"Ujan, tolong dong foll up lagi yang dari Pak Dodi kemarin. Orangnya rewel banget maunya sama lo padahal udah gue jelasin kalo bukan lo lagi yang megang." Miranda tau-tau sudah berdiri di depan meja kerja gue sambil membawa sebuah bundel kertas yang gue yakin akan jadi tugas gue selanjutnya.
Gue terima berkas yang dia pegang, "pesona gue nggak main-main makanya mereka maunya gue yang pegang." kata gue penuh percaya diri.
"Lagian ya, Jan, lo kenapa minta pindah posisi segala coba padahal udah bagus lo nempatin posisi gue. Kalo klien telfon pasti yang dicarinya elo."
"Gue ngambek waktu itu sama GM, akhirnya minta pindah posisi." Jawab gue seadanya.
Miranda tertawa mendengar jawaban gue. "Emang lo doang kayaknya yang bisa kaya gitu sama bos."
"Yaudah ini gue coba telfon Pak Dodi buat diskusi sama ngasih paham biar nggak nyari gue terus."
"Makasih, Jan. Emang lo temen gue paling baik."
"Baru tau lo?"
Miranda kembali ke meja kerjanya, sedangkan gue harus menyelesaikan tugas yang sebenarnya bukan menjadi tanggung jawab gue ini.
Cukup lama gue mencapai kesepakatan dengan Pak Dodi yang ternyata sangat bebal dan banyak mau. Harus banyak sabar gue menghadapi klien seperti dia. Karena hal itu bikin gue melewatkan jam makan siang dan baru bisa mengisi perut keroncongan saat jam dua. Beliau sama sekali nggak mengijinkan gue untuk makan siang dulu. Banyak sekali umpatan yang gue tahan dari tadi. Tangan gue sampai gemetaran karena menahan lapar. Miranda dari tadi berulang kali meminta maaf karena melimpahkan tanggung jawabnya pada gue.
Gue mutusin buat pesen gofood saja karena rasanya gue nggak sanggup jalan kaki. Untung saja gue juga nggak perlu capek-capek ke bawah buat ngambil orderan makanan karena sudah dibawakan sekalian sama Bunga yang kebetulan dari luar.
"Kelaperan, Neng?"
Gue hanya melengos sambil melanjutkan makan tanpa membalas ucapan Nathan. Cowok itu sedang bikin kopi.
"Gue liat story lo kemarin galau terus. Nggak kelar-kelar tuh masalah."
Dia ini menghilangkan nafsu makan gue aja. Eh tapi untungnya makanan gue udah habis. Setelah cuci tangan gue kembali duduk membiarkan Nathan menunggu jawaban gue.
"Menurut lo, mending putus atau lanjut? Gue takut nyesel kalo ngambil keputusan gegabah." Tanya gue pada Nathan yang sedang menyeruput kopinya.
Hubungan gue sama Devan nggak menunjukkan adanya kemajuan. Dia masih suka ngilang mendadak bahkan pernah sehari dia benar-benar nggak ngasih kabar. Gue yang waktu itu kesal tanpa pikir panjang langsung blokir semua sosial medianya. Ya, meskipun gua cuma bisa tahan sehari. Bukannya berubah dia masih menjadikan kata maaf sebagai akhir diskusi.
"Lo yang ngejalanin, hati lo yang tau maunya gimana. Tapi gue rasa udah kelewatan sih. Berapa kali lo berdua ribut terus nggak nemu titik terang dan akhirnya kelar hanya dengan ucapan maaf dari doi lo?" Melihat gue berpikir membuat Nathan kembali melanjutkan sabdanya, "Dia terlalu fokus sama dunianya disana sampe kadang lupa kalo lo juga nunggu kabar dari dia. Gue liat lo juga gampang luluh jadi dia nganggap enteng.'
Benar juga. Hati gue tuh gampang luluh sampai dulu gue sering banget disakitin dan dimanfaatin sama cowok. Ucapan Nathan bikin gue mikir, apa emang udah waktunya gue udahan sama Devan. Tapi udahan bukan solusi dari semua masalah. Gue nggak mau ujung-ujungnya gamon.
KAMU SEDANG MEMBACA
UNCONDITIONALLY
ChickLit"Jadi pacar pura-pura gue mau, nggak?" Konyol. Harusnya pertanyaan itu nggak boleh keluar disaat gue masih menjalin hubungan dengan seseorang. Namun, persetujuan dari cowok di depan gue justru malah membuat semuanya terlihat lucu dan nggak masuk aka...