Hal-Hal Yang Disembunyikan

121 41 7
                                    

Aku dibawa ke kolam di halaman belakang. Penjaga Toko bilang, aku tidak boleh melempar koin, maka kuserahkan koin pada Altan.

Altan melempar ke dasar kolam, sejurus kemudian muncul bayang-bayang rumahku di Bumi. Rasanya seperti menonton televisi. Selama tayangan berlangsung, Altan berdiri di belakangku, memberi privasi yang cukup tanpa melepasku dari pengawasannya.

Suasana fisik rumahku tidak banyak berubah. Pada dasarnya, rumahku memang reyot, tapi setelah aku meninggal semuanya makin berantakan. Kamar mandi ibu punya kran yang tidak bisa dikunci, dulu tidak begitu, sekarang air terus mengalir tanpa henti ke bak.

"Adikku mana?" kutanya pada Altan, "bagaimana cara ganti tayangan?"

Altan menarik nafas berat, mendekati kolam kemudian menyapukan jemarinya di permukaan air. Tampilan di permukaan pun berubah, sekarang menampilkan sosok adikku yang berdiri mematung dengan tatapan hampa di dapur restoran tempat kerja.

Mataku membeliak melihat penampilannya yang pucat. Tulang selangkanya tercetak jelas di balik kulit, kantung mata gelap menggantung di bawah mata, permukaan kulit punggung tangannya pecah-pecah.

Gambaran dalam tayangan kolam berubah. Jam kerja adikku sudah selesai, sekarang ia dalam perjalanan pulang, matahari masih menggantung terang di langit saat ia naik bus.

Mariam tidak menuju rumah, jalur yang diambil oleh bus ini berbeda. Di tengah jalan, Mariam mengeluarkan secarik kertas bertuliskan alamat. Aku ingat alamat itu, alamat yang Ayah berikan saat aku meneleponnya sebelum mati, itu alamat rumahnya. Jantungku bertalu-talu saat sadar dia masih meneruskan pencarian Ayah sendirian.

Kuperhatikan lagi tangannya dan aku sadar, Mariam ambil lebih banyak jam kerja dan cuci lebih banyak piring untuk beli tiket kereta.

Bus berhenti di halte stasiun kereta, Mariam turun tergesa-gesa. Kakinya mulai berlari ke loket, ia memesan satu tiket, lalu menunggu dengan gelisah sampai akhirnya pengumuman keberangkatan datang.

Perjalanannya menyita perhatian Altan juga, kurasakan ia bergerak menghampiri kolam. Sekarang, kami bersisian mengawasi Mariam.

"Berapa lama orang tua kalian menikah?" Altan memecah keheningan.

"Uh... nggak tahu. Aku nggak ingat banyak, yang jelas ayah pergi saat usiaku... dua belas tahun."

"Bagaimana mereka bertemu?"

"Nggak tahu, ibu nggak cerita banyak." Aku mengalihkan pandangan pada Altan dan mendapati dedaunan jatuh menimpa helai putih rambutnya.

Di Bumi, Mariam sudah tiba di tempat tujuan. Ia membaca alamat di kertas lalu mencocokkannya dengan peta yang baru saja ia beli dari kios koran.

"Tahu adikmu mau kemana, Hall?" Altan menyikutku.

Aku menggeleng, hanya bisa memperhatikan bus kota membawa adikku meninggalkan stasiun.

Bus membawanya ke daerah pinggir kota, suasananya lebih sepi dan terkesan lebih domestik. Ibu kota tempat kami tinggal selalu penuh polusi dan kendaraan lalu-lalang, di sini lebih lengang. Pertokoan berjejer di sepanjang jalan, didominasi oleh usaha menengah yang biasanya dikelola perorangan.

Kendaraan berhenti di halte, lokasinya membuatku menjengit heran. Halte pemberhentian ini berdiri tepat di depan komplek biara. Mudah mengenalinya karena kubah menjulang tinggi melampaui dinding yang mengelilingi area. biara dikelilingi tembok yang ditumbuhi tanaman rambat, hal itu membuatnya nampak terlindungi tanpa terkesan dingin.

Adikku berhenti sejenak di halte, ia merogoh tas untuk mengeluarkan benda lain. Aku melongok lebih dekat ke kolam dan melihat foto orang tua kami di tangannya.

To You, For A Thousand YearsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang