Rindu untuk pasca

0 0 0
                                    

RINDU UNTUK PASCA
Oleh: Arbiansyah​​​​​


29 Desember 2020, 22.12 WIB.

...
Pagi telah pergi
Mentari tak bersinar lagi
Entah sampai kapan
Ku mengingat tentang dirimu
Ku hanya diam
Menggenggam menahan
Segala kerinduan
Memanggil namamu
Di setiap malam
Ingin engkau datang
Dan hadir di mimpiku
Rindu

Sepenggal lirik lagu dari penyanyi berambut gondrong yang belakangan ini menghuni playlist music di laptopku, meski video klip yang ditampilkan tentang kerinduan seorang anak dan ayah, ungkapan rindu pada lirik lagu itu cukup mewakili perasaan rindu yang kurasakan. Aku hanyut dalam lantunan.
Aku sering bertanya 'Apa yang paling menyakitkan? Merasakan penyesalan atau rindu pada seseorang yang tidak akan bisa ditemukan.' Bukan. Lebih tepatnya tidak berhak lagi untuk bertemu, apalagi merindukannya.
Kurasa, aku sudah menyesal untuk waktu yang lama, aku mulai memaafkan diri sendiri dan berdamai dengan keadaan saat ini, lalu rindu itu datang dengan amat kejam sedangkan aku tidak punya kekuatan sedikitpun untuk mengalahkannya. Penyesalan dan rindu menghukumku, menggerogoti sisa-sisa hidup yang sekarang kujalani tanpa gairah, kadang aku bosan menghabiskan hari dengan melakukan hal yang sama dan semakin menyiksa karena waktu rasanya melambat. Meja, kasur, sofa, foto-foto kita yang masih tergantung di dinding dan seisi rumah ini saksi bisu setiap momen kita, juga kesepian yang sekarang perlahan-lahan mencekik tenggorokanku.
Aku masih ingat caramu tersenyum, masih ingat caramu marah karena barang-barang yang baru saja kamu bereskan tidak lagi rapi setelah kugunakan, aku juga masih ingat ketika kamu menangis diam-diam karena menonton drama India lalu aku yang mendapatimu seperti ituakan tertawa meledek dan bilang kamu berlebihan, aku ingat ketika kamu menemaniku makan dan memastikan aku kenyang di meja makan warna kuning itu, aku ingat kamu akan menunggu di sofa ruang tamu dengan wajah letih dan mata mengantuk ketika aku belum juga pulang, dan saat aku sampai kamu akan bertanya "Sudah makan atau belum?", "Bagaimana tadi kerjanya?" atau pertanyaan lain yang kadang membuatku jengkel. Aku ingin segera tidur, tidak ingin menjawab semua pertanyaanmu atau merasa bersalah karena membuatmu lelah menunggu. Sekarang aku paham mengapa kamu melakukannya, seharian di rumah, mengurus pekerjaan ini dan itu sangat membosankan, mengobrol denganku tentu menjadi angin segar yang kamu nantikan setiap harinya.
Aku masih ingat wajah terkejut, sedih dan kecewa saat dokter bilang kita tidak akan pernah memiliki seorang anak, aku ingat sikap diam yang kamu tunjukkan ketika aku marah dan semakin marah karena hanya itu yang kamu lakukan. Maaf, karena aku tidak pernah faham dengan sikap diammu.
Aku ingat pandangan kecewa setelah kamu dapati kecuranganku. Aku ingin meminta maaf karena jadi pengecut, dan melarikan diri dari masalah padahal saat itu mungkin kamu butuh hadirku. Aku ingin memperbaiki semua kesalahan yang kubuat, aku ingin menjadi lebih berani menghadapi semuanya bersama denganmu.Aku rindu melakukan semua hal dengan mu, rindu semua hal tentangmu bahkan dengan diammu.
Andai saja waktu bisa kuputar ....

​​​​​****
2019
Manusia sering berharap dalam kehidupannya semua berjalan dengan baik dan normal, lahir selamat dengan anggota badan lengkap tanpa kurang sedikitpun, tumbuh dengan baik di lingkungan yang baik, mendapatkan pendidikan yang baik, ketika dewasa berharap akan bekerja di tempat yang baik dengan penghasilan yang baik, menikah dengan orang baik dari keluarga baik-baik, setelah menikah kemudian ia akan punya anak, mungkin satu, dua, tiga dan ketika tua ia akan meninggal dengan nyaman di kasur yang empuk dengan anak cucu yang berkeliling di sekitarnya.
Selama hidup yang kujalani, semua berjalan dengan baik dan normal sesuai yang diimpikan orangmeskipun pernah ada masa-masa sulit menghampiri. Kadang aku merasa hidupku berjalan dengan mudah bahkan Tuhan telah memberikan kelebihan padaku ketika bertemu Pasca.
Kata orang, menikah itu artinya menempuh kehidupan baru dan menikah itu baik, aku mengaminkannya dan pernikahanku yang baru satu bulan juga berjalan baik, Pasca sangat cantik menurutku, dia mampu menjalankan segala kewajibannya, dia perhatian, dia paham apa yang selalu kubutuhkan dan bisa berhubungan baik dengan ibuku, mertuanya. Karena kebanyakan hubungan antara menantu perempuan dan mertua perempuan biasanya tidak baik, melihat ibu dan Pasca mesra, aku amat bersyukur. Ibu sangat senang dengan kehadiran Pasca. Ibu seringkali ke rumah kami, membawakan makanan-makanan enak dan sering memasak bersama Pasca, sebisa mungkin apa saja yang diinginkan Pasca ibu berusaha untuk menurutinya. Ibu hanya punya satu keinginan, yakni seorang cucu. Kadang pertanyaan Ibu soal 'apakah Pasca sudah mengandung?' terlalu sering kudengar. Aku khawatir Pasca tak nyaman dengan pertanyaa ibu, tapi Pasca memaklumi sikap ibu, dia hanya senyum dan tidak marah sedikitpun.' Kalau ibu saya masih hidup, mungkin ibu saya juga akan bertanya hal yang sama' katanya waktu itu.
Kami akhirnya berencana untuk punya anak. Satu bulan, dua bulan, tiga bulan berlalu belum juga muncul tanda kehamilannya, meski begitu kami selalu berpikir positif, begitu juga ibu 'Barangkali memang belum waktunya' katanya. Kami terus berusaha sampai akhirnya Oktober 2019 dokter menyatakan ia tidak akan pernah bisa hamil.
Semua yang berjalan normal dan baik pada hidupku ketika itu mulai goyah, saat itu kami sangat terkejut, air mata Pasca tumpah, tangisannya pecah, kupeluk ia erat, berkali-kali ia minta maaf atas ketidaksempurnaannya menjadi seorang istri juga menantu untuk ibu. Aku berencana tidak memberitahu ibu soal ini, alasannya karena perasaan Pasca dan tak siap menghadapi kekecewaan ibu.
Pasca mulai kembali dengan aktivitasnya yang biasa, sholat subuh, memasak sarapan, meyiapkan kebutuhan-kebutuhanku yang lain walau masih ada gurat kesedihan pada wajahnya.
" Bang, kapan kita kasih tahu ibu soal itu." Tanya Pasca mulai percakapan kami.
Aku yang sedang makan nasi goreng buatannya hampir tersedak, buru-buru kuambil air minum yang sudah tersedia di meja makan.
"Abang belum tahu, abang tunggu keputusan kamu ya, abang tunggu kamu siap." jawabku.
"Abang gak usah khawatir, sayasudah siap sama semua hal." jawab Pasca.
Kupandang wajahnya lekat, dalam hati 'akulah yang tidak pernah siap.'Aku pamit padanya, Pasca menyalamiku, kutarik dia dalam pelukan.
​"Abang sayang kamu." bisikku.
Ada air mata muncul di sudut matanya.

***
November 2019,
Setelah beberapa saat menyiapkan diri, akhirnya kami mengunjungi rumah ibu. Kecemasan menghiasi wajah Pasca, macam-macam ucapan semangat, tidak perlu khawatir dan lain-lain kukatakan untuk menguatkannya, dia tersenyum dan membuatku sadar kata-kata itu harusnya ditujukan untukku sendiri.
Ibu terperangah mendapati kami di rumahnya tanpa menelpon terlebih dahulu, dan karena hal itu juga membuatnya tidak bisa menyediakan masakan enak untuk menyambut kedatangan kami.
Melihat ibu yang antusias menyambut kedatangan kami berdua membuatku sedikit tertekan, kulihat juga kecemasan pada wajah Pasca. Aku tak ingin keramahan dan wajah bahagia Ibu hilang. Kutata wajahku sebaik mungkin, aku mulai membuka suara menyatakan maksud kedatangan kami dengan perlahan, aku mulai menjelaskan kepada ibu seperti yang dokter katakan, tak lupa kuberikan surat hasil pemeriksaan untuk mendukung penjelasanku. Aku berharap pengertian ibu, aku berharap dukungannya untuk kami, lebih tepatnya untuk Pasca, kulihat wajahnya yang tersenyum hangat tadi berubah dingin saat membaca surat itu, kekecewaan muncul dari garis mukanya yang keras. Pada akhirnya, apa yang kukhawatirkan itu terjadi. Ibu meninggalkan kami berdua di ruang tamu tanpa bicara satu kata pun. Pasca tertunduk, lalu menangis, tidak tahu apa lagi yang bisa dilakukannya. Ia tahu ibu akan kecewa.
Kami memutuskan untuk pulang, berkali-kali kuketuk pintu kamar ibu untuk pamit, tak ada respon apa-apa. Ibu membisu. Hanya Mak Yati asisten rumah tangga di rumah ibu yang mengantarkan kepulanganku dan Pasca.
Aku maklum dengan sikap ibu yang demikian, cucu adalah keinginan terbesarnya. Kejadian itu sudah lama sekali sebelum aku bertemu Pasca. Ibu berduka cukup lama, satu persatu orang-orang yang disayanginya meninggal. Bapak, anak perempuan juga calon cucunya. Sekarang hanya aku yang tersisa untuk ibu, juga jadi satu-satunya anak yang ia harap bisa memberinya cucu, dan beban itu makin berat rasanya kutanggung.  Ibu ingin taubat dari kehilangan dan sepi yang akhir-akhir ini makin akrab dengannya.
Sudah dua minggu setelah ibu tahu ketidakmungkinan Pasca hamil berlalu, Pasca beberapa kali menelpon ibu, telpon itu tak pernah berakhir dengan salam yang diucapkan ibu. Ibu enggan bicara padanya termasuk aku.
Esoknya aku mengunjungi ibu, melihat keadaannya dan mengemis pengertiannya. Ibu dengan malas menemuiku, dan setelah sekian lama bungkam 'ceraikan' adalah kata pertama yang ia ucapkan.
"Untuk apa kamu menikah kalau tidak punya keturunan. Sekarang juga ceraikan dia.!" kata ibu.
Aku menolak dengan keras perintahnya. Aku mulai kesal dengan sikap ibu yang egois, beberapa waktu aku tak pernah mengunjungi Ibu. Pasca tidak pernah tahu ibu menyuruhku menceraikannya. Aku tidak tega pada Pasca. Pasca mulai protes soal sikapku yang tak acuh pada ibu, Pasca tahu aku marah dengan ibu karena membelanya. Pasca terus-menerus memintaku minta maaf pada ibu. Aku mengalah dengan keinginannya, aku mengunjungi ibu lagi dan yang kulakukan masih sama, mengemis pengertiannya. Ibu tetap bersikeras menyuruhku bercerai dan hanya itu yang diinginkannya.
Aku mulai lelah dengan permasalahan ini, aku mulai jarang pulang. Aku tidak betah di rumah, ada perasaan bersalah dan marahberkecamuk di dalam diriku ketika berada di sana. Aku mulai sering marah pada Pasca, bukan karena ia melakukan kesalahan tapi karena aku menutupi ketidakmampuanku memilih antara Pasca atau Ibu. Ibu adalah simbol keramat yang tak bisa kuabaikan sedangkan memandang Pasca adalah rasa bersalah yang perih, memilih ibu berarti bercerai dengan Pasca dan aku tak punya kemampuan melakukannya, aku akan menambah kemalangannya.
Lama-kelamaan perasaanku kosong seolah ada lubang besar menganga, berulang kali coba kututup tapi usahaku nihil, lubang itu semakin besar. Aku lelah dan mulai berandai-andai jika saja ada seorang anak terlahir di keluarga ini, aku mulai merasa yang diucapkan ibu soal Pasca benar, tiba-tiba perasaan kecewa pada Pasca muncul. Aku mulai egois. Perlahan-lahan pesona Pasca mulai pudar. Aku tak lagi melihat kebaikannya, perhatian yang selama ini dilakukannya kupandang sebagai sesuatu yang memang harus dilakukannya sebagai istri, dan aku lebih sering marah-marah daripada biasanya ketika ia lupa menyiapkan kebutuhanku. Pasca semakin diam, dan aku tidak pernah mengerti dengan sikap diamnya.  Aku semakin bersalah juga semakin marah.
Di tengah kepenatan yang mendera, aku bertemu seorang perempuan yang menarik hati, dia penuh dengan semangat, periang, punya obsesi besar, mandiri, dia tidak dapat dipengaruhi dan hal itu selalu menantangku. Perkenalan kami yang tidak sengaja berlanjut, kami mulai saling membalas pesan, saling memberikan perhatian, sesekali kami jalan berdua atau makan.
Aku kembali semangat menjalani hidup. Bertemu dengannya seperti menemukan oasis di tengah gurun. Aku tahu, dalam hal ini aku telah curang terhadap Pasca, dan curang bukan hal yang dianggap benar. Aku pernah ingin mengakhiri main-main api ini namun saat itu juga aku tidak mampu melakukannya. Hubungan ini seperti candu, meski kekosongan itu masih saja ada.
Aku berencana menceraikan Pasca, kebaikan dan kemurahan hatinya yang banyak tak pantas untukku yang pengecut. Aku berharap hidupnya akan lebih baik tanpaku. Aku mulai mencari-cari alasan yang kuat untuk menceraikannya.
Pagi itu, aku mendapati Pasca memegang smartphone milikku yang kutaruh di meja rias kamar, aku melihat matanya berkaca-kaca dan chat mesraku di whatsapp yang lupa kuhapus adalah penyebabnya. Ada perasaan lega karena tidak harus lagi mencari alasan menceraikannya. Aku menunggu reaksinya, berharap ia marah, lalu memukulku dengan keras, melempariku dengan apa saja yang bisa digapainya dan dia akan langsung meminta cerai tapi ternyata semua yang kukehendaki darinya tak terjadi, Pasca lagi-lagi diam, bahkan tidak menangis.
"Abang, suka dia.?" Tanyanya dengan suara bergetar namun tetap tenang. Aku diam seribu bahasa. Melihatku diam Pasca berlalu melewatiku yang berdiri di depan pintu kamar, dia berjalan ke dapur dan memasak sesuatu. Aku merasa kejam, tapi bukankah hal seperti ini yang kuinginkan dan akan terjadi cepat atau lambat.
Aku siap berangkat kerja, kuhampiri Pasca yang sedang mencuci piring di dapur, kubilang padanya jangan menunggu jika aku pulang larut. Di meja makan warna kuning tersedia nasi goreng dengan telur setengah matang juga secangkir kopi, sarapan favoritku. Tiba-tiba perasaanku sakit. Pasca tak bereaksi apa-apa, diam lagi bahkan tak menoleh padaku. Aku berangkat kerja dan tidak sedikitpun menyentuh nasi goreng serta kopi buatannya. Aku tidak tahu yang harus kulakukan, perasaanku kacau dan ingin segera pergi dari rasa tak nyaman ini.
Jam sebelas malam aku sampai di rumah, suasana sudah sepi seperti sedia kala. Aku masuk ke dalam rumah, Pasca tidak menungguku di sofa seperti biasa. Aku masuk perlahan membuka pintu kamar mencari sosoknya. Tak ada. Aku mulai membuka pintu ruang demi ruang dan tak juga kutemukan sosoknya. Aku bahkan mencarinya di taman belakang rumah satu tempat yang tak mungkin ditujunya karena takut apalagi sudah larut begini.
Aku masuk kembali ke dalam rumah, menelpon nomornya. Lagu kesukaannya yang jadi nada dering terdengar dari dalam kamar, kutemukan gawai itu bergetar diringi nada dering terletak di atas meja rias. Pasca meninggalkan smartphonenya, 'ia tak ingin dihubungi.' batinku. Kubiarkan gawai itu tetap di meja rias. Tidak ada petunjuk apa-apa soal Pasca. Aku enggan mencarinya saat ini 'sekarang ia pasti di rumah ayahnya dan mungkin akan kembali besok' batinku lagi. Aku lelah, kusandarkan tubuhku di sofa 'seharusnya aku senang, semua jadi jelas, aku membuat Pasca muak dan mungkin akan menceraikanku, semua berjalan sesuai mauku, mau ibuku.'
Rasa lelah membuatku tidur di sofa, nada dering milikku yang berbunyi kencang membangunkanku. Ada telpon masuk, telpon dari rumah ibu. Kuangkat sambungan telepon itu, ada suara Mak Yati di seberang telepon, "Nak Ari... ibu meninggal" katanya sambil sesegukan.
Badanku bergetar, aku menggigil, ribuan volt listrik seolah menjalari tubuhku. Pandanganku gelap. Aku tak tahu apalagi yang diucapkan Mak Yati di seberang telepon. Air mataku tumpah. Aku bergegas ke rumah ibu. Serangan jantung merenggut hidup Ibu.
Esoknya, serangkaian acara pemakaman ibu dilakukan. Tetangga, kerabat jauh ibu dan bapak datang melayat, mereka menanyakan kehadiran Pasca. Aku berbohong pada mereka Pasca sedang menjenguk ayahnya yang sakit dan terlambat datang. Pada awalnya mereka percaya, tapi akhirnya mulai bergosip karena Pasca tak kunjung muncul setelah beberapa kali acara tahlil kematian ibu diadakan.
Acara tahlil kematian ibu hari ketujuh akhirnya selesai. Mak Yati menghampiriku.
"Nak Ari.. Ada yang ingin saya ceritakan." kata Mak Yati mendekatiku yang duduk di bangku teras.
"Sore sebelum ibu meninggal Mbak Pasca ke rumah, saat itu ibu tidak mau menemui Mbak Pasca, Mbak Pasca lalu bersikeras ingin bertemu dengan ibu, Mbak Pasca bilang ingin pamit. Ibu akhirnya keluar. Ibu tak bicara apa-apa. Sedangkan mbak Pasca bilang, 'Ibu, saya pamit. Maaf saya tidak bisa jadi istri, sekaligus menantu yang baik untuk ibu, sekarang saya akan pergi, Ari mungkin akan mengenalkan ibu dengan perempuan yang lebih baik sebentar lagi.'Mbak Pasca menyalami tangan ibu lalu pergi, saya tanya Mbak Pasca mau ke mana bawa-bawa koper. Mbak Pasca cuma bilang titip ibu, begitu yang saya dengar Nak Ari, yang sabar ya Nak, maafkan kesalahan-kesalahan ibu. supaya ibu tenang."kata Mak Yati lalu minta izin untuk pulang.
