Seringkali hidup itu membingungkan.
Seperti saat ini, di mana seakan dunia benar-benar telah berpaling dariku. Mengoyak hatiku dengan cara memberikan bertubi-tubi hal mengerikan untukku. Dan terkadang membuatku mulai goyah tentang eksistensiku di dunia ini.
Aku bisa disebut sebagai manusia yang dipenuhi hal-hal yang biasa. Penampilan biasa, skill biasa, kepintaran biasa, bahkan eksistensiku di lingkungan sosialku pun juga amat biasa. Sudah merupakan hal yang biasa ketika aku dilupakan ataupun ditinggalkan. Karena tidak akan ada yang mengalami kerugian ketika meninggalkan orang biasa sepertiku.
Namaku adalah nama yang paling biasa yang akan selalu kalian temukan di lingkungan sekitar kalian. Lia. Ditambahkan satu kata lagi untuk nama belakang yang juga sangat biasa. Maryam.
Sejak SD aku sebenarnya anak yang cemerlang, selalu mendapatkan peringkat teratas tiap semester, ceria dan punya segudang teman. Ikut lomba-lomba dan menang. Masuk SMP pun begitu. Ceria, punya banyak teman, cantik dan pintar.
Semua hal buruk mulai terjadi ketika aku masuk ke SMA. Mungkin aku memang terlalu bodoh, terlalu idealis dan berharap bisa menghentikan semua tindak bullying yang terjadi pada teman sekelasku. Nyatanya, malah aku yang akhirnya kena bullying sampai kelulusan SMA.
Kalimat, "dunia itu kejam" diciptakan bukan tanpa makna. Aku tahu semua orang mengerti makna dari kalimat legendaris itu. Tapi, biarkan aku menceritakan bagaimana kejamnya dunia padaku.
Oke, aku dibully waktu SMA, tapi aku bukan anak lemah yang ketika dibully langsung berhenti dan merutuki diri. Aku belajar, dengan sangat keras. Mengejar segala hal yang kuimpikan sejak dulu, menjadi seorang mahasiswa yang ceria dan berharap mampu meratakan dunia dengan keadilan. Gila, karena aku berharap bisa masuk jurusan hukum di Universitas Indonesia.
Dunia yang kejam mulai terasa padaku, di mana aku berubah dari seorang cinderella menjadi upik abu. Mungkin sekarang istilah kerennya adalah glow down. Dari seorang yang ceria, cantik dan baik hati, aku malah menjadi manusia pendiam dengan wajah yang buruk rupa. Hal itulah yang membuat aku akhirnya dibully dengan fisikku.
Seakan belum cukup puas, dunia kembali menghukumku dengan keadaan keluargaku. Tidak seperti cerita klasik di novel ataupun film, di mana si tokoh utama yang awalnya merupakan orang kaya raya lalu jatuh miskin dan mengalami kehidupan yang mengerikan. Maaf, tapi kehidupan keluargaku jauh mengerikan daripada itu.
Kedua orang tuaku merupakan guru di sekolah yang berbeda, dan tentu saja sebagai anak pertama, aku adalah harapan mereka dalam segala hal. Aku, yang terlahir sebagai anak penurut, tentu saja mengupayakan segala cara untuk memenuhi segala ekspektasi mereka. Lelah karena harus terus mengejar ketertinggalan demi memenuhi segala harapan mereka, ternyata ada hal yang lebih mengerikan yang terjadi.
Ayahku sejak awal bukanlah orang yang selalu bertutur kata manis, sedangkan ibuku sejak baru menikah adalah korban dari kekejaman dunia yang lainnya. Mereka berdua menikah, bukannya menjadikan dunia semakin indah. Mereka menikah untuk saling menyakiti satu sama lain. Yang satunya dengan pemikiran boomernya, dan yang satunya hanya ingin keluar dari penjara yang dinamakan sebagai kandang untuk para korban dari pernikahan yang tidak diinginkan.
Persiapkan diri kalian, karena part terserunya berada setelah ini.
Kelas 3 SMP adalah saat di mana aku untuk yang pertama kalinya benar-benar terjatuh sangat dalam, di mana aku bahkan sampai sekarang ingin merusak memoriku tentang kejadian yang ada pada waktu itu. Aku yakin apapun yang akan kukatakan saat ini, jika ayahku membacanya, beliau akan membunuhku. Ayahku orang yang overprotective dengan segala hal miliknya, bahkan kepada kami, anak dan istrinya. Jadi, merupakan hal yang wajar menemui ayahku mengotak-atik handphone ibuku ataupun aku dan adikku.
Sore itu, ketika aku baru terbangun setelah kabur dari segala penat dan stress yang kualami seharian di sekolah, ayah dan ibuku sudah bertengkar karena ayahku mendapati sms dari seorang teman ibuku yang mengatakan bahwa ia merindukan ibuku. Mereka bertengkar sangat hebat di depan kakek dan nenekku hingga ibuku malam itu pergi dari rumah. Meninggalkan aku dan adikku bersama ayahku di rumah.
Malam itu merupakan malam yang paling mengerikan dalam hidupku, pertama kalinya aku tidur dengan perasaan begitu mengerikan. Perasaan yang tidak dapat dideskripsikan karena begitu mencekam. Aku sangat takut ibuku tidak akan pernah kembali lagi menjemput kami, aku takut tidak akan pernah lagi melihat ibuku sampai kapanpun.
Setelah kuingat ingat lagi hal itu, aku berharap itu terjadi saja dulu. Seharusnya mereka berpisah saja sejak lama, dibandingkan mempertahankan hal yang benar-benar sudah rusak. Mereka bersikeras menempel pecahan kaca itu dengan lem dan menyusunnya pelan-pelan, demi melihat kami, anaknya sukses.
Kehidupan pernikahan mereka berlanjut tanpa perasaan bahagia di dalamnya. Keadaan makin kacau, terlebih ayahku tambah menjadi untuk menekan ibuku pada perasaan bersalahnya, meski semua tahu bahwa itu bukan salah ibuku. Sebenarnya dalam 1 tahun setelah SMA, semua berjalan sangat lancar, bahkan terlalu lancar, sampai kurasa waktu itu hanya mimpi belaka. Mereka sangat jarang bertengkar, bahkan mensupport satu sama lain.
Aku sendiri masuk kuliah kedokteran di salah satu universitas negeri di daerah Jawa Timur dari jalur SBMPTN. Hal yang patut dibanggakan, sebelum akhirnya aku menyadari bahwa aku hanyalah korban yang sebentar lagi akan dibuang.
IPK-ku tidak bisa disebut aman, karena di semester paling awal pun aku hanya mendapat 2.43, yang mana merupakan angka yang sangat kecil. Masuk ke semester 2, IPK-ku turun ke angka yang jauh lebih kecil, 1.6. Mengerikan karena pada semester 3 IPK-ku menjadi 1.83.
Aku sebenarnya bingung juga, kenapa IPK yang susah susah kuperjuangkan malah stuck di tempat yang sama. Aku membenci kehidupanku, membenci duniaku, membenci diriku sendiri yang tidak mampu mengikuti arah perputaran dunia.
Belum selesai sampai di situ, semester 3 pembelajaran dilakukan penuh di rumah, membuatku terkurung dengan keadaan rumah yang sangat parah. Ayahku kembali menekan ibuku, ibuku membantahnya tidak terima, sampai puncaknya ketika akhir semester 3 mereka bertengkar dengan sangat hebat. Aku, yang awalnya merupakan anak penurut yang cengeng dan akan berlari masuk kamar sendiri untuk menangis, pada waktu itu dengan penuh kekesalan, karena merasa sangat stress dengan semua hal yang menimpa diriku satu demi satu, berteriak sangat kencang. Untuk pertama kalinya, kepada ayahku.
Aku dan ayahku punya sifat yang sama, ego yang tinggi dan gengsi yang juga tinggi. Kami berdua tidak mau kalah dan berakhir melukai masing-masing orang. Tidak sampai di situ, kedua orang tuaku bercerai dan berdampak pada kami semua. Tidak ada yang makan, sampai aku rasa aku kembali menderita demam tiphoid yang tidak kuhiraukan saking stressnya.
Belum lagi ujian yang menumpuk dan aku harus lulus dalam semua ujian karena aku sudah terancam di-DO. Pada akhirnya mereka kembali rujuk dan aku kembali ke perantauan karena kuliah offline. Ujianku tidak ada yang lulus. Bahkan mentalku benar-benar sudah pada akhir dari kemampuannya di awal semester 4.
Aku menjalani kehidupan mahasiswa semester 4 dengan penuh stress, ditambah mengetahui bahwa di kampung halamanku, kembali banyak hal yang terjadi. Pertengkaran yang membuat ibuku kabur membawa adikku menuju ke rumah kakek dan nenekku, itu terjadi sudah 2-3 kali dalam waktu 4 bulan ini. Seperti yang kukatakan di awal tadi, aku lebih memilih melihat mereka berpisah dahulu dibandingkan harus mengelem satu persatu pecahan kaca yang bahkan potongannya tidak cocok satu sama lain.
Di akhir semester 4 akan ada evaluasi untuk menentukan DO. Mungkin kalian berpikir, dengan IPK serendah itu aku pantas dibuang dari FK. Tapi sebenarnya, aku dan teman-temanku hanyalah korban. Korban dari keambisiusan para petinggi FK untuk mempertahankan akreditasi kampus kami yang sudah A.
Mereka mungkin lupa, bahwa mahasiswa juga merupakan manusia yang baru saja keluar dari kehidupan orang tua mereka. Mereka semua lupa, betapa kerasnya para mahasiswa bertahan, berupaya mempertahankan nilai mereka. Mereka tidak pernah peduli bagaimana kita, para mahasiswa sampai pingsan, bahkan untuk mempelajari ujian yang jumlah soalnya hanya 100 dan merupakan penentu kelulusan.
Yang mereka pedulikan, jika kita mendapatkan nilai atau hasil di bawah C, itu menandakan usaha kita sangat kurang dan tidak cocok menjadi mahasiswa FK.
Kalian tahu apa yang lebih lucu dari itu?
Kami tidak diberikan surat DO dan dipaksa untuk mengundurkan diri agar berita kami DO tidak menurunkan reputasi fakultas.
Lucu karena kemungkinan yang akan mendapatkan itu aku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dirty Little Secret
Randomkisah ini memang mengisahkan diriku sebagai mahasiswa kedokteran, tapi bukan cerita yang sangat menarik bak para mahasiswa lain yang sangat pintar dan bisa bertahan. kisahku, mengenai hal terburuk yang akan terjadi padaku. bagi kalian yang membaca c...