Tulang tulang

23 2 2
                                    

"Hari ini aku mendengarnya lagi." 

Suara parau terdengar jelas, namun terasa begitu jauh. Pilu senandungnya membuaiku untuk hanyut ke dalam perasaan pedih yang begitu mendalam. Sesak dadaku mendengar bait demi bait dinyanyikan. Senandung ini terasa bagai rintihan yang memintaku untuk menghentikan rasa sakit yang dideritanya. Terasa begitu lemah, rapuh, tak berdaya namun sekaligus mengoyak, menjerit dan memakiku untuk ikut ke dalam kematian.

                Senandung itu terus menghantui sejak kepindahanku ke sekolah ini beberapa bulan yang lalu. Rasa ingin tahuku akan sumber senandung itu seketika lenyap setelah aku menyadari bahwa hanya aku yang mendengarnya. Kubuang jauh-jauh niatan untuk mencarinya. 

Namun memang tugas setan untuk menghantui, hari ke hari, waktu ke waktu senandung itu memenuhi kepalaku. Aku mencoba untuk menhalaunya, kukenakan earphone dengan memutar musik kencang-kencang. Aku selalu berusaha memastikan kalau-kalau ada temanku yang mendadak mendengarnya juga, tapi hanya sorot mata benci yang kudapatkan. Sampai akhir-akhir ini kudengar mereka membicarakan tentang siswi baru yang gila dan selalu membicarakan hal mistis, dia agak dungu dan sering menggunakan earphone kencang-kencang.

itu bukan aku kan?

                Semakin hari kurasakan jarak semakin terbentang luas antara aku dan teman-teman kelasku. Mereka terasa seperti mengabaikan, mengacuhkan, dan tidak mengakui keberadaanku lagi disudut kelas ini. 

Aku mendengarnya!

Aku benci nyanyian itu! Suara memilukan yang sangat sedih. Siapapun tolong aku! siapapun percaya padaku! setidaknya buat aku tidak bisa mendengarnya juga. Aku terlalu takut untuk mendengarkan semua ini seorang diri. Tubuhku sudah lelah menghadapi hari-hari muram seperti ini. Aku ingin istirahat sejenak saja, aku ingin berbicara dengan teman-teman yang lainya..

"Aku-" bibirku terkatup, mataku melotot. 

"Aaaaah!" aku setengah teriak, bangkuku tanpa sadar kugertak hingga teman-teman kelas lainnya menatap dengan kaget. 

Aku tidak asal berteriak! aku melihat sesuatu!

"D-di sana!" tunjukku ke arah sudut kanan kelas. Teman-temanku melirik ke arah jariku menunjuk, mereka bertingkah seolah tidak melihat apa pun. Mereka menggeleng pasrah seakan aku ini memang indigo sinting.

Aku jelas-jelas melihat sosok itu, mataku dipenuhi ketakutan. Teman-teman kelasku kembali beraktivitas seperti semula, membiarkanku seorang diri menghadapi penampakan mengerikan ini.

Ada apa dengan orang-orang.. kenapa, kenapa hanya aku yang melihatnya?

Sosok itu menunduk hingga kepalanya menyentuh meja, rambut panjangnnya yang kering berserakan hingga ke lantai.  Punggungnya bungkuk dan bengkok, tangan-tangannya menggantung lemas seperti tak bertulang. Bajunya dilumuri darah dan sudah mengitam. Sosok itu bergerak dengan kaku seolah tulang-tulangnya patah, perlahan ia mendongak dengan sukar, lehernya sangat kaku. Ia nyaris menampakkan wajahnya sebelum akhirnya aku menutup mulut lalu berlari ke luar kelas tanpa sepatah kata pun.

Keringat dingin mengalir di sekujur tubuhku. Aku tidak akan peduli lagi dengan apa yang orang lain bicarakan! sekolah ini memang tidak beres! kakiku melesat sejauh mungkin dari kelas. Aku tidak bisa berpikir jernih! ini semua sudah diluar batas wajar! aku tidak bisa menahannya lagi, kepalaku pusing dan aku sungguh ketakutan. Aku tidak pernah mengalami hal seperti ini sebelumnya.

Sekolah ini terkutuk!

                Aku berhenti di depan tangga menuju lantai tiga. Aku terduduk dengan wajah pucat, keringat sudah membasahi kening dan juga punggungku. Napasku ngos-ngosan, batuk luar biasa terasa sakit akibat gerakan lari yang tiba-tiba.  Aku mencoba duduk di salah satu anak tangga, perutku sungguh mual dan aku ingin muntah. perasaanku sudah sangat tidak enak dan aku ingin segera pulang. Lorong menuju lantai tiga menjadi begitu sepi, padahal kulihat tadi ada beberapa orang siswa.

The Song Of The SilencedWhere stories live. Discover now