“Terlalu kuat, hingga semua menganggap bahwa baik-baik saja. Padahal, di balik itu–ialah yang paling hancur tak bersisa hanya demi menutup lubang menganga di dasar hati. Terlihat hidup di luar, namun mati di dalam.” -QUIET-
-
-
-
-Terbiasa sendiri, terbiasa sepi, hidupnya memang begini. Harusnya Tuhan tidak menurunkan dia ke dunia, tidak beri nyawa untuknya kalau pada akhir sakit yang mengikuti. Tak tahu tujuan di sini apa, terlalu rumit untuk dijelaskan oleh suara pecah di pangkal tenggorokan.
Hazelnya menatap tirai putih transparan dengan pancaran kosong, bergerak pelan mengikuti ke mana angin luar membelai sang Tirai Putih. Wajah indahnya masih tidak menunjukkan tanda-tanda berseri, tidak ada rasa ingin hidup sama sekali.
Jadi, untuk apa bertahan?
Orang berjas putih kemarin kembali datang, berdiri di samping kiri; mengecek kondisi tubuh kurus di atas ranjang pesakitan, tampangnya masih ramah; mengucapkan selamat pagi juga disertai senyum kelewat lembut, namun tetap tidak dapat respon baik dari pemuda ringkih di sana.
Apa yang buat dia seperti ini?
Hanya saja pertanyaan itu tidak sanggup dikeluarkan, takut terlalu lancang. Lagipula, tidak mengenal secara jauh sang Pasien.
"Sudah lebih baik?" Perawat lelaki ini bertanya, menarik senyum, diikuti tangan besarnya menekan nadi; kembali mengecek tekanannya. "Ya, kurasa lebih baik dari hari kemarin." Dia melanjutkan dengan suara kecil. Diletakkan lagi pelan-pelan lengan kurus di samping tubuh, takut sekali menyakiti apabila kurang hati-hati.
-
-Jeon Jeongguk, seorang perawat di salah satu Rumah Sakit Daerah Daegu, ditugaskan untuk menjaga sekaligus mengecek keadaan pemuda malang yang beberapa hari lalu jatuh pingsan di atas kursi rodanya saat dirinya membiarkan tubuh itu basah kuyup oleh air hujan—seolah-olah ingin bunuh diri sendiri.
Hati Jeongguk saat itu terasa diremas kuat-kuat oleh tangan tak kasat mata, dia beku di pijakannya, sampai harus disadarkan oleh teman seprofesi di sebelah kanan agar cepat bantu.
Mata legam terus fokus pada wajah pucat yang terbaring di brankar kala itu, menatap iba sosok basah pemuda rupawan bak Aphrodite yang sampai sekarang belum juga beri tahu namanya. Lalu beberapa Dokter masuk untuk menolong, dibantu Jeongguk sendiri tentunya, lelaki tampan itu sempat dibuat tegang saat tiba-tiba tubuh kurus mengejang hebat, dan para Dokter langsung beri pertolongan pertama, tak lama kemudian dia kembali tenang; diam-diam menarik napas lega.
"Aku rasa dia memiliki masalah pada beberapa fungsi di tubuhnya."
Jeongguk bungkam saat perkataan yang terlontar pelan dari Dokter bernama Kim Hyun Joong—pria itu menatap hasil CT Scan di tangan rumit—alisnya mengerut tipis, setelahnya meletakkan laporan kesehatan di atas meja—Jeongguk masih diam di tempat dia berdiri, tetapi tangannya bergerak terulur mencapai benda hasil ronsenan si Pemuda Malang—menarik kursi; duduk dengan embusan napas kecil. "Perawat Jeon, aku boleh minta tolong sesuatu padamu?"
Yang disebut menggulirkan onix ke arah suara berat, bertemu pandang dengan mata milik pria yang menjabat sebagai Dokter. "Apa itu, Dok?"
Senyum terbit, menegakkan diri di tempatnya duduk—yang semula bersandar—Kim Hyun Joong berkata; "Bisa kau jaga dan rawat dia? Perlu kau tahu, mental anak itu sedikit terganggu, aku berkata begini karena sebelumnya pernah kulihat ingin mencoba bunuh diri dengan cara menjatuhkan dirinya ke sungai. Waktu itu juga aku segera menolong, tapi dia pintar lolos—tentu saja kau tahu bagaimana selanjutnya, 'kan?"
Ah, dia ingat.
Dua pekan yang lalu Jeongguk sempat melihatnya saat kebetulan lewat dan menemukan Kim Hyun Joong sedang bersama seseorang di tepi sungai. Sepasang onix gelapnya menangkap dua orang tersebut sedang ribut, tak lama setelah itu, Jeongguk dibuat terkejut karena pemuda berambut cokelat mendorong Kim Hyun Joong menjauh sambil terisak, lalu buru-buru menggerakkan roda di kursi, ingin cegat tapi terlambat, anak itu sudah hilang di belokan.
Mengernyit heran, kenapa bisa pemuda itu pergi dengan cepat memakai kursi rodanya?
Jeongguk mengangguk tanpa pikir dua kali. "Aku akan menjaganya."
Kim Hyun Joong tarik kedua sudut bibir, bentuk kurva lega di wajah yang masihlah tampan di usianya keempat puluh satu tahun.
-
-"Jadi, masih tidak mau memberitahu namamu?" Sekali lagi Jeongguk mengulang pertanyaan yang sama, dan berulang kali dapatkan bibir pucat itu tak bergerak; masih asyik menatap tirai jendela. Sejujurnya dia sedikit banyaknya kesal, hanya saja Jeon Jeongguk ini haruslah ekstra sabar menghadapi pasiennya itu. "Baik, aku menyerah." Jeongguk angkat dua tangan, menatap wajah tersebut nelangsa.
Memilih mundur satu langkah ke belakang, bersiap untuk pergi dari sana, tetapi siapa sangka, telinga Jeongguk menangkap suara pelan sang Pasien menggumamkan dua kalimat yang buat Jeon Jeongguk berbalik; menatap penuh pada seonggok manusia di atas kasur tempatnya berbaring.
"Taehyung, Kim Taehyung."
Oh, nama yang sempurna untuk dia yang memang keterlaluan indahnya.
Jeongguk akui itu.
"Ingin tahu namaku?" Beri senyum, Jeongguk terdiam sejenak kala mata pemuda tersebut mengarah padanya, menatap kelewat hampa dan itu sukses buat dada perawat lelaki sesak.
"Tidak."
Aish, uluh hatinya tersentil entah kenapa.
Suaranya halus, namun agak berat buat Jeongguk tidak lagi berani bertindak; takut melukai yang lainnya. "A-ah, baiklah aku tidak memaksa. Kau sudah beritahu namamu saja sudah syukur."
Hari itu juga, Jeon Jeongguk berharap pada Tuhan bisa membuka hati pemuda manis, agar dia dapat menyembuhkan luka-luka di sana dan sekaligus menutup dengan cara yang paling bisa pemuda Kim terima.
+
+
+
+To Be Continued.
Hadeuh, aku suka banget suara Namjoon di lagu Bicycle! 😭😭
Serius, adem banget dengernya. 🥺
Ini lagu kedua terfav setelah 4 O'clock bagi aku, ya. 😘
Yudah kalo gitu, bye~See you next chapter, Guys! 😗👋🏻
KAMU SEDANG MEMBACA
𝚀𝚄𝙸𝙴𝚃 - 𝙺𝚅
FanfictionSummary: Aku bertahan pada luka yang mereka bilang, 𝘛𝘢𝘬𝘥𝘪𝘳. -KookV. -YoonMin. -M-preg. Ini BxB, ya. Jangan jadi pembaca gelap yang nggak tahu diri. Start on Wattpad: 01-06-2021.