia berusaha bangkit, Jarot sudah kembali meluruk dengan sabetan pedangnya dari atas ke bawah secara menyilang.
"Hih! Mampus!" dengus Jarot.
Bret!
"Aaa...!" Jaka Dewa kembali terpekik. Perutnya kontan robek dibabat pedang laki-laki tinggi kurus itu. Tubuhnya limbung sebentar, lalu ambruk tertelungkup. Tampak darah berceceran di sekitar tempatnya jatuh. Pemuda itu megap-megap tak berdaya. Namun kedua tangannya masih coba meraba-raba untuk bangkit dengan merayap pelan-pelan.
"Kuat juga bocah ini! Biar kuhabisi sekalian!" dengus Jarot geram.
"Hei! Tidak usah! Tidak perlu mengotori tanganmu lagi. Biarkan saja. Dia tidak punya kesempatan untuk bertahan hidup lebih lama. Biar menjadi santapan anjing hutan!" tahan Ki Jumeneng.
"Benar! Begitu lebih baik dan nikmat baginya!" timpal Jatmika. "Mati dikerubuti anjing-anjing hutan yang kelaparan!"
"Ayo kita tinggalkan tempat ini!" ajak Ki Jumeneng. Segera laki-laki setengah baya itu melompat ke punggung kudanya, diikuti yang lain.
Sementara Jarot sendiri masih diam di tempatnya. Dia masih penasaran ketika melihat pemuda itu masih bergerak-gerak dengan sisa tenaga yang ada.
"Sudah! Jangan pikirkan dia! Ayo kita pergi!" tukas Ki Jumeneng seraya menggebah kuda, diikuti yang lain. "Heaaa...!"
Jaka Dewa mengerang kesakitan, menahan ajal. Pikirannya melayang-layang dan ingatannya mulai mengambang. Namun pemuda itu berusaha menguatkan semangat, dan terus menggapai-gapai entah ke mana.
"Ohhh...!" Mendadak saja, Jaka Dewa merasakan tangannya membentur sesuatu. Sekuat tenaga dia mengarahkan kepalanya untuk melihat benda yang dibenturnya. Ternyata itu adalah sepasang kaki yang tengah tegak berdiri.
"Si..., siapa...?" tanya Jaka Dewa.
Seseorang membungkuk dan langsung menyambut gapaian tangan Jaka Dewa.
"Apa yang terjadi denganmu, Kisanak? Kenapa kau jadi begini?" tanya seorang pemuda tampan yang ternyata berbaju rompi putih dengan pedang bergagang kepala burung di punggung.
"To... tolong... ganti... kan... aku da... lam sayem... bara...."
"Sayembara apa?" tanya pemuda yang tak lain Rangga, alias Pendekar Rajawali Sakti.
"Kro... jowe... tan."
Dahi Rangga berkerut bingung.
"Punta... lak... sa... na... mem... bunuh me... reka...," lanjut Jaka Dewa.
"Cobalah bertahan, Kisanak! Lalu ceritakan dengan jelas apa yang terjadi?"
Jaka Dewa berusaha memberitahukan lagi. Bibirnya bergerak-gerak hendak mengatakan sesuatu, namun tidak ada suara yang keluar. Dan kepalanya pun terkulai lemah disertai helaan napas yang terakhir.
"Ahhh...," Pendekar Rajawali Sakti mengeluh pendek.
"Dia telah menghembuskan napasnya yang terakhir...."
Rangga coba mengingat-ingat kata-kata Jaka Dewa sebelum tewas.
"Sayembara apa yang dimaksudkannya?" gumam Rangga bingung.
"Krojowetan? Apa itu? Apakah nama sebuah desa, ataukah kadipaten?"
Lama Pendekar Rajawali Sakti tercenung sebelum kemudian menggali tanah dan menguburkan pemuda itu.

171. Pendekar Rajawali Sakti : Sayembara MautTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang