Trial.

317 22 5
                                    

Derai tawa mengalun, derap kaki pun ikut penuh di kepala, tetapi masih bergeming; menatap kosong dunia sekeliling. Dingin lebih mendominasi saat ini, karena waktu tidak lagi pada suhu hangat; menjelaskan bahwa sudah terlalu larut—hingga detik entah ke berapa, pertahanannya roboh.

Ini terlalu banyak, terlalu penuh untuk dia yang belum sanggup menanggung. Tawa hambar keluar begitu sakit dari bibir kering juga terkelupas, entah orang peka atau tidak, pastinya mereka tidak peduli akan hidupnya yang di ambang sepi.

Ingin berlari, ingin pergi jauh dari dunia yang buat lemah, tapi tungkai terlalu lemas; tidak kuat menahan berat beban tubuh sendiri.

Menunduk, menatap hitam aspal kuyup diguyur hujan. Setidaknya ada yang menemani, walau sesaat.

"Hei, Anak Muda, setidaknya berteduhlah!" Pendengarannya ia buat tuli saat mendapat sebuah peringatan dari wanita di halte; menyuruh berhenti, bukan bermaksud untuk tidak sopan, tetapi memang keras kepala.

Terus menembus air yang berjatuhan dari langit, tak peduli bahwa kepala mulai berdenyut sakit, yang ia harapkan setelah ini adalah; sakit pada dada juga seluruh kesakitan akan lenyap dari scenario hidupnya.

"Tolong, jemput aku, Tuhan ...." Lirih, akhirnya tubuh itu tumbang ditengah derasnya air hujan.

***

Mata bergerak dalam kelopak yang masih tertutup, tak lama kemudian perlahan terbuka, menampilkan manik sewarna lelehan cokelat susu. Pemiliknya mengerjap, menyesuaikan diri dengan cahaya; berbondong-bondong masuk ke dalam pengelihatan.

"Oh, sudah siuman. Syukurlah."

Menggulirkan hazelnya pelan ke arah di mana suara seseorang, sedang berdiri di samping dengan tangan kiri mendekap papan laporan; sesekali onix legam bergerak pun tangan kanan mencatat sesuatu di kertas laporan kesehatan yang ia pegang.

Selesai. Lelaki berpakaian serba putih mengalihkan perhatian pada yang terbaring di ranjang, menarik senyum ramah. "Apa yang Anda rasakan setelah dua hari tidak sadarkan diri?"

Sedikit terkejut, mulai menggerakkan katup bibir kering susah payah. "Du-dua hari?" Bahkan, suara pun hampir tak mampu keluar dari tenggorokan.

Anggukan didapat. "Selama itu pula, Anda selalu dapat serangan kejang setiap setengah jam."

Apakah semenyedihkan ini?

Hanya ingin pergi, tetapi mengapa Tuhan tidak mau mengulurkan tangan?

Lambaian membuyarkan lamunan, maka kembali menatap si Pelaku seraya berekspresi antara hidup dan mati. "Kenapa aku di sini?"

"Jatuh di pinggir jalan. Orang-orang di sana membawa ke sini. Ah, nama Tuan siapa? Karena kami tidak menemukan identitas apa pun mengenai Anda."

Kini bibir itu terkunci, menolak memberi informasi. Sebelah alis tebal terangkat, menunjukkan kalau menunggu, namun tidak kunjung mendapat sahutan.

Ketukan di pintu menginterupsi keduanya. Satu kepala muncul, beri senyum tak enak. "Um, permisi. Maaf mengganggu, Perawat Jeon. Anda dipanggil Dr. Kim untuk segera membantu beliau menangani pasien di ruang operasi, sekarang."

Hampir lupa.

"Baiklah, terima kasih, Perawat Park." Yang disebut mengangguk. "Ah, saya pamit dulu. Lekaslah pulih, Tuan Tanpa Nama." Sunggingkan senyum tulus, bergerak meninggalkan sang Pesakitan yang terdiam dengan hati mati rasa.

+


+
+
+

To Be Continued?

.
.
.
.
.
.
.

Sebenernya ini cuma iseng, moodku lagi bagus untuk buat yang maybe, angst? Oh, seriously, I didn't know if this would feel off or not, cuma ✋aku gatel banget pengen buat. 🙃

Please, support me! 🙏

Okay, ini awal percobaan aja. Kalau banyak yang respon, aku janji bakal nerusin. 😗

Untuk update, kayaknya, bakal ngaret. Hehehe biasalah /gampar.

See you next chapter, Guys! 😗👋🏻

𝚀𝚄𝙸𝙴𝚃 - 𝙺𝚅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang