7. AKU DIAM TAK BICARA

2.8K 509 33
                                    

Beberapa menit telah berlalu sejak Tombak berdiri menatap kursi kebesaran milik mantan Bosnya. Sekilas ingatan tentang bagaimana mantan Bosnya itu duduk dengan tenang dan penuh wibawa lagi-lagi lewat di kepalanya. Ah... entah harus bagaimana menyebut status mantan Bos Tombak itu sekarang. Pria paruh baya itu sudah bukan pimpinan Tombak lagi, namun apa yang dilakukan Tombak sekarang tak lain dan tak bukan adalah permintaan ayah kandung Andrea itu juga.

"Nungguin apa lagi sih, Lo?"

Fokus Tombak segera teralihkan kepada Gembul yang berdiri di dekat pintu ruangan.

"Para anggota udah pada ngumpul di bawah."

Tombak memakai jaket jeans hitamnya dengan tenang. "Gue nunggu Arthur."

Tepat beberapa detik setelahnya, pintu ruangan terbuka dan memunculkan Arthur di sana.

"Apa nggak terlalu berlebihan gue di sini?" tanya Tombak saat Arthur berjala mendekat.

"Apanya yang berlebihan? Lo pemimpin kami sekarang."

Kedua mata Tombak menyapu seluruh ruangan dengan sedikit enggan. "Sementara," koreksi Tombak.

"Gue lihat tadi anak-anak yang di bawah udah pada keliatan bosan. Yuk?" ajak Arthur.

"Alex nggak ikut?"

Arthur menggeleng. "Dia mau ketemu Bokap hari ini sama Andrea."

"Dia..." Tombak menatap Arthur lurus. "Tahu tentang hal ini, kan?"

"Um..." Arthur memasukkan kedua tangan ke saku celananya. "Setahu gue yang tahu hal ini masih empat orang. Kita, Bokap gue, dan Gembul."

"Kenapa Alex nggak dikasih tahu?" Kali ini Gembul turut bersuara.

"Permintaan Bokap gue." Arthur kembali menatap Tombak. "Mungkin dari Bokap gue juga dia bakal tahu."

Tombak tak berkomentar. Tanpa berkata apa-apa, ia memilih untuk berjalan keluar terlebih dulu dengan tenang.

***

Tak henti-hentinya Andrea mengusap punggung tangan sang Papa yang berada di pipinya. Penjelasan dokter tentang kondisi papanya yang menurun sejak pagi ini membuat moodnya berubah mendung seketika. Ditambah lagi, hati Andrea terasa ngilu setiap kali melihat alat bantu napas yang dipasang di hidung papanya saat ini. Ia tak menyangka, keadaan papanya sekarang nampak lebih buruk dari saat ia menemuinya kemarin.

Perlahan kedua mata pria yang menjadi ayah Andrea sejak dua puluh lima tahun itu terbuka sayu. "Ndre?" sapanya lirih.

Andrea mendekatkan kepalanya. "Papa kenapa bisa kondisinya turun sih? Nggak suka Andrea datang, ya?"

Pemimpin organisasi itu tertawa lemah. "Alex mana?"

"Di sebelah kanan Papa."

"Ada apa, Pa?" Alex turut mendekatkan tubuhnya kepada sang Papa.

"Lex, Papa mau ngomong."

Alex memasang telinganya baik-baik. "Ya?"

***

Terhitung lima hari sudah Aira tak bisa menghubungi ponsel suaminya. Panggilan yang ia lakukan selalu berakhir dengan sapaan layanan operator otomatis. Jujur Aira mulai merasa resah. Tombak tak pernah mematikan ponselnya selama berhari-hari seperti ini. Kekhawatiran Aira pun tanpa sadar terbawa hingga alam mimpi.

.

.

Aira menatap telepon rumahnya tanpa berkedip. Terbangun karena mimpi buruk kini bukanlah hal yang jarang lagi baginya. Di luar sana langit masihlah gelap, namun keinginannya untuk menghubungi seseorang benar-benar tak tertahankan. Tanpa berpikir lebih jauh, perempuan itu pun meraih gagang telepon dan menelepon seseorang.

BERTEDUHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang