“Pada saat itu, Fatimah datang ke rumah Aisyah. Biasanya Fatimah disambut oleh Rasulullah. Rasul berdiri dan mencium Fatimah. Namun apa yang terjadi? Saat itu, Rasul dalam keadaan lemah dan tak sanggup menyambut kedatangan Fatimah.”“Maka Fatimah pun memandang ayahnya dan berkata, “Wahai Ayah, betapa berat penderitaanmu, betapa luar biasanya kesakitanmu?” Lalu apa kata Rasulullah? “Inilah hari terakhir di mana aku merasakan penderitaanku, wahai Fatimah. Setelah hari ini, aku tidak akan merasakan penderitaan lagi.”
Attar membawakan sebuah cerita detik-detik wafatnya Rasulullah SAW. Dengan suara yang lantang dan bergetar, Attar terus melanjutkan dakwahnya.Matanya menatap wajah-wajah sembab dari para jamaah, karena mendengar kisah yang dibawakan olehnya.
Begitu pun dengan Ceisya. Air matanya terus mengalir sejak Attar menceriakan detik-detik wafatnya Rasulullah.
“Pada suatu ketika, ada seseorang yang mengetuk pintu rumah Rasulullah SAW dan Fatimah membuka pintu tersebut, kemudian mengatakan, “Untuk apa Engkau datang ke mari? Ayahku sedang sakit.” Lalu, orang tersebut mengatakan, “Tidak! Aku harus bertemu dengan Ayahmu.” “Untuk apa? Ayahku sedang sakit.” Fatimah pun menutup pintu rumah itu.”
“Kemudian, Rasulullah memanggil Fatimah. “Fatimah! Dialah malaikat maut. Dialah yang akan memutus kebahagiaan sementara, dialah yang akan bertemu denganku, Fatimah. Inilah hari terakhirku wahai, Fatimah.” Lalu, Fatimah tak lagi mampu membendung air matanya. Ia paham bahwa ini adalah detik-detik wafatnya Rasulullah SAW.”
Attar menarik napas dalam, memberi sedikit jeda. Mengusap air matanya lembut. Ia pun mendengar isak tangis dari jamaahnya.
Dengan suara lemah dan bergetar, Attar melanjutkan dakwahnya. “Dalam keadaan lemah, Malaikat Maut menjumpai Rasulullah. Rasul bertanya, “ Di mana Malaikat Jibril?” dan Malaikat Jibril pun datang menjumpai Rasulullah.”“Rasul pun bertanya, “Apa hakku di hadapan Allah SWT, wahai Malaikat Jibril?” Malaikat Jibril menjawab, “Bahwa Allah telah menantimu di Surga. Seluruh Malaikat telah menantimu di pintu-pintu langit untuk menyambut kedatangan rohmu, wahai kekasih Allah.” Dan apa yang dilakukan Rasul? Rasul tidak tersenyum. Malaikat Jibril bertanya, “Kenapa Engkau tidak tersenyum?” Rasul menjawab, “Aku memikirkan umatku, wahai Malaikat Jibril. Bagaimana dengan umatku sepeninggalanku? Malaikat Jibril mengatakan, “Aku pernah mendengarkan Allah berfirman, “Tidak akan masuk surga kecuali orang-orang umatmu masuk surga terlebih dahulu.”
Ceisya semakin tergugu mendengar cerita tentang detik-detik wafatnya Rasulullah. Betapa Rasulullah sangat mencintai umatnya. Namun, kadang umatnya lalai dalam melaksanakan perintah-perintah Allah.
“Maka perlahan-lahan, ditariklah ruh dari Rasulullah SAW dan Rasul mengatakan, “Betapa dahsyat sakit ini, wahai Malaikat. Betapa dahsyat rasa sakaratul maut ini. Kalau Engkau mau wahai Allah, timpahkan rasa sakit seluruh umatku terhadapku, wahai Allah.”
Tangan Attar gemetar, tubuhnya pun terasa lemas. Ia tak sanggup lagi melanjutkan dakwahnya. Air mata terus mengalir membasahi pipinya, begitu juga dengan para jamaah. Betapa Rasulullah sangat menyayangi umatnya, hingga Rasul meminta Allah untuk menipahkan seluruh rasa sakit umatnya kepada Rasul.
“Dan kemudian Rasulullah menderita sakit yang sangat parah, Rasul pun mengatakan ingin kembali kepada Allah. Tangannya pun ditunjukkan ke atas dan berkata, “Laa illaha illallah, laa illaha illallah,” suara Attar bergetar, disusul dengan air mata yang mengalir dari sudut matanya.Begitu pun para jamaah yang menangis tersedu-sedu. Bagai lebah yang bergerombol, berdengung kuat, bergema di segala penjuru masjid. Berkali-kali Ceisya mengusap air matanya dengan ujung jilbabnya. Betapa ia merasa kerdil di hadapan Allah. Mengingat betapa banyak dosa-dosa yang pernah ia lakukan. Ia takut Allah mengambil nyawanya ketika bekalnya belum cukup.
“Mudah-mudahan kisah ini membuat kita mencintai dan merindukan Rasulullah. Setiap perpisahan di muka bumi ini, akan ada pertemuan abadi kelak, yaitu di surganya Allah. Jangan ada air mata, kita kembali dengan Rasulullah. Bertemu dengannya di surga Allah. Insyaallah, wahai pecinta Rasulullah.”
Attar mengakhiri dakwahnya dengan mengucap istigfar dan doa penutup majelis. Dilihatnya banyak wajah-wajah berlinang Air mata. Semua itu menandakan betapa cintanya mereka kepada Rasulullah.
Di luar sana, hujan deras menyapa bumi. Tampak dari beberapa jamaah memilih pulang dan ada pula yang tetap tinggal. Seperti Ceisya yang memilih duduk bersila di teras masjid. Pikirannya menerawang, siapakah pengisi kajian hari ini? Suaranya tak asing lagi baginya. Setiap hari minggu pagi, ia selalu rutin mengikuti kajian di masjid dekat rumahnya. Namun, baru kali ini ia menangis hingga sebagian jilbabnya basah. Suara pengisi kajian itu sama dengan suara pengisi kajian di kampusnya. Ceisya sempat berpikir itu adalah Attar, tapi sebisa mungkin ia tepis. Ia tidak boleh terlalu berharap pada laki-laki itu. Apalagi mengingat surat yang ia temukan dalam buku Attar.
Saat Ceisya sedang asik dengan pikirannya, tiba-tiba terdengar sebuah suara membuyarkan lamunannya.
“Assalamualaikum.”
Ceisya mengangkat wajahnya. “Wa-Waalaikumsalam.”Ceisya terkejut saat Attar berdiri tak jauh darinya. Senyuman hangat dari Attar membuat hati Ceisya berdesir lembut. Ia sempat tak percaya, bahwa laki-laki yang sedang ia pikirkan, sekarang berdiri di depannya.
“Boleh duduk di sini?” Attar menunjuk tempat yang jaraknya tak terlalu dekat dengan Ceisya.
“Boleh, silakan.”
“Terima kasih.”
Ceisya tersenyum sebagai balasan. Sebisa mungkin ia menyembunyikan degup jantung yang berdetak kencang.Mereka terdiam cukup lama. Sibuk dengan pikiran masing-masing. Menatap hujan yang semakin deras.
“Kamu di sini juga?” tanya Attar memecah keheningan.
“Iya. Setiap minggu aku selalu ikut kajian rutin di masjid ini.”
Attar mengangguk-angguk sebagai jawaban.
“Kak Attar di sini juga? Biasa ikut kajian?”Attar tersenyum ramah. “Aku diundang untuk mengisi kajian minggu ini.”
Deg!
Ceisya mematung sesaat. Dugaan Ceisya benar. Ia terlihat salah tingkah.“Maaf, aku tidak tahu.”
"Enggak apa-apa.” Attar memandang Ceisya sekilas, tampak pipi wanita tersebut merona. Terlihat menggemaskan, bersamaan dengan desiran halus yang muncul di hatinya.
Attar mendadak mencari sesuatu. Meraba tubuhnya berkali-kali. Ceisya yang tak sengaja melihatnya pun bertanya.
“Kak Attar cari sesuatu?”
“Iya, ponselku di mana, ya?” Attar masih tampak kebingungan.
“Terakhir kali Kak Attar letakkan di mana?”
Attar memukul keningnya pelan. “Duh, aku lupa.”Ceisya tampak menggaruk tengkuknya yang tak gatal. Pasalnya ia pun tak tahu harus berbuat apa.
“Boleh pinjam ponselmu sebentar enggak?” Wajah Attar tampak memelas.
“Iya, boleh.” Ceisya meletakkan ponselnya di lantai. Kemudian, Attar mengambilnya. Ia langsung menekan nomor teleponnya dan menelepon nomornya.
Terdengar dering dari saku Attar, ia pun segera mematikan telepon.
“Terima kasih atas nomornya.” Attar tersenyum ramah dan mengembalikan ponsel milik Ceisya.
Namun, Ceisya membulatkan mata sempurna. Ia tak menyangka ini adalah modus Attar untuk mendapatkan nomornya. Meski di hatinya berbunga-bunga, tapi sebisa mungkin ia menyembunyikannya. Tidak menyangka sosok Attar bisa berbuat demikian.
Bersambung.
KAMU SEDANG MEMBACA
Di Antara Dua Pilihan
RomanceDi saat dua hati saling mencintai, lebih memilih saling menyakiti daripada mengungkapkan isi hati.