Aku berterima kasih pada Mak Yati, dan mengizinkannya pulang. Kuminta ia tetap datang beberapa kali dalam seminggu untuk membersihkan rumah ibu, ia mengangguk setuju.
​Aku tidak tahu kejutan apalagi yang menantiku, dalam satu hari aku kehilangan dua orang. Aku tak punya apa-apa lagi sekarang. Hidupku berputar seratus delapan puluh derajat dari bahagia jadi penuh kemalangan. Aku kesepian, aku ingin seseorang duduk denganku. Aku menelponnya. Canduku. Berharap kehadirannya memberikan semangat seperti biasa. Harapanku pupus, puluhan kali panggilan telepon itu kutekan tak ada jawaban. Canduku menghilang. Tiba-tiba hatiku mengharap Pasca tapi rasa bersalah mencegahku untuk mencarinya.
​Akhirnya aku mencari Pasca, aku ingin minta maaf serta mengabarkan soal kematian ibu padanya, kudatangi rumah bapak mertuaku.
​"Pasca tidak di sini" kata bapak mertuaku tegas. Melihat sikap bapak, aku tahu Pasca telah menceritakan pada bapak yang terjadi pada pernikahan kami. Aku mohon maaf pada bapak mertuaku karena mengecewakannya, karena mengecewakan Pasca. Aku juga mohon pada bapak mertuaku agar memberikan nomor baru Pasca yang bisa kuhubungi. Bapak mertuaku bungkam, Pasca tidak ingin bertemu denganku. Beberapa bulan kemudian kuterima paket. Sebuah amplop coklat besar berisi surat perceraian. Aku tak ingin melakukan perceraian ini, tapi akhirnya kulakukan juga, berharap jadi hal terbaik terakhir yang bisa kulakukan untuk Pasca.
​​​​​​​****
20 Desember 2019, 10:35 WIB
​Kulirik jam, kututup laptopku sementara dan berjanji melanjutkan pekerjaan itu nanti. Ada bahan makanan juga kebutuhan rumah lain yang harus kubeli.
​Hidupku banyak berubah setelah kejadian itu. Aku yang terpuruk, kehilangan, menyesal juga rindu yang menderaku saat ini adalah konsekuensi yang harus kuhadapi. Meski kesepian, aku belum punya keinginan menjalin hubungan lagi dengan wanita lain.
​Hidup memang keras, hidup juga tidak memedulikan perasaanku, senang atau sedih, hidup terus berlanjut, dan aku harus melanjutkan hidupku. Aku mulai memperbaiki hidupku. Aku mulai belajar masak, kutaruh potret Pasca di dapur untuk menyemangatiku, aku mulai bersih-bersih rumah sendiri dan mengurus segala keperluanku sendiri. Sebenarnya, bukan aku tak punya uang membayar seseorang mengurus semua keperluanku. Aku hanya ingin merasakan yang dirasakan oleh Pasca dulu. Aku mulai rajin mengaji, kadang menonton drama India seperti Pasca, bahkan membaca novel-novel koleksinya.
​Kunyalakan mesin mobil, kemudian meluncur ke supermarket. Jalanan lancar, hanya dalam waktu sepuluh menit dari rumah aku sudah sampai di supermarket, keadaan di sana cukup ramai, barangkali karena ini hari Sabtu, aku mulai mengingat apa saja yang kubutuhkan, aku mulai dengan sabun cuci piring, aneka macam merek berbaris rapi di rak, aku mengambil salah satunya dan tidak peduli apa keunggulan dan kekurangannya. Aku tersenyum kecut, mengingat Pasca pasti akan lama memilih bahkan untuk sabun pencuci piring. Aku juga butuh teh, kuarahkan kakiku ke rak tempat aneka macam teh itu dijejerkan. Aku terkejut mendapati sosok yang berdiri di depanku.
​"Pasca!!!"



​​​​​​_Selesai_



You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: May 21, 2021 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Rindu untuk pascaWhere stories live. Discover now