1. CUKUP SEPERTI INI

6.1K 763 47
                                    

Derit sepeda yang sedang berjalan di atas tanah bebatuan itu terdengar samar karena alunan nyanyian yang didendangkan si pengendara. Sejak memutuskan pulang dari bukit yang biasa ia singgahi, tak ada satu detik pun yang ia lewatkan tanpa bernyanyi untuk mengekspresikan kebahagian yang ia rasa saat ini. Tak ada hal spesial yang baru saja terjadi sebenarnya, ia hanya merasa bahagia karena terlalu bersyukur atas jalan hidup yang kini tengah dijalaninya.

Yah... jika Aira boleh meminta, biarlah hidupnya terasa tenang seperti ini selamanya. Itu lebih dari cukup, ia tak butuh yang lainnya.

Sepeda yang Aira kendarai membawanya pada rumah berhalaman hijau karena rimbunnya tanaman sayur. Seorang perempuan paruh baya yang sedang menyapu di sana memberikan senyum ramah padanya.

"Pagi, Bu Giman."

"Pagi, Mbak Aira."

Aira turun dan menuntun sepedanya. "Saya cuma mau bilang, bibit selada yang saya tanam sama Bu Giman sudah mulai tumbuh. Terima kasih sudah diajari waktu itu."

"Halah opo toh, Mbak? Saya toh dulu juga dapat ilmunya dari Bu Laksmi."

Senyum Aira terukir. "Nanti kalau sudah bisa dipanen, Bu Giman pasti saya kasih."

"Iyaaaa... matur nuwun ya, Mbak Cantik."

"Kalau begitu saya pulang ya, Bu? Saya belum masak untuk sarapan soalnya." Aira mengakhiri kalimatnya dengan sedikit tawa.

"Eh anu, tunggu sebentar."

Aira hanya mengamati 'mentor bercocok tanamnya' memasuki rumah, lalu keluar tak lama kemudian dengan kantong keresek di tangannya.

"Ini ada bubuk kopi hasil olahan suami saya sendiri. Beberapa hari yang lalu dia bilang mau kasih ke Mas Tombak, tapi ndak sempat karena belum ketemu. Jadi saya nitip ini untuk Mas Tombak ya, Mbak?"

"Oh iya. Terima kasih ya, Bu Giman."

***

Kedua alis Tombak mengerut membaca notes kecil di samping cangkir kopi yang disiapkan Aira untuknya. Kurang lebih berisi pemberitahuan jika kopi yang Tombak minum sekarang adalah pemberian Pak Giman, serta sebuah perintah untuk membelikan keluarga pria paruh baya itu oleh-oleh jika ia sedang berkunjung keluar kota.

Tombak berjalan mendekati jendela kaca besar di samping meja makan. Nampak di halaman belakang sana, Aira tengah berjongkok di kebun sayur kecil seraya membersihkan tanaman liar di sekitarnya. Perempuan itu nampak kepanasan jika dilihat dari gerak-geriknya yang mengusap keringat di leher maupun dahi. Namun tatapan penuh semangat yang terpancar jelas dari kedua matanya, seolah-olah mengalahkan itu semua.

Ah... nikmat juga ternyata meminum kopi seraya memandangi Aira berkutat penuh semangat di kebun seperti ini. Tombak bahkan hanya diam dan terus meminum kopinya saat Aira menyadari keberadaannya.

Aira terus menatap Tombak sebagaimana Tombak terus menatapnya. Tak ada yang berubah dari ekspresi dan kegiatan pria itu walau Aira sudah melempar senyumnya. Aira mulai heran, lalu menangkupkan kedua tangan di pipinya. Senyumnya bertambah lebar sekarang, tapi mengapa Tombak tak juga membalas senyumnya? Astaga... payah sekali keragaman ekpresi suaminya itu. Tekad Aira pun semakin tinggi. Percobaan ketiga, ia memberikan kecupan jarak jauh lengkap dengan gerakan tangan di depan bibirnya.

Tombak terbatuk. Tak cukup hebat, tapi cukup tiba-tiba hingga tak bisa menyembunyikannya, dan membuat Aira nampak tertawa puas di luar sana.

.

.

"Kamu hari ini libur, kan?"

Tombak yang sedang menonton tv dan duduk di sofa ruang tengah, menoleh Aira yang baru selesai mandi sedang berjalan ke arahnya.

BERTEDUHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang