Suara tembakan berangsur-angsur mereda, teriakan ataupun sahutan menyemangati pun mulai menghilang ditelan udara. Abel tidak tahu apakah pertempuran memang benar-benar sudah berakhir, ataukah telinganya yang sengaja mengaburkan segala suara lain di sekitarnya.
Karena yang terdengar olehnya kini hanyalah batuk seorang pemuda yang tanpa henti memuntahkan darah, lalu terkekeh geli tetapi dibarengi kebencian yang terseret di setiap suara yang keluar dari tenggorokannya.
Abel berusaha untuk tidak meringis.
"Kenapa berhenti?" Dirga masih tertawa, membuat batuknya kembali datang membawa lebih banyak darah lagi.
Butuh tekad dan usaha yang keras bagi Abel untuk tidak segera menunduk dan berlutut di samping Dirga, menyuruhnya agar tidak lagi berbicara supaya tidak memperparah lukanya.
"Kamu sudah menyudutkanku, aku tidak bisa lari ke mana-mana," ucap Dirga dengan suara serak yang dipaksa tegar. Kepalanya menengadah tanpa takut, menatap lurus mata Abel melewati moncong senapan yang menodongnya. "Ini yang kau inginkan. Kenapa berhenti, hah?"
Abel menggertakkan gigi. "Diam."
"Kenapa berhenti, Belanda? Tarik pelatuknya!" bentak Dirga tanpa memedulikan badannya yang penuh luka, sengaja menekankan suaranya ketika memanggil nama resmi Abel. Api membara masih berkobar di balik mata emasnya, menyalak galak. "Kau membawa pasukan bersenjata lengkap, pesawat tempur, tank baja, semua hanya untuk menekan perjuanganku dan rakyatku. Kau sudah memukul mundur kami, menghabiskan orang-orangku tanpa ampun. Kau sudah menangkapku tak berdaya, kejam melumpuhkanku. Apa lagi yang kau tunggu?!"
Napas Dirga tersekat, terlihat sekali berusaha menahan batuk yang kembali datang. Lalu dia menyeringai, menantang. "Kau takut menarik pelatuknya, Belanda? Setelah semua yang kau lakukan selama ini, kenapa kau memilih untuk ragu sekarang?"
Di ujung kalimatnya itu, suaranya bergetar.
Abel mencengkeram gagang senapan lebih erat, telunjuknya sudah siap menekan pelatuk tetapi tidak ada tenaga di sana.
"Aku bukan manusia, tidak akan mati semudah itu. Tidak, selama rakyatku belum berhasil memperjuangkan tanah kelahiran mereka dan kebebasan mereka, aku tidak mungkin mati."
Dirga yang bersandar pada puing bangunan memaksa duduk tegak. Tangan kirinya, yang tidak kena tembak, terangkat ke atas dan dengan kasar menarik moncong senapan Abel, menaruhnya tepat di depan mata Dirga.
"Jangan kecewakan atasanmu, cepat lakukan." Seringainya semakin lebar, mengejek. "Kau selalu seperti ini. Selalu penuh keraguan, dasar pengecut."
"Diam." Abel mendecak.
Dirga hanya tersenyum. "Aku tahu kenapa. Kau harus menyakitiku, membunuhku , tapi itu juga menyakitimu, sama-sama membunuhmu . Selalu seperti itu, sampai aku tidak mengerti apa yang sebenarnya kau inginkan. Aku sudah memilih pijakanku, lalu di pihak mana kakimu berada, Belanda?"
"Diam, Dirga!"
Dirga tertawa kencang, pahit, sebelum berusaha berbicara di tengah serangan batuk. "Jangan pakai nama itu kalau kau tidak mengakuiku sebagai Indonesia, londo sialan!" katanya dengan sengit, darah mengalir dari sudut bibirnya.
Senapannya kembali ditarik, Abel bisa merasakan ujungnya sudah menempel di dahi Dirga.
"Tembak." Suaranya berubah dingin, kontras dengan iris emasnya yang bergejolak panas. "Tembak kalau berani, Belanda."
Rahangnya menegang, mulutnya bergetar seakan-akan tiap kata yang ia lontarkan kepada Abel terasa begitu menyiksa.
"TEMBAK! JANGAN BERANI-BERANI MENGHINA PERJUANGANKU DENGAN RASA KASIHANMU!" teriak Dirga parau, air mata akhirnya tumpah dari kedua pelupuk matanya setelah sekian lama tertahan di sana. "TARIK PELATUKNYA, BERENGSEK! LONDO PENGECUT!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Look at How My Tears Richochet
FanfictionDirga hanya tersenyum. "Aku tahu kenapa. Kau harus menyakitiku, membunuhku, tapi itu juga menyakitimu, sama-sama membunuhmu. Selalu seperti itu, sampai aku tidak mengerti apa yang sebenarnya kau inginkan. Aku sudah memilih pijakanku, lalu di pihak m...