Twenty Two

1.2K 157 17
                                    

Bunyi lonceng yang dihasilkan dari pintu cafe yang terbuka saat itu membuat pandangan Rose beralih. Kedua tangannya bertaut di atas gaun selutut yang ia kenakan ketika pandangan itu bertemu dengannya. Pun dengan Jimin yang memilih untuk berjalan mendekat setelah menghela nafasnya. Menempati kursi kosong yang berhadapan dengan Rose.

Keheningan sempat melanda keduanya, sebelum helaan nafas yang Jimin keluarkan kembali memecah keheningan itu kembali.

"Apa yang ingin kau katakan? Kau bilang ada yang ingin kau katakan padaku."

Memang benar, setelah beberapa minggu ini tak lagi berhubungan, Rose memberanikan dirinya untuk menghubungi Jimin. Beruntung sekali dirinya karena pria itu masih mau untuk mengangkat panggilannya dan menyetujui untuk bertemu dengannya.

"A-Aku....ingin meminta maaf padamu."

Rose masih merunduk kala itu, memainkan jemarinya yang bertaut dan begitu takut untuk menatap pada lawan bicaranya saat ini.

Dan Jimin tentu saja menyadari semua itu. Ia tak pernah merasakan hal semacam ini sebelumnya. Walaupun Rose sudah begitu jelas menolaknya, namun perasaan itu tak bisa ia hilangkan entah seberapa keras usahanya. Dan melihat gadis itu saat ini tentu saja membuatnya begitu sedih.

"Kenapa kau meminta maaf padaku? Aku tak merasa kau memiliki salah denganku."

"Tetap saja, aku hanya ingin meminta maaf."

Jimin tak lagi menjawab. Tak bisa, ia tak bisa lebih lama lagi di sini. Hatinya terlalu lemah dan ingin sekali memeluk Rose saat ini. Rindu itu begitu nyata, namun ia menahannya.

"Baiklah, aku tak tahu apa kesalahanmu. Tapi aku akan memaafkanmu. Apa sudah selesai?"

Rose tampak ragu saat itu, dan juga merasakan sedih karena mendengar nada suara Jimin yang begitu dingin padanya. Rose saat ini tak ingin berbohong, jika perasannya pada pria itu bukanlah perasaan sesaat. Selama beberapa minggu terlewati, ia begitu merindukannya. Namun ia tentu tahu, setelah penolakannya saat itu, mustahil baginya untuk bisa kembali ke sisi Jimin saat ini.

"B-Bagaimana kabar Jisoo-ssi?"

"Masih sama. Dia memang sudah melewati masa kritisnya. Tapi sampai saat ini, ia belum tampak untuk membuka kedua matanya. Tenang saja, ia tak akan semudah itu untuk meninggal."

Rose kembali dikelilingi rasa bersalahnya ketika mendengar itu semua. Kepalanya bahkan kembali merunduk saat itu, berusaha menahan tangisnya.

"Ah, ya. Kudengar, pernikahanmu akan dilaksanakan besok. Bukankah tak bagus jika kau bertemu denganku saat ini? Aku hanya tak ingin membuat masalah baru lagi nantinya."

Rose tampak mengulum bibirnya. Diingatkan akan tentang pernikahannya yang sebenarnya tak ingin ia bahas untuk saat ini.

"Aku tak menginginkan pernikahan ini. Sama halnya dengan Seokjin Oppa."

Jimin tampak mendecih, tak mempercayai apa yang ia dengar. "Bukankah ini yang kau inginkan? Kenapa kau mengatakan hal itu? Semua pengorbanan yang kau sudah lakukan kini membuahkan hasil.  Sudah seharusnya kau senang saat ini."

"Seokjin Oppa begitu buruk akhir-akhir ini."

"Apa maksudmu?"

"Setelah kejadian hari itu, Seokjin Oppa berubah seperti bukan dirinya. Ibunya begitu senang sekali karena mengetahui jika dia menerima perjodohannya denganku. Bahkan dirinya pula yang mengajukan jika pernikahan kami harus dipercepat. Tapi, aku sama sekali tak merasakan kebahagiaan itu. Karena aku sangat tahu jika semua itu bukanlah keinginannya."

Pembicaraan mereka harus terhenti saat itu, ketika Jimin mendapatkan sebuah panggilan masuk dari Taehyung, mengangkat panggilan itu setelahnya.

"Ada apa?"

The Truth UntoldTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang