Nestapa

7 0 0
                                    

Pagi ini mentari kalah cepat menyapa bumi, ia didahului curah hujan yang tidak terlalu deras tapi agaknya udah beberapa waktu tapi belum juga usai.

Apakah langit juga ingat akan tanggal hari ini? Angka yang terlalu dalam untuk aku, sehingga ia juga menemani sepiku dengan rinai hujannya? Entahlah, setidaknya dengan curahnya pelupuk mata yang kini mulai penuh dengan suatu hal yang tidak asing lagi perlahan semakin kuat membuyarkan bendungan yang ku bangun.

Kelak batinku, entah kenapa angka di kalender ini seakan masih tidak rela melepaskan aku dari setiap kesedihan akan hal yang sudah usai. Ku lihat lagi setiap rintik-rintik tipisnya langit, ingin sekali aku menemani jatuhnya ke bumi. Atau aku saja yang tetap jatuh dalam sepiku ini. Ahh bukan, itu hanya perasaanku saja. Toh, sejak awal kala aku dan kamu saling mengikrarkan janji, tujuan utamaku untuk membuatmu bahagia. Hingga pada akhirnya, bahagiamu bukanlah aku. Apakah fakta ini tidak cukup juga untuk menyadarkan bahwa aku bukan orang yang mampu membuatmu kembali bahagia? Aku yang hingga detik ini masih saja terjebak dalam amarah yang menggelegar terhadap diriku sendiri. Semuanya seakan ambyar lagi dan lagi tatkala tentangmu terlintas entah sengaja atau tidak, hanya semesta saja yang tahu. Tapi bukankah manusia hidup dari rencana semesta yang tidak pernah kita ketahui jalan serta caranya? Kita hanya sebagai pengikutnya yang secara tidak sengaja tetap manut dengan jalannya semesta. Hingga di satu titik, suka dan duka menyapa setiap kita. Seperti aku dan kamu, tanpa terencana tiba-tiba saja saling berbasa-basi yang berujung kasih yang tercipta. Semuanya tetap saja manis tatkala setiap memoar hari-hari itu kembali teringat dalam benak. Sebelum sekarang aku kadang mengutuk semesta akan setiap kesedihan yang entah ujungnya dimana, tapi memoar indah hari-hari itu seakan dijadikan senjata semesta untuk mengampuninya. Dan memang, iya berhasil, aku luluh akan setiap cerita-cerita indah di masa lampau itu.

aku ingin mencintaimu dengan sederhana;
dengan kata yang tak sempat diucapkan
kayu kepada api yang menjadikannya abu.

aku ingin mencintaimu dengan sederhana;
dengan isyarat yang tak sempat disampaikan awan kepada hujan yang menjadikannya tiada.

Sapardi Djoko Damono

Tiba-tiba saja musikalisasi puisi –aku ingin– yang dinyanyikan oleh Ari Reda terputar di pengeras suara yang baru saja tiba kemarin sore. Kesedihan ini semakin menjadi-jadi.

Masih ingatkah dikau akan puisi dari Eyang Sapardi ini? Puisi yang kita berdua sukai bersama. Dulu kala kita masih –saling–, sekalipun diulang berkali-kali pun bosan seakan lenyap dari muka bumi ini.

Iya, benar. Aku dan kamu. Tapi baru sekarang aku benar-benar paham maknanya. Apakah aku harus melepasmu dalam sukmaku? Kamu yang menjelma laksana bougenville yang penuh duri namun erat sangat kupeluk, aku tidak peduli seberapa perihnya luka ini. Aku hanya ingin seorang kamu saja. Sungguh. Tapi aku sadar, bukan aku bahagia milikmu. Kesedihan kali ini kian dalam dan pahit. Hingga aku di fase mati rasa dibuat olehmu, tapi tetap saja kamu yang selalu aku dambakan. Setiap sedatif yang kupunya kuteguk, tapi apa hasilnya? Aku semakin tenggelam terlalu dalam hingga lupa caranya untuk berenang ke permukaan. Aku tenggelam atas pilihanku sendiri yang mengizinkannya untuk tenggelam secara penuh kesadaran menikmati luka yang tak kunjung sembuh ini. Masih'kah aku kau rindukan? Sedikit saja, aku tidak menuntut harus banyak. Tak apa jua kalau tidak ada sama sekali, aku hanya merindukan dirimu dengan kapasitas yang tidak bisa ku tampung. Ku bawa jauh setiap perih ini. Perih yang sebenarnya aku ciptakan sendiri. Jika ada yang perlu disalahkan, sudah sangat pantas setiap tuduhan diarahkan dan dibenarkan kalau aku yang sangat memenuhi persyaratan untuk disalahkan. Aku hanya terjebak saja.

