"Kak Lino~ sibuk gak Sabtu nanti?"
Minho yang tengah mengetik—yang sayangnya bukan paper yang batas pengumpulannya setengah jam lagi karena sudah selesai mengerjakannya sejak hari pertama diberikan—menghentikan gerakannya dan menoleh ke arah Changbin. Menatap Changbin dengan siaga, karena tidak mungkin manusia ini tidak membawa masalah kalau nada bicaranya kelewatan ceria begitu.
"Ngaku lo, mau nyeret gue ke masalah apa lagi ini?"
"Demi Tuhan Kak Lino, gue cuma mau ngajakin makan doang."
"Musyrik percaya sama omongan lo."
"Segitu hinanya gue di mata lo, Kak," protes Changbin dan berjalan mendekati meja Minho. Melihat aplikasi Notion yang menampilkan nomor bab yang diikuti dengan judul serta di bawahnya beberapa paragraf yang membuatnya mendadak pusing. "Kak, sumpah deh, mendingan lo harusnya masuk Sastra gak sih daripada masuk Teknik Geologi."
Minho langsung menutup layar laptopnya dengan cepat dan Changbin yang merasa kasihan dengan benda tersebut. Meski kepalanya merasa laptop tersebut kuat sekali mentalnya karena dianiaya oleh Minho yang tidak peri kelaptopan. Namun, kemudian Changbin mengaduh karena dipukul oleh Minho dengan sekuat tenaga.
"Kak Lino, lo ada dendam apa deh sama gue sampe niat betul mukulnya?"
"Udah gue bilangin juga, jangan lihat gue lagi ngetik! Itu komisian weh!" Minho menatap Changbin, kesal. "Mana tiap cerita gue ditatap sama lo pasti gak ada yang selesainya. Anjir ajalah ini kalo gak selesai, satu juta weh duitnya!"
"Kok ada ya orang tidak pake otak bayar lo mahal untuk nulis cerita idola yang gak tahu eksistensi fansnya."
"Ini namanya penghargaan seni ya!"
"Gak usah ngegas juga, Kak. Inget harga skincare anti aging mahal."
"Apa gunanya gue temenan sama lo kalau kaga bisa dijadiin ATM, Bin?"
"Bangsat." Changbin kemudian tertawa dan melihat Minho kembali membuka laptopnya.
Tanpa melihat, sebenarnya Changbin juga tahu kode untuk membuka laptopnya Minho. Luarnya bolehlah laptopnya terlihat ketinggalan jaman dan berat, isinya banyak harta karun. Alias terlalu banyak delapan belas ke atas eksplisit dan kalau Changbin manusia yang tahan membaca, sepertinya dia bakalan menjadi manusia paling beruntung lantaran orang-orang harus membayar untuk mengakses konten tersebut.
Sayang saja minat literasi Changbin rendah, kalau tidak ada angka atau grafik yang ikut berada di bacaannya mana bisa dia fokus membacanya.
"Kak Lino, ini serius gue nanya lo Sabtu ada waktu gak?"
"Hmm."
"Yaudah ntar gue kasih alamat sama nomor mejanya ya."
"Bayarin."
"Jangan remehkan ATM gue, Kak."
Minho tidak mengatakan apa pun dan kembali fokus kepada tulisannya, Sempat mendengar Changbin pamit karena katanya mau bertemu dengan temannya—entah yang mana karena manusia yang satu itu literal tiap tikungan ada temannya—dan Minho akhirnya merasa tenang. Setidaknya dia bisa menyelesaikan tulisannya sebelum tenggat waktu karena butuh modal untuk mencetak prototype fanbook serta membayar tempat jilid laporannya yang setebal dosa.
Tiga ratus lima puluh sembilan halaman untuk laporan komprehensif dan ada tiga rangkap yang berada di tempat penjilidan. Mana kampusnya dengan tidak tahu dirinya meminta kertas dengan ketebalan 80 gsm yang membuatnya harus ekstra keluar uang dan keluar tenaga mengangkutnya ke tempat penjilidan.
Sementara itu, Changbin hanya bisa cengegesan saat Bangchan melihatnya dengan tatapan tidak yakin. Kalau untuk yang satu ini, Changbin tidak berani bohong banyak-banyak, takut mental kalau sudah diamuk Bangchan.
Meski belum pernah kejadian diamuk sih sejauh ini.
"Kak Chan, beneran temen gue butuh riset soal pertanyaan psikologi apalah itu." Changbin berusaha berakting senatural mungkin karena Bangchan itu paling jeli melihat seseorang berbohong atau tidak saat berbicara dengannya. "Jadi temen gue ini penulis, tapi bukan penulis yang bukunya nongkrong di toko buku meski kemampuannya sampai. Oke, kita jangan bahas alasannya kenapa, tapi intinya dia lagi butuh inspirasi soal jatuh cinta gitu."
"Dia bisa cari pacar kalau mau."
"Nah ini masalahnya, Kak!" Changbin menepuk tangannya sekali dan Bangchan menatapnya dengan sebelah alis terangkat. "Ini orangnya gak pernah lama kalau jatuh cinta. Kek ... hari ini dia naksir banget, besoknya udah bilang gak merasa apa-apa."
"Oh, itu namanya fling doang. Biasalah."
"Tapi kerjaannya nulis romance, aneh bangetlah."
"Tidak semua hal di dunia ini harus dia alami untuk bisa dituliskannya." Bangchan tersenyum. "Ada namanya imajinasi dan dia mungkin menggunakan itu."
"Antara pakai imajinasi, bacain cerita orang atau baca paper psikologi tentang cinta." Changbin menjelaskan, masih berusaha membujuk Bangchan untuk mau masuk ke dalam rencananya. "Beneran, Kak, cuma perlu datang pas hari Sabtu ke alamat yang gue kasih. Sisanya gue atur, termasuk yang bayarin makannya."
"Bin, aku enggak bisa, ada urusan."
"Urusan beneran atau cuma mau datang ke rumah mantan buat melihat dalam diam?" Changbin bisa melihat Bangchan yang selama beberapa saat senyumannya tidak membuat matanya menyipit seperti biasanya.
"Ke kafe, Bin, bukan ke rumah mantan."
Changbin tahu kalau omongannya dianggap salah, tetapi jelas dirinya tidak mau disalahkan. "Gue enggak salah ngomong, di atas kafenya emang rumahnya dia."
Bangchan hanya tersenyum, karena sudah menduga Changbin akan mengatakan hal itu. Bukannya tidak tahu maksud sebenarnya Changbin sejak awal, tetapi menurutnya ada hal yang perlu diluruskan. Meski rasa-rasanya tempat pertemuan mereka yang sepi ini tidak mungkin akan sampai kepada mantan pacarnya.
"Kamu daripada mengurusi hubunganku, gimana kamu dengan Felix? Sudah dikasih restu sama Om belum?"
"Kak, jangan gini juga bales gue dong." Protes Changbin. "Pundung ini gue kalo inget dicuekin sama bapaknya Pilix."
Bangchan hanya tertawa pelan mendengarnya. Tentu pada akhirnya Bangchan tidak mau pergi meski sudah dibujuk oleh Changbin sedemikian rupa. Masalahnya, Bangchan lupa memperhitungkan tentang Felix dan dirinya memang paling lemah berurusan dengan sepupu jauhnya ini.
"Halo Changbin." Bangchan menelpon pada Jumat malam, lalu menghela napas panjang. "Kamu memang seharusnya aku pernah toyor sekali selama mengenalmu."
"Hehehehe ... besok datang ya, Kak."
KAMU SEDANG MEMBACA
The Art of Love | Banginho
Fanfic"Jika kamu mudah jatuh cinta, bagaimana caramu memilih seseorang yang tepat?" Bangchan dan Minho hanyalah dua orang yang tidak saling mengenal, sampai Changbin dengan isi kepalanya sangatlah random (yang seringnya berbahaya) meminta keduanya untuk b...