Entah kenapa aku tetap saja merayakan hal yang sebenarnya tidak pantas untuk dirayakan. Entah kenapa aku serasa sedang menghalalkan segala cara untuk membenarkan setiap pilihan-pilihan yang mungkin kandungan egoismenya ada di atas tujuh puluh lima persen. Entah kenapa setiap aksara menggelayut di langit imajiku, yang semuanya menawarkan samar guratan wajahmu. Wajah yang aku agung-agungkan hingga detik ini. Entah kenapa setiap kali aku sudah merasa cukup dan mau mengulang semuanya kembali, ada saja hal-hal yang menghancurkan kepercayaanku sehancur-hancurnya. Entah kenapa puing-puing kenangan yang kuhancurkan sendiri dengan asyiknya menghantuiku, mungkinkah ini yang dinamakan dengan trauma? Pada setiap kepingnya terdapat kisah yang dulu pernah kita ciptakan bersama kala senja datang atau dingin malam menemani kehangatan kita. Setiap –entah kenapa ini– seakan adalah sebuah labirin lingkaran yang pintu keluarnya sengaja dibinasakan agar aku tetap terjebak didalamnya. Semua lantah antah-berantah, keyakinan-keyakinan yang datang bak bahan bangunan untuk keyakinanku sendiri yang sudah hancur ini malah semakin menghancurkanku, yang sialnya dihancurkan pada titik keyakinanku hampir penuh dan pulih kembali. Bangsat. Kata hatiku yang tak terima dengan keadaan. Entah aku saja yang hingga detik ini masih merindukan hadirmu atau aku saja yang terlalu pengecut untuk melangkah lagi seperti yang sudah dilakukan dirimu, sekarang.

Segala aspek mengenai diriku dan tanggung jawab yang menjadi kewajibanku, untuk saat ini buyar sudah. Harap semoga hanya untuk saat ini. Apakah memang belum waktunya aku berbahagia, semesta? Atau aku saja yang belum bisa menciptakan kebahagiaan itu sendiri? Kelakku terhadap semesta. Yang setelah dipikir-pikir, hampir semua, atau malah semua momen yang tercipta adalah salah satu kemahakuasaan semesta untuk memperhatikan kehidupan penghuni bumi, aku. Seperti kita dulu yang tak dinyana tiba-tiba saja saling menyamakan titik orbit asmaraloka.

Kamu tahu tidak, kenapa malam ini bintang di langit tidak terlalu berani menampakkan dirinya?
Tidak tahu, jawabmu, memangnya ada apa?, tanyamu balik.
Karena mereka insekyur dengan terangmu yang sinarnya menghangatkan aku yang dingin ini.

Syahdan rinduku semakin semangat menabung genderang perang. Perang yang tercipta oleh aku, terhadap diriku sendiri. Sialan, makiku pada diriku. Karena keegoisan yang aku miliki ini, kamu yang aku sayang merelakan harapanmu padam. Setiap kali banyak sekali kenapa dan mengapa datang menghujamku bak tsunami yang meluluhlantakkan daratan. Puing-puing menjadi saksi keganasannya. Ratap tercipta yang berbanding lurus dengan emosi-emosi yang penujuannya tidak jelas arahnya. Lagu-lagu patah hati menjelma sebagai lagu kebangsaan menemani luka yang tetap menganga sekalipun raga kian lebur. Produktif seakan sadar diri untuk sementara waktu tidak menyapaku, padahal aku seharusnya produktif untuk setiap tanggung jawabku. Tapi kata salah satu buku yang judulnya “Sebuah Seni untuk Bersikap Bodo Amat, Mark Manson”, hal yang paling sulit diungkapkan adalah –depresikarena tidak ada bentuk yang pasti untuk menyatakannya kepada orang lain bagaimana keadaan kita.

nes·ta·pa (a) sedih sekali; susah hati;
Seperti yang sudah bisa kamu tebak, catatan di atas adalah sebuah ungkapan kepedihan lara yang masih belum bisa pulih sepenuhnya dan kuterima seutuhnya.

baskara, sembilan belas Mei (2021)

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: May 19, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Nestapa nan AmertaